Memperkaya Diri dalam Agama
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Kesibukan hari raya agama tidak hanya ditemukan di rumah-rumah ibadah. Para pedagang mengambil tema hari yang disucikan itu untuk promosi dan pusat-pusat perbelanjaan menjadi semarak, merangsang menjajakan kebutuhan duniawi. Hari raya agama dipandang sudah seharusnya membawa berkah atau rezeki. Dan rezeki itu mudah diartikan dengan memperkaya diri.
Menjadi kaya tentu saja baik. Sukses kehidupan menurut pengalaman sehari-hari diukur dari seberapa banyak orang memiliki uang. Sebenarnya kegiatan mengumpulkan uang tidak mesti punya hubungan dengan agama. Namun orang bisa taat beragama dengan harapan mendapatkan karunia Tuhan, salah satunya berupa kekayaan. Agama memang tidak hanya memberikan kekayaan rohani bagi penganutnya, tetapi juga menjanjikan kekayaan duniawi. Sebagaimana dikemukakan oleh Buddha, adalah wajar setiap manusia mengharapkan kekayaan, nama baik, atau kedudukan, hidup panjang umur, dan setelah meninggalkan dunia kelak lahir kembali di surga. Keempat hal yang diharapkan manusia itu dapat diperoleh pada waktunya dengan memiliki iman atau keyakinan, kebajikan, kemurahan hari, dan kebijaksanaan.[1]
Untuk menjadi kaya atau lebih kaya, seseorang mesti memiliki mata yang jeli, mengenali kondisi baik dan buruk, apa yang tercela dan terpuji, membedakan perbuatan yang hina dan mulia, seperti membedakan terang dan gelap. Orang yang hanya jeli menemukan dan memanfaatkan kesempatan untuk menghasilkan kekayaan tanpa menaruh peduli pada aspek moral, sebenarnya adalah orang yang buta sebelah mata.[2]
Cepat atau lambat, kalaupun tidak dalam kehidupan sekarang, dalam kehidupan yang akan datang mereka yang beriman dan hidup lurus tidak akan hidup kekurangan. Sebaliknya orang yang buta sebelah mata, yang tidak beriman, yang mengabaikan kebajikan, kikir atau serakah, dan picik, tidak mungkin mempertahankan kebahagiaannya. Orang yang kaya tetapi pemalas, pemabuk, gemar berjudi, senang pelesir, berfoya-foya, bergaul dengan orang-orang yang buruk laku, mudah jatuh miskin dan terbenam dalam penderitaan.
Praktik kehidupan beragama yang mendatangkan rezeki harus dibedakan dari berbagai praktik pedukunan. Ziarah ke makam dan pemujaan kepada leluhur adalah pertanda bakti, tahu budi sekaligus mengenang segala jasa dan kebajikan yang dijadikan suri teladan oleh orang yang masih hidup, bukan dimaksudkan untuk menyogokkan sesaji, mengemis berkah.
Konsultasi dengan orang-orang pintar untuk mendapatkan rasa aman, mengatasi karma buruk dan bukan untuk memenuhi nafsu yang serakah. Agama justru membendung nafsu yang tidak pernah mengenal puas.
Semua rezeki adalah buah dari karma baik yang pernah dilakukan oleh setiap orang yang bersangkutan. Orang-orang kaya yang beriman dan murah hati melakukan kebajikan dengan memelihara rumah-rumah ibadah dan membiayai kegiatan lembaga-lembaga keagamaan. Menanam jasa melalui lembaga keagamaan, khususnya Sanggha, pasti akan menghasilkan manfaat pada masa sekarang dan mendatangkan berkah pada masa yang akan datang. Ibarat menanam modal, akan menghasilkan laba yang besar. Namun lembaga keagamaan bukanlah usaha dagang dan para rahib atau pandita bukanlah orang bayaran, apalagi pengusaha yang memperkaya diri. Mereka mencari kekayaan rohani dan membebaskan diri dari ketamakan atau nafsu duniawi. Para rahib yang saleh, sebagaimana Buddha sendiri, tidak melakukan kegiatan jual beli, tidak melakukan kegiatan perantara, tidak menerima perak atau emas, yang juga diartikan uang untuk memperkaya dirinya sendiri.[3]
Sebenarnya di mata Buddha kekayaan duniawi itu bukan suatu ukuran kebahagiaan. Orang yang berada, bahkan seorang raja yang serba memiliki, belum tentu dapat menikmati kebahagiaan selama seminggu, atau untuk barang sehari saja, tanpa diganggu stres semacam kekhawatiran, kemarahan, atau penyakit dan penderitaan lain. Kepada Mahanama, Buddha bertanya apakah seorang raja seperti Seniya Rimbisara dari Magadha lebih berbahagia dibanding Buddha sendiri yang telah meninggalkan takhta Kapilawastu dan segala kekayaannya. Maka kekayaan rohani harus diakui jauh lebih berharga daripada kekayaan duniawi.[4]
Ketika Buddha bersemayam di wihara Anathapindika, dekat kota Savatthi, lewat larut malam, seorang dewa bercahaya cemerlang mengunjungi-Nya dan bertanya tentang berkah yang membawa keselamatan. Jawaban Buddha dikenal sebagai Maha Mangala Sutta, yang di kemudian hari sering dibacakan dalam kebaktian-kebaktian umum. Ada banyak macam berkah utama, di antaranya hidup di tempat yang tepat, memiliki pengetahuan dan keterampilan, bekerja bebas dari pertentangan, dapat menunjang ayah-ibu, membahagiakan anak-istri atau menolong sanak keluarga. Siapa saja akan sependapat bahwa semua hal tersebut bukan tidak berhubungan dengan kekayaan. Orang yang miskin sulit untuk mengecap pendidikan atau memiliki pengetahuan dan keterampilan yang layak. Orang yang hidup kekurangan sulit menunjang ayah-ibu atau anak-istri.
Tetapi orang yang kaya belum tentu menggunakan kekayaannya dengan baik. Bahkan uang atau kekayaan bisa mendatangkan bencana dan menggiring seseorang ke neraka. Dalam hubungan itulah dari sekian banyak berkah utama yang disebutkan oleh Buddha, kekayaan tidak termasuk.
17 Mei 1989
[1] Anguttara Nikaya IV, 7:61
[2] Anguttara Nikaya III, 3:29
[3] Digha Nikaya 1
[4] Majjhima Nikaya 14