Menang sebagai Bintang
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Kalau saja Siddhartha tak menguasai panahan, tidak mungkin ia mempersunting Yasodhara. Cinta boleh bersambut, tetapi hanya ksatria yang juara saja yang berhak mendampingi sang putri. Lebih dari sekadar juara, Siddhartha adalah bintang yang memenangkan panahan dan sejumlah cabang pertandingan lain, dengan sportif dan simpatik.
Panah dan pistol mewakili dua zaman yang berbeda, kuna, dan modern. Kapan saja, senjata selalu menggentarkan bilamana dipergunakan untuk perang. Menang perang artinya sukses membunuh. Membunuh itu, sekalipun korbannya binatang, pantang bagi Siddhartha. Sebagai Buddha, Ia tidak hanya menyingkirkan senjata, tetapi juga mengajarkan agar umat tidak melakukan usaha jual beli senjata.
Namun sesungguhnya senjata hanyalah alat. Suatu alat yang tidak pernah dianggap sebagai senjata, dapat disalahgunakan menjadi senjata untuk melukai atau membunuh. Sebaliknya suatu alat yang dikenal merupakan senjata bisa berfungsi lain, yang bersih dari hawa pembunuhan. Banyak cabang olahraga yang memakai senjata, yang jelas bukan sebagai alat membunuh. Bertarung itu sendiri tidak harus memakai senjata. Tangan kosong pun dapat mematikan.
Kekuatan tanpa kasih sayang berarti kezaliman, kasih sayang tanpa kekuatan berarti kelemahan. Tidak mengherankan bila wihara Shao Lin melahirkan banyak biksu yang saleh sekaligus pendekar silat. Bodhidharma dari India yang dikenal dengan nama Tatmo di Cina atau Daruma di Jepang adalah seorang biksu yang suci merangkap datuk olahraga beldiri.
Kegiatan olahraga tidak hanya membina daya tahan fisik tetapi erat berhubungan dengan pembinaan mental. Manusia terdiri dari unsur lahir (rupa) dan batin (nama), yang lebih lanjut dirinci sebagai Lima Agregat (panca khandha), yakni jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran. Buddha menyatakan: yam rupam nissaya, bergantung kepada jasmani, bentuk batin terjalin erat dan mengambi tempat pada materi.
Jasmani dan rohani eksis dalam bentuk unit-unit materi dan mental. Unit-unit ini terdiri dari elemen-elemen yang senantiasa bergerak, yang saling bergantung dan saling memengaruhi satu sama lain tanpa inti yang berdiri sendiri, Perubahan atau gerakan yang menunjukkan eksistensi. Para olahragawan membuktikan “by moving I express my being”. Keterikatan jasmani dan rohani, memungkinkan penderita cacat sekali pun, dapat memperbaiki kelemahannya dengan olahraga. Bukan tidak mungkin misalnya bekas penderita lumpuh suatu ketika kemudian menjadi juara loncat tinggi.
“Datang, bertarung, dan menang,” adalah harapan para atlit. Pertarungannya atas nama bangsa sehingga tak pelak lagi eksistensi dan prestise bangsa dipertaruhkan bagai menghadapi suatu pertempuran. Masyarakat memang menonton, namun menghadapi kejuaraan yang bergengsi, secara emosional kebanyakan orang menyatu dengan jagonya.
Dalam SEA Games XIV ini, doa pun menyertai Perry Pantauw, Ian Tanuwijaya, Elizabeth Latief, Ratna Pradipta, Donald Pandiangan, Ricky Yacob, dan kawan-kawan di cabang judo, balap sepeda, bulu tangkis, renang, panahan, sepak bola, dan sebagainya. Kita pernah menunjukkan supremasi, dan mengharap-harap cemas untuk membuktikan keunggulan di tengah masyarakat Asia Tenggara atau pun dunia. Para atlet yang akan membuat sejarah. Cinta terhadap bangsa dan negara mendorong seorang atlet tampil sebaik mungkin di arena pertandingan itu.
“Dengan usaha yang tekun, semangat, disiplin, dan pengendalian diri, hendaklah orang bijaksana membuat pulau bagi diri sendiri, yang tak dapat ditenggelamkan oleh banjir.”[1] Prestasi olahraga memang tidak datang begitu saja. “Engkau tidak dapat memperolehnya dengan berpikir, engkau tidak dapat menemukannya tanpa berpikir,” demikian kutipan syair Zen.
Setiap lomba lazim menjanjikan kemasyhuran dan hadiah apakah itu medali, piala, dan lain-lain. Siapa tidak ingin memperolehnya? Siapa yang tak mau menang? Namun menang atau menjadi juara saja tidak cukup. Juara yang mengangkat nama bangsa, sewajarnya merupakan bintang yang mencerminkan kebesaran bangsa. Bintang itu meraih kemenangan dengan cara yang sportif dan menarik simpati kawan ataupun lawan.
Kita memilih nama pesta olahraga. Nafsu perang yang primitif memang telah disingkirkan, dan tiada layak memberi kesempatan pada terjadinya baku hantam. Olahraga justru mengandung semangat perdamaian, persahabatan, dan persatuan. “Janganlah mengejar sesuatu yang rendah, janganlah hidup dalam kelengahan, janganlah menganut pandangan-pandangan yang salah, dan jangan menjadi pendukung materialis.”[2]
“Pembuat saluran air mengalirkan air, tukang panah meluruskan anak panah, tukang kayu melengkungkan kayu, orang bijaksana menaklukkan dirinya sendiri.”[3] Pandangan ini menuntut kewaspadaan dan menghindari kelengahan sekaligus menghasilkan kemuliaan. Salah satu bentuk dari mengalahkan diri sendiri adalah memecahkan rekor sendiri.
“Menaklukkan diri sendiri sesungguhnya lebih baik daripada menaklukkan makhluk-makhluk lain; orang yang telah menaklukkan dirinya sendiri selalu mengendalikan diri. Tidak seorang dewa, mara, atau gandhabba beserta Brahma yang dapat mengubah kemenangan dari orang yang telah menaklukkan dirinya sendiri.”[4]
9 September 1987
[1] Dhammapada 25
[2] Dhammapada 167
[3] Dhammapada 80
[4] Dhammapada 104-105