Memperingati Kemerdekaan dengan Menimbun Jasa
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
“Penjajahan membangkitkan kebencian. Yang terjajah hidup dalam penderitaan. Barangsiapa yang damai dan bebas nafsu angkara, hidupnya bahagia. Penjajahan ia singkirkan dan mengalah.”[1]
Pernyataan Buddha ini tercatat sehubungan dengan penyerbuan Raja Ajatasattu dari Magadha ke Kosala. Selanjutnya Kosala yang dipimpin oleh Raja Pasenadi berhasil merebut kembali kemerdekaannya.
Semua orang tidak menginginkan penderitaan. Semua orang mencintai hidup dan menyayangi dirinya sendiri. Buddha menganjurkan untuk membandingkan orang lain dengan diri sendiri dan tidak memperlakukan pada orang lain apa yang tidak diinginkan terjadi pada diri sendiri.
“Barangsiapa mencari kebahagiaan bagi dirinya sendiri dengan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka kelak setelah mati ia tidak akan memperoleh kebahagiaan.”[2]
Manusia dilahirkan sebagai makhluk yang bebas. Menurut pandangan Buddha, semua orang mempunyai derajat yang sama dan tidak ditakdirkan untuk diperbudak atau memperbudak orang lain. Sekalipun mewarisi darah bangsawan, kemuliaan seseorang tidak datang turun-temurun, namun dapat dicapai dan dipertahankan hanya sebagai buah karmanya, hasil perjuangan, kepandaian, dan ketinggian akhlaknya. Demikian pula semua bangsa mempunyai hak yang sama.
Tanpa pengakuan atas kebebasan ini, tidak ada agama Buddha yang mengajarkan kebebasan berpikir. Tanpa kemerdekaan, sulit dibayangkan bagaimana orang dapat menganut agama Buddha dengan benar. Kemerdekaan memberi pengaruh kepada cara berpikir yang merdeka, termasuk kebebasan menganut agama Buddha, yang tidak diakui oleh pemerintahan kolonial sebelumnya. Dapat dimengerti perjuangan nasional dan kemerdekaan Indonesia sekaligus diikuti kebangkitan agama Buddha di Tanah Air.
Merdeka berarti bebas menentukan nasib dan mengatur hidup sendiri. Secara moral kebebasan itu menuntut kemampuan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dengan tidak menggantung pada orang lain. “Buatlah pulau bagi dirimu sendiri. Berusahalah cepat-cepat dan jadikan dirimu bijak bestari.”[3] Ajaran Buddha ini diikuti dengan petunjuk untuk membersihkan noda-noda dalam kehidupan ini sehingga mencapai kebahagiaan.
Indonesia merdeka berarti bebas dari penjajahan bangsa asing. Sekaligus pula sebagai bangsa yang bersatu, berdaulat, di bawah pemerintahan sendiri melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pancasila sebagai dasar negara menjadi pandangan hidup kita semua, untuk mencapai tujuan yang luhur, Buddha mengajarkan antara lain Jalan Kesempurnaan (Iddhipada) yang harus kita kuasai. Jalan Kesempurnaan itu mengandung empat faktor, yaitu:
(1) Chanda, keinginan untuk mencapai suatu tujuan. Bercita-cita tentu harus disertai keinginan memperjuangkan hingga tujuan itu tercapai. Kepuasan hati dalam berbuat dan akan berbuat mendorong sehingga memperoleh hasil yang baik terus menerus.
(2) Viriya, berusaha dengan rajin dan tekun memperjuangkan atau melakukan sesuatu yang terbaik.
(3) Citta, pemikiran dengan segenap perhatian, yang tidak terbuai oleh khayalan.
(4) Vimamsa, meneliti apa yang telah dan sedang diperbuat, serta berusaha memperbaikinya.
Dengan memenuhi petunjuk itu kita berusaha mencapai tujuan nasional. Keterlibatan atau keaktifan melaksanakan pembangunan nasional menjadi ukuran sejauh mana kita memikul tanggung jawab mengisi kemerdekaan. Mungkin ada manusia yang cukup puas dengan berhasil memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri atau bahkan berlebihan. Sebagai manusia bebas ia bisa menikmati kecukupan atau kelebihan baginya sendiri, dan tidak bagi masyarakatnya. Namun suatu ketika segala materi atau harta duniawi akan lenyap. Bilamana kehadirannya di dunia ini tidak membawa pengaruh, tepatnya perbaikan, ia hanya sekedar numpang lewat. Bagi masyarakatnya, ia dilahirkan atau tidak di bumi ini sama saja artinya. Karena itu agar hidup ini berarti, setiap orang pantas memberi sumbangan dan menimbun jasa bagi peradaban masyarakatnya.
Pembangunan dan peradaban menuntut perdamaian. Sedangkan perdamaian sangat tidak mungkin tanpa adanya cinta kasih. Kekayaan dan kekuasaan tanpa cinta kasih menghasilkan kekerasan dan ancaman senjata. Kecerdasan dan kemajuan ilmu tanpa cinta kasih menjerumuskan dunia pada kehancuran. Hanya cinta kasih yang bisa menyelamatkan dunia (loko patthambhika metta), ujar Buddha. Cinta kasih inilah yang mendorong upaya menimbun jasa bagi orang-orang lain.
Merayakan hari ulang tahun kemerdekaan RI membangkitkan semangat juang: Merdeka atau mati. Bambu runcing dan segala perangkat perjuangan fisik yang sehari-harinya mengisi museum, muncul dalam peragaan pawai misalnya, membangkitkan kembali kenangan masa lalu. Kita diingatkan untuk mempertahankan kemerdekaan, memelihara perdamaian dan tidak mengobarkan kebencian. Masa depan lewat pintu gerbang kemerdekaan berjalan dengan cepat. Namun masa lalu perlu dikenali agar kita tidak salah melangkah, tidak salah arah.
Kita tidak hanya mengenang para pahlawan yang telah berkorban untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga kita harus membalas budi. Tahu budi (katannu) dan membalas budi (katavedi), adalah sifat yang dipuji oleh Buddha. Terdapat bermacam-macam cara membalas budi. Misal dengan menaati pesan atau nasihat dan menunjang atau melanjutkan perjuangannya. Membuat dan menyalurkan jasa bagi mereka yang sudah meninggal merupakan kelaziman dalam agama Buddha. Kita memuja pahlawan dengan melakukan upacara dan mempersembahkan barang (amisa puja), atau dengan melaksanakan perbuatan baik (patipati puja) Melaksanakan pembangunan dengan sebaik-baiknya itu menimbun jasa dan sekaligus mengandung arti membalas budi.
Semoga dengan kekuatan dari perbuatan baik ini, membaktikannya untuk membalas budi, sebanyak kita telah mencapai dan mengumpulkan jasa, para pahlawan yang telah gugur mendapat pahala beraneka warna.
12 Agustus 1987
[1] Samyutta Nikaya III, 2:4
[2] Dhammapada 131
[3] Dhammapada 236