Mengapa Masih Memborong Dolar
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Dalam empat bagian seyogianya ia membagi kekayaan. Demikian ia menempatkan harta yang sangat disukai dalam hidupnya. Satu bagian untuk dipakai dan dinikmati buahnya. Dua bagian untuk mengembangkan usaha. Sedangkan bagian keempat agar dicadangkan dan ditabungnya sehingga terdapat persediaan pada saat diperlukan. Itulah yang diajarkan oleh Buddha kepada pemuda Sigala.[1]
Petunjuk semacam ini tidak ditujukan bagi mereka yang hidup kekurangan, tetapi pantasnya bagi orang yang telah memiliki kelebihan. Tabungan dimaksudkan untuk berjaga-jaga. Sebagaimana dikemukakan Buddha tentang alasan mengejar kekayaan, salah satunya adalah kebutuhan berjaga-jaga, apakah menghadapi bencana yang datang dari api dan air, perampok, penjahat, musuh, atau musibah lainnya. Namun apa artinya membatasi simpanan tidak lebih dari seperempat bagian? Mengapa tidak mengumpulkan kekayaan sebanyak mungkin, sehingga tiadalah habis dimakan oleh tujuh turunan?
Masih tentang alasan mengejar kekayaan, agama menuntun agar seorang umat memiliki kendali. Mengejar kekayaan tidak didorong oleh nafsu keinginan yang rendah. Dengan kekayaan yang dikumpulkan secara halal, seseorang membuat dirinya senang, sejahtera dan mempertahankan kebahagiaannya. Ia memelihara, memenuhi kebutuhan dan membahagiakan orangtua, istri, anak-anak, pelayan, karyawan, dan pengikutnya. Ia dapat membahagiakan sanak dan kerabat. Ia melaksanakan kewajibannya terhadap negara, termasuk membayar pajak. Ia memakai kekayaannya untuk amal, memenuhi ajaran agamanya, mematangkan kebahagiaan menuju alam surga.[2] Penjatahan bagian yang disimpan tidak lain untuk membahagiakan dengan memelihara bagian yang menyangkut kepentingan orang lain.
Uang itu untuk transaksi. Memakai atau menikmati sesuatu dan menjalankan atau mengembangkan usaha, dengan membeli atau membayar, memang memerlukan uang. Uang itu mestinya rupiah, mata uang di negara ini. Uang juga merupakan salah satu bentuk tabungan. Karena berjaga-jaga terhadap kemungkinan devaluasi, lemari atau kotak tabungan dipenuhi dolar.
Sekalipun suku bunga deposito rupiah menggiurkan, masyarakat memborong dolar dan valuta asing lain atau mengalihkan uangnya ke luar negeri. Devaluasi itu merupakan peristiwa buruk yang harus dijaga-jaga. Namun terbelenggu pada ketakutan, mudah termakan isyu, pikiran menjadi kurang obyektif.
Barangkali tidak ada orang yang percaya bahwa dalam perekonomian masih terdapat tempat atau perlu pertimbangan etik dan moral. Simpanan uang tidak lagi dimaksudkan untuk berjaga-jaga. Nafsu keinginan yang tidak kenal puas membawanya berspekulasi. Andaikan demam membeli dolar tak mereda, orang yang tenang pun ikut jadi gelisah. Bantuan dalam bentuk pinjaman baru dari IGGI menunjukkan pengertian yang mendalam mengenai kesulitan ekonomi yang dihadapi Indonesia masa kini serta kepercayaan dunia luar terhadap kebijakan dan masa depan perekonomian Indonesia. Sudah sepantasnya kita pun meninggalkan pikiran yang subyektif yang masih dicengkeram getirnya devaluasi.
Kiranya melepaskan diri dari belenggu pikiran buruk dapat dimengerti melalui kisah ini:
Konon terdapat dua orang biksu yang sedang melakukan perjalanan. Ketika hari mendekati malam mereka tiba di tepi sungai. Tiada ditemukan jembatan ataupun perahu di sana. Namun sungai itu tidak dalam, sehingga masih bisa diseberangi dengan berjalan kaki. Pada saat itu pula seorang wanita mencoba menyeberang. Hampir ia tergelincir dan takut melangkah lebih lanjut. Tampaknya wanita itu memerlukan pertolongan.
Maka salah seorang biksu menawarkan bantuannya. Sang biksu, katakanlah biksu pertama, menggendong makhluk yang dipandang lemah tersebut. Setiba di seberang, wanita itu turun dari punggungnya dan pergi setelah mengucapkan terima kasih.
Biksu kedua tercengang melihat tindakan kawannya. Ia merasa kesal dan kecewa. Bukankah seorang biksu pantang menyentuh wanita? Mereka masih tetap seperjalanan. Hanya dalam hatinya sendiri, biksu kedua bertanya-tanya. Bukankah temannya melanggar peraturan yang telah dilatih dan ditaati bertahun-tahun selama mengenakan jubah kuning? Alangkah memalukan. Ia berani melakukan pelanggaran di hadapannya. Disaksikan orang lain saja sudah demikian, apalagi bila ia seorang diri!
Lalu kedua biksu itu singgah di suatu wihara. Mereka bermalam di sana. Biksu pertama tidur dengan mudah dan lelap. Biksu kedua tetap gelisah, dan jelas tak dapat tidur. Ia merasa kesal, tetapi juga merasa kasihan kepada kawannya yang dianggapnya telah gagal menjalani kehidupan yang suci. Ia mencoba berdoa. Namun bayangan peristiwa itu tak bisa hilang dari ingatannya.
Mendengar dengkur kawannya, melihatnya tertidur nyenyak seakan-akan tidak bersalah, tidak lagi ia dapat menahan diri. Habis kesabarannya. Ia membangunkan kawannya dan menghardik dengan keras. Biksu pertama terjaga dan bertanya, apa gerangan yang terjadi.
Dengan marah biksu kedua berkata, “Tahukah engkau kesalahan apa yang telah kauperbuat? Sebutkan pantangan seorang biksu. Bagaimana dapat dibenarkan engkau menggendong seorang gadis ketika menyeberang?
Biksu pertama menjawab, “O, soal wanita itu. Aku sudah menurunkannya segera setiba di seberang sungai. Tetapi mengapa engkau sendiri masih membawanya?”
Devaluasi bagi pihak otoritas moneter dapat diibaratkan dengan wanita yang sudah ditinggalkan oleh biksu pertama tadi. Mengapa pikiran kita masih terbelenggu padanya?
“Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, dan segala sesuatu dibentuk oleh pikiran. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran buruk, maka penderitaan akan mengikutinya bagai roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.”[3]
24 Juni 1987
[1] Digha Nikaya, 31
[2] Anguttara Nikaya, V, 4-41
[3] Dhammapada 1