Menghormati Leluhur
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Generasi yang lalu, yang sudah meninggal, baik dari garis ayah ataupun ibu disebut leluhur. Mereka telah tiada namun tak terlupakan. Kedudukannya tinggi atau diluhurkan, dan berpengaruh terhadap keturunannya.
Status leluhur dulu menurun dalam silsilah alur darah. Misalnya raja dan bangsawan menurunkan golongan ksatria. Dunia modern mencampakkan feodalisme, namun kita masih mengenal raja-raja dan calon penggantinya, kita masih akrab dengan gelar kebangsawanan. Pengaruh leluhur tampak jelas dalam hal kebangsaan, kesukubangsaan, tradisi, agama, kepercayaan, dan kebudayaan. Namun seseorang bisa menentukan lain bagi dirinya sendiri, sebagaimana dinyatakan oleh Buddha dalam Culakammavibhanga Sutta, “Para makhluk adalah ahli waris dari karmanya sendiri,”
Sejak zaman purba penghormatan terhadap arwah leluhur sudah dikenal. Kita menemukan peninggalan berupa bangunan megalith, menhir, dan pepunden. Upacara kematian menghantar arwah ke alam kehidupannya yang baru (akhirat). Upacara itu tidak hanya pada saat orang meninggal, tidak hanya memperingati tiga harinya, tujuh harinya, namun juga setahun dan ulangannya. Misal Sri Rajapatni selaku wikuni tua yang tekun berlatih yoga menyembah Buddha, wafat pada tahun 1272. Dua belas tahun kemudian Hayam Wuruk, sang cucu melaksanakan upacara sraddha.
Para raja, misalnya Kartanagara, setelah meninggal dimuliakan di candi Jawi sebagai Siwa Buddha. Pandangan ini menyatukan arwah leluhur dengan dewa, memuja leluhur diidentikkan dengan memuja makhluk suci, maka leluhur juga dimintai pertolongan atau perlindungan. Buddha sendiri mengajarkan bahwa “Setelah melatih diri sendiri dengan sebaik-baiknya, maka ia akan memperoleh perlindungan.”[1]
Di pihak lain ajaran Buddha justru mengemukakan adanya leluhur yang dapat ditolong oleh keturunannya. Tidaklah sedikit orang yang meninggal dunia lalu dilahirkan di neraka. Orang yang kikir dan serakah atau rakus di bumi ini mengalami tumimbal-lahir sebagai setan (peta atau preta) kelaparan. Makhluk itu memiliki mulut yang sangat kecil dan perut yang sangat besar. Konon diilustrasikan bahwa apabila mereka menyuapkan makanan ke dalam mulut, makanan itu akan terbakar hangus oleh api keserakahan yang menyembur keluar dari mulutnya. Bilamana ada makanan yang tertelan, makanan itu menjadi pisau dan benda tajam lain yang menusuk-nusuk perutnya. Rasa haus bagai api menyembur dari mulut yang kekeringan. Bila ia mendapatkan air, air tersebut menjadi panas mendidih.
Mogallana, salah seorang siswa Buddha dengan kekuatan batinnya melihat mendiang ibunya lahir sebagai setan kelaparan semacam itu. Buddha mengajarkan cara untuk menolong agar para makhluk tersebut dapat terlahir kemudian di alam yang lebih baik. Demikian tercatat dalam Ullambanapatra Sutra. Itulah yang dikerjakan dengan upacara Ullambana, yang menghimpun kekuatan para orang suci.
Tiap bulan ketujuh penanggalan lunar, umat Buddha menyelenggarakan upacara Ullambana atau disebut pula Pattumodana. Masyarakat Cina menamakannya Cioko atau sembahyang rebutan. Melalui sraddha, yaitu menanam keyakinan, umat menimbun karma baik. Mereka berdana dengan penuh bakti.
Salah satu mantra yang berhubungan dengan upacara itu sebenarnya adalah khotbah Buddha yang dinamakan Tirokudda Sutta. Sebagian dari isinya mengungkapkan adanya makhluk halus di luar dinding-dinding dan di persimpangan. persimpangan jalan, yang kembali ke rumahnya dahulu, dan berdiri, menanti di muka pintu-pintu. Namun tak seorang pun yang ingat kepada mereka, sekalipun sedang pesta makan dan minum. Mereka yang menaruh kasih, pada waktunya yang tepat mempersembahkan sesaji dan berdoa semoga buah jasa kebaikan yang diperbuatnya ikut melimpahi sanak keluarga yang telah meninggal dunia.
Menurut ajaran Buddha, seseorang dapat memberi dana atau melakukan berbagai bentuk kebajikan atas nama orang lain. Orang yang pertama misalnya akan memperoleh pahala dari dananya, orang yang kedua yang dipakai namanya juga mendapat kebaikan, paling tidak berupa nama harum. Berbuat bajik atas nama orang yang telah meninggal dunia, dapat membawa berkah bagi almarhum bilamana tiada terdapat kekuatan karma lain yang mencegahnya.
Tirokudda Sutta memang mengungkapkan manfaat akan didapat baik oleh manusia yang mempersembahkan dana atau pun makhluk yang sudah meninggal. Persembahan diberikan melalui kelembagaan agama, sehingga menghormati leluhur yang telah meninggal dunia, sekaligus menunjang kekuatan para rahib menolong orang-orang yang memerlukan. Segala tangis dan bentuk perkabungan tidaklah bermanfaat. Manusia yang masih hidup dianjurkan mengenang kembali kehadiran mendiang dengan segala kebaikannya dahulu.
2 September 1987
[1] Dhammapada 160