Lagu atau Hidup yang Cengeng
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Bernyanyi itu tanda bergembira hati. Bernyanyi itu bisa menghibur orang yang susah hati. Tetapi Buddha yang mengajarkan bagaimana mengatasi penderitaan (dukkha), justru memasukkan kegiatan menyanyi sebagai salah satu dari delapan pantangan (atthangasila).
“Aku bertekad untuk menghindari kegiatan menari, menyanyi, bermain musik, menonton pertunjukan, memakai karangan-karangan bunga, wangi-wangian, dan alat-alat kosmetik.” Kegiatan pentas membawa manusia berkhayal dan merangsang nafsu indra. Demikian pula alat-alat kecantikan membuat manusia terperdaya oleh kebahagiaan yang semu. Untuk mencapai Kebahagiaan Mutlak, pantangan ini ditaati oleh para rahib. Bagi umat tidak ada larangan menyanyi, tetapi alasan dari pantangan di atas selayaknya tidak dilupakan.
Penderitaan dibedakan dalam tiga bentuk. Bentuk pertama merupakan penderitaan dalam bahasa kita sehari-hari atau yang dirasakan nyata menurut pengertian umum (dukkha-dukkha). Bentuk kedua merupakan penderitaan sebagai akibat dari perubahan, sekalipun bisa dirasakan bahagia namun sifatnya sementara dan mengandung benih ketidakpastian (viparinama-dukkha). Bentuk ketiga merupakan penderitaan sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi dengan ketergantungan pada penggabungan unsur-unsur jasmani dan rohani, tanpa inti yang berdiri sendiri (sankhara-dukkha).
Bagaimana pun manusia biasa mendapatkan hiburan dengan menyanyi. Kita bisa menikmati kesenangan atau kebahagiaan yang sementara. Tentu saja petunjuk Buddha mengingatkan kita untuk waspada sehingga tidak terbius oleh lamunan khayalan dan emosi terbawa hanyut lepas kendali. Sebaliknya dengan menyanyi, tidak hanya sekadar hiburan, kita bisa membangkitkan semangat dan motivasi untuk berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik, termasuk mengumandangkan sabda Buddha. Maka dalam puja bakti menyanyi menjadi bagian dari upacara yang khusyuk, baik memuliakan Buddha atau melembutkan hati jemaah.
Buddha menjelaskan hidup itu penderitaan bukan untuk diterima sebagai takdir atau nasib yang tidak bisa berubah. Ia mengajarkan agar manusia jangan menangis, jangan menjadi cengeng. Misalnya ketika Kisa Gotami meratapi anaknya yang telah meninggal, Buddha mengingatkan tentang salah satu ciri kehidupan yang tidak mungkin ditolak. Dengan membawa jenazah si anak Kisa Gotami memohon agar Buddha menghidupkan anaknya. Buddha menyuruh ibu yang malang itu untuk membawakan segenggam biji lada dari rumah orang yang tidak pernah ditinggal mati keluarganya. Biji lada bisa didapatkan. Tetapi tidak ada orang yang belum pernah mengalami kematian salah satu anggota keluarganya.
Mangapa mesti menangis? Jangan menangis, begitu yang yang diajarkan oleh Buddha. Tidak menangis, bukan berarti pantas menyanyi. Tetapi kita kenal sekarang menyanyi yang sekaligus pula menangis. Menyanyi itu menghibur. Menangis itu sedih dan cengeng. Ternyata lagu cengeng menjadi hiburan yang digemari. Sampailah kemudian Menpen Harmoko menyerukan agar TVRI tidak menayangkan lagu-lagu cengeng.
Lagu boleh cengeng karena liriknya berisi ratapan kesedihan dan sebagainya yang memelas dan menimbulkan perasaan lemah tak berdaya. Lagu patah hati atau yang merana akan menimbulkan erosi semangat pembangunan. Tetapi orang yang berhasil menciptakan lirik cengeng yang berhasil menyanyikan sehingga digemari orang banyak, yang memanfaatkan peluang bisnis di situ, sangat boleh jadi bukan orang yang cengeng. Tanpa kerja keras tidak mungkin mereka berhasil.
Bilamana larisnya lagu cengeng itu cerminan masyarakat, tepatnya tentu sebagian dari masyarakat kita, kecengengan itu bukan lagi perkara menyanyi. Yang cengeng menangis karena yang diinginkan atau yang diharapkan tidak terpenuhi, sebaliknya yang tidak diinginkan atau tidak diharapkan justru terjadi. Menangis itu bisa lemah tak berdaya, tetapi bisa pula menjadi kekuatan untuk melepaskan tanggung jawab atau melaksanakan keinginan kepada orang lain. Ada banyak buku dengan cerita cengeng, atau boleh juga disebut sentimental. Ada banyak berita peristiwa cengeng.
“Setelah anak dewasa sang ibu masih mengeluhkan dan bersedih hati. Pada malam hari dengan gegabah ia pergi mengganggu istri orang lain. Ibunya yang khawatir dan sedih bertanya dalam hati, mengapa selarut malam ini belum kembali?” Ini bukan lirik lagu, tetapi cuplikan dari Kitab Suci.[1] Buddha mengulas bagaimana seorang anak mudah melupakan pengorbanan ibunya.
Andai kata bait dari Sonananda Jataka ini dijadikan lirik lagu mungkin mengesankan cengeng. Tetapi Buddha menyingkirkan kecengengan itu dengan pesan-pesan spiritualnya.
31 Agustus 1988
[1] Jataka 532