Mengajar Anak tentang Seks
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Ada banyak komik menceritakan percintaan dan perkawinan sepasang manusia atau kehamilan dan kelahiran seorang manusia tanpa membuat heboh. Namanya saja cerita untuk anak-anak, memakai bahasa anak-anak dan logis tidak mesti berbau teknis. Anak tidak bodoh, tahu dongeng itu khayalan dan maklum bahwa dunia anak-anak kaya dengan bahasa simbolis. Orang dewasa menerjemahkan apa yang seharusnya rasional melalui perlambang untuk dimengerti oleh anak-anak. Komik “Adik Baru” keluar dari bahasa anak-anak, maka tidak baik untuk dibaca oleh anak-anak Indonesia.
Anak-anak yang bertanya bagaimana mendapatkan adik bisa juga akan bertanya bagaimana manusia Buddha dilahirkan. Kisah kelahiran selalu mendahului riwayat hidup Buddha Gotama. Kita dibawa mengikuti mimpi sang ibu. Ibu itu, Ratu Maya, diterbangkan oleh empat orang maha dewa ke puncak Himalaya. Di sana para dewi memandikannya di danau Anotatta. Setelah mengenakan pakaian dewata, dia dipimpin masuk ke istana emas dan direbahkan di sebuah ranjang yang indah. Lalu seekor gajah putih dengan sekuntum bunga teratai di belalainya memasuki kamar, mengelilingi ranjang tiga kali, akhirnya memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan. Mimpi itu menjadi pertanda bahwa Ratu Maya akan mengandung. Bayi dalam kandungannya dikisahkan duduk dalam sikap meditasi dengan muka menghadap ke depan.
Menjelang saat melahirkan, Ratu Maya pulang ke rumah orangtuanya. Di tengah perjalanan, sampai di Taman Lumbini, ia merasa perutnya mulas-mulas, tanda tiba saatnya akan bersalin. Lalu para dayang memasang tirai mengelilingi ratu yang akan melahirkan itu. Berbeda dengan wanita lain, Ratu Maya melahirkan dalam keadaan berdiri. Uraian tentang bagaimana sang ratu hamil dan bersalin selalu dihubungkan dengan aspek moral. Mahapadana Sutta menguraikan bahwa setiap calon Buddha lahir dari orangtua yang tinggi akhlaknya, yang menghindari perbuatan membunuh, mencuri, berzinah, berdusta, atau pun makan dan minum barang yang memabukkan.
Perlambangan banyak ditemukan dalam bahasa agama. Anak-anak dan orang dewasa secara fisik namun cara berpikirnya masih seperti anak-anak membutuhkan penerjemahan melalui perlambangan. Setiap orang memiliki kemampuan dan pembawaan yang berbeda. Oleh karena itu dikenal sebagai cara berbahasa, termasuk cara menjelaskan agama agar mudah dimengerti oleh setiap orang sesuai dengan tingkat kemampuannya. Itulah yang dinamakan Upaya Kausalya, tahu bagaimana melaksanakan secara praktis dan menyempurnakannya hingga berhasil.
Dalam kitab Sutra Bunga Teratai (Saddharma Pundarika) dapat dibaca tentang perumpamaan bagaimana seorang penunjuk jalan yang arif menentukan rombongannya mencapai suatu kota idaman. Karena perjalanan jauh dan meletihkan, di tengah perjalanan ia menciptakan sebuah kota gaib sebagai tempat persinggahan. Di sana anggota rombongannya dapat beristirahat dengan tenang, tidak berkeliaran ke arah lain sehingga terjamin keselamatannya. Kota idaman tetap menjadi tujuan yang sebenarnya, maka pada waktunya yang tepat kemudian mereka melanjutkan perjalanan hingga mencapai kota idaman. Mengajar secara bertahap itulah langkah dalam pendidikan.
Seks perlu diajarkan sesuai dengan tahapan perkembangan manusia. Sebelum remaja, anak-anak tidak perlu tahu misalnya para biksu dilarang mengeluarkan air mani dengan sengaja. Tetapi sedini mungkin, boleh tahu bahwa seorang biksu tidak dibenarkan menyentuh wanita atau sebaliknya. Pendidikan seks dalam agama pun tidak berdiri tersendiri di luar pendidikan akhlak dan norma agama.
Anak tumbuh dan berkembang dengan belajar. Mereka tahu bahwa orangtua tidak bisa menjawab segala pertanyaannya dengan benar. Dalam banyak hal, orangtua boleh menjawab tidak tahu, dan bertanya kepada yang lebih tahu. Misalnya pertanyaan tentang ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh jawabannya dari guru di sekolah. Tetapi menghadapi pertanyaan “bagaimana caranya mendapatkan anak”, orangtua tentu tidak bisa menjawab tidak tahu.
Masalahnya, tahu dan pandai tidak berarti dapat dengan mudah menjelaskan kepada anak-anak. Orangtua sendiri agaknya tidak pernah diajar oleh ayah-ibunya tentang hal itu. Namun banyak orang mengakui bahwa pengetahuan tentang seks yang baik mesti diajarkan dan diarahkan. Apa yang dinamakan seks yang jorok, pengetahuan yang salah atau kotor dan pandangan yang keliru, terjadi bila seorang anak belajar sendiri secara sembunyi-sembunyi. Suatu buku pendidikan seks yang menuntun orangtua untuk mengajar seks secara benar dan baik kepada anak-anaknya tentu akan sangat menolong.
Pemikiran tentang pendidikan seks bukan hanya untuk menjawab bagaimana cara reproduksi, apalagi cara melakukan hubungan seks. Mengajarkan cara hubungan seks yang baik tidak jarang diperlukan, tetapi jelas bukan untuk anak-anak. Pendidikan seks bagi seorang anak bisa mengenai anatomi dan biologi di luar soal bagaimana hubungan intim berlangsung, sebagaimana Buddha dalam kitab Vibhanga menjelaskan ciri-ciri seks, apakah itu misalnya alat kelamin, bentuk fisik tubuh, sikap, dan suara.
Yang paling penting tentu anak perlu tahu mengenai perencanaan dan pembinaan keluarga, memahami etika atau moral sosio-budaya dan pengetahuan lain yang dibutuhkan untuk menempatkan diri di tengah lingkungannya sebagai individu seksual yang bertanggung jawab.
3 Maret 1989