Menghitung Tahun dan Harapan
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Tahun Baru sangat berarti di hotel-hotel berbintang, klub malam dan semua tempat hiburan. Acara itu untuk sedikit orang tetapi banyak dalam hitungan uang. Sedangkan untuk banyak orang, bilangan tahun betul-betul adalah hitungan umur.
Menghitung tahun menghitung umur. “Alangkah singkatnya kehidupan manusia, terbatas dan cepat, penuh dengan kesakitan dan penderitaan. Orang harus memahami hal ini dengan arif bijaksana.”[1]
Kemajuan teknologi kedokteran menyumbang tambahan usia manusia. Bank organ hidup misalnya mungkin menolong orang yang perlu mengganti suatu organ tubuh yang rusak. Atau seperti pernah diucapkan oleh Jean Rostand, seorang ahli biologi Perancis yang telah memperlambat pertumbuhan seekor katak, sekali waktu mungkin perkembangan manusia dapat diperlambat. Menjadi panjang umur, itulah tujuannya.
Umur harapan hidup manusia belakangan ini telah meningkat sesuai dengan bertambahnya kesejahteraan. Kesejahteraan itu sangat dipengaruhi oleh ketaatan pada moral dan ajaran agama. Ini pula tentunya yang dimaksud memahami kehidupan dengan bijaksana. “Maka mereka menghindari pembunuhan, dan melanjutkan usahanya di jalan yang benar ini. Karena mereka mengikuti jalan yang baik, tentu mereka akan meningkatkan kembali umur harapan hidupnya, termasuk kecantikannya pun akan bertambah…”[2]
Umur harapan hidup penduduk Indonesia waktu lahir pada masa perang atau penjajahan diperkirakan 35 tahun. Harapan hidup waktu lahir tahun 1971 tidak lebih dari 48 tahun, dan sepuluh tahun kemudian meningkat hingga di atas 51 tahun. Dengan mengenyam hasil pembangunan pada tahun 2000 diharapkan usia itu mencapai 60 tahun.
Menurut pernyataan Buddha, dengan terus-menerus menjalankan kehidupan yang baik, usia manusia dari generasi ke generasi bertambah hingga mencapai 80.000 tahun. Kebalikan dari itu, perbuatan buruk akan membuat usia makin pendek hingga akan tiba suatu saat keturunan manusia memiliki sepuluh tahun masa hidup.[3]
Hidup adalah suatu perjalanan dengan gerak atau aliran yang tiada henti mengikuti waktu. Perubahan terjadi pada diri manusia juga pada lingkungannya. Perubahan itu mengandung percepatan. Misal suatu kejadian atau perubahan yang dulunya memerlukan waktu satu abad, kini hanya memerlukan waktu sepuluh bulan. Dengan kata lain seseorang dengan usia puluhan tahun bisa menguasai pengetahuan atau mengenyam pengalaman dan hasil pencapaian yang mungkin memerlukan waktu puluhan ribu tahun dalam suatu peradaban.
Usia dalam tinjauan rohaniah tentu beda dari artian usia seorang manusia secara fisik. “Orang tidaklah lebih tua karena semata-mata rambutnya sudah memutih. Hanya usia yang lanjut, dinamakan tua dengan sia-sia. Barangsiapa berpijak pada kebenaran, kebajikan, menghindari kekerasan, mengendalikan nafsu, menguasai diri, ia yang tiada noda dan bijaksana, itulah yang sesungguhnya disebut orang tua.”[4]
Menjadi panjang umur dan mencapai puncak prestasi pada suatu rentang usia jelas berbeda. Orang boleh berumur panjang, namun secara subjektif ia merasa waktu berjalan lebih cepat. Lalu manakala kematian tiba, sekalipun sudah melampaui batas umur orang-orang terdahulu, juga selalu maut dirasakan datang terlalu cepat.
Alan W. Watts menjelaskan arti dari waktu ini dengan mengutip sebuah syair Zen:
Semaraknya pagi yang kembang barang satu jam
Tiada beda bagi jantung cemara raksasa
Yang hidup sepanjang ribuan tahun.
Secara subjektif, seekor kura-kura yang hidup beberapa ratus tahun merasa bahwa umurnya panjang. Seekor serangga tak salah bila merasakan bahwa hidupnya yang beberapa hari itu juga panjang, sama dengan yang dirasakan kura-kura tadi.
Setiap kali dihadapkan pada realitas waktu, kesadaran akan keterbatasan kita pun muncul. Kesadaran ini tidak mengecilkan harapan, namun justru membuat harapan itu memiliki dasar. Kita memerlukan perhitungan atau neraca, di mana dan bagaimana kita sekarang.
Akhlak yang baik memberi kita berkah hingga usia tua sekalipun. Rahmat itu berpangkal dan bertahan berkat kepercayaan. Sedang kearifan adalah permata yang mulia dari kemanusiaan. Dan jasa kebajikan tiada akan lenyap dilarikan pencuri.”[5]
Dengan memelihara akhlak, kepercayaan, kearifan, dan kebajikan, harapan senantiasa layak diperbaharui dan berlanjut sampai akhir usia.
30 Desember 1987
[1] Anguttara Nikaya VII, 7;7
[2] Digha Nikaya 26
[3] Digha Niakaya 26
[4] Dhammapada 260-261
[5] Samyutta Nikaya I, 6;1