Makna Ulang Tahun
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Suatu peristiwa memiliki arti dan penting diperingati manakala membuat orang bertanya, “Lalu bagaimana setelah itu?” Munculnya bandar di muara sungai Ciliwung di abad ke-15 menjadi penting karena setelah itu tumbuh menjadi kota Jakarta, yang kita rayakan hari jadinya ke-462 pada tanggal 22 Juni besok. Demikian pula kelahiran seorang anak manusia selalu berarti karena ia tumbuh menjadi besar dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya.
Suatu keberadaan atau hidup mengikuti perjalanan waktu mengalir terus tanpa henti. “Ibarat sebuah sungai, mengalir dengan deras, menggulung segalanya, tidak untuk sesaat, tidak barang sekejap pun, tiada jeda partikel waktu yang membuatnya tidak bergerak.”[1] Dengan gaya bicara yang mirip, Heraclitus, mengatakan, “Seseorang tidak pernah mandi dua kali dalam sungai yang sama.” Arus kehidupan dan perjalanan waktu selalu menuju ke arah depan, tidak pernah kembali.
Di pihak lain dunia mengenal siklus yang berulang. Ada terang dan gelap yang muncul dan lenyap bergantian setiap hari. Waktu bergerak mengikuti perjalanan bumi di tengah tata surya jagat raya. Jangka waktu satu bulan berdasarkan lamanya bulan mengelilingi bumi satu kali, yakni antara saat terbitnya bulan baru yang satu sampai bulan baru berikutnya lagi. Dua belas bulan atau satu tahun sama dengan waktu yang digunakan bumi untuk beredar mengelilingi matahari sebanyak satu kali. Dalam satu tahun itu, setiap kali musim yang satu datang dan berakhir, berganti musim lain. Demikian kembali berulang tahun berikutnya. Dalam siklus waktu tersebut yang disusun sebagai kalender, setiap manusia menghitung umurnya dan setiap tahun berulang mengenang hari jadinya atau merayakan ulang tahun suatu peristiwa.
Hidup itu sendiri dan kesadaran akan keberadaan (eksistensi) sesungguhnya selalu berada pada saat kini, dan selalu dengan sekejap saja tenggelam dalam masa lalu yang tidak mungkin kembali. Apa yang dinamakan diri, jasmani atau pun rohani berubah terus menerus dari saat yang satu ke saat berikutnya. Seorang bayi tumbuh menjadi remaja lalu menjadi tua melalui proses bagai arus sebuah sungai yang mengalir terus menerus. Secara mikro setiap detik ada sel dari komponen jasmani yang hancur diganti baru. Demikian pula halnya dengan komponen rohani.
Setiap unit kesadaran terbagi atas tiga fase: timbul (uppada), berkembang (thiti), dan lenyap (bhanga). Setiap timbulnya satu saat pikiran berarti lenyapnya saat pikiran yang lain. Keadaan ini menyerupai siklus terang gelap yang bergantian setiap hari. Unit demi unit kesadaran timbul dan lenyap silih berganti, merupakan arus kesadaran berlangsung sedemikian cepat, sehingga tak ada ukuran apa pun yang dapat dipergunakan untuk mengukurnya. Suatu kelangsungan hidup mengandung tiada lain serangkaian kesadaran yang sebenarnya timbul dan lenyap secara berkesinambungan. Kesadaran itu memiliki kelahiran sebagai mata air dan kematian sebagai muaranya.
“Tidak kekal, sesungguhnya segala sesuatu yang berbentuk mengalami kemunculan dan kehancuran. Setelah menjadi sesuatu, mereka punah kembali. Kedamaian muncul bila terlepas darinya.”[2]
Orang yang sama sejak dilahirkan, dari bayi hingga setiap tahap kehidupan setelah itu, sebenarnya berubah setiap saat. Ia yang merayakan ulang tahun tidak sama lagi dengan hari yang sama di tahun-tahun sebelumnya. Ia memiliki seluruh kekuatan, menyerap semua pengalaman dari proses kehidupan sebelumnya, menikmati buah dan memikul beban tanggungjawab atas perbuatan yang pernah dilakukannya, tetapi baginya hidup itu adalah yang dihadapi saat sekarang. Tanpa memahaminya, orang mudah terbelenggu atau melekat pada hari-hari yang sudah lalu.
Waktu senantiasa berubah, lingkungan berubah, diri sendiri pun sudah berubah, sehingga orang yang berbuat seolah-olah segalanya kekal tidak berubah, akan kehilangan masa sekarang. Sedangkan hidup di saat kemudian ditentukan oleh saat sekarang. Maka, orang yang kehilangan pijakannya di saat sekarang juga akan kehilangan masa depannya. Di situlah timbul kekecewaan dan penderitaan. Merayakan ulang tahun seharusnya mengingatkan adanya perubahan atau ketidakkekalan, sekaligus memantapkan kesiapan menghadapi segala perubahan.
Hari ulang tahun ditentukan menurut kalender tertentu. Ketika terjadi penggantian sistem kalender yang dianut, orang yang dilahirkan sebelumnya mengubah tanggal hari lahirnya. Seperti Inggris dan Amerika lewat pertengahan abad ke-18 mengganti sistem kalendernya dengan menghapus sebelas hari dan mengubah hari pertama tahun baru. Hari lahir George Washington yang menurut kalender sebelumnya tanggal 11 Februari 1731, berubah menjadi 22 Februari 1732. Hari lahir Buddha pun tidak jatuh sama di sejumlah negara penganutnya yang menggunakan kalender masing-masing. Maka merayakan hari ulang tahun bukanlah semata-mata menghitung dengan tepat panjangnya usia seseorang atau lamanya suatu peristiwa pernah terjadi, tetapi terutama untuk menangkap makna dan pengaruhnya dalam kehidupan yang sedang dihadapi.
“Walau seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat kebenaran luhur, maka sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat kebenaran luhur.”[3]
21 Juni 1989
[1] Anguttara Nikaya VII, 7:10
[2] Digha Nikaya 16
[3] Dhammapada 115