Mengubah Nasib Bangsa
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Tutur Nasrudin, seorang sufi, “Ketika aku masih muda, aku bersemangat – aku berdoa kepada Tuhan agar memberiku kekuatan untuk mengubah dunia. Ketika sudah separuh baya, aku menyadari setengah dari hidupku sudah berlalu dan aku tak mengubah seorang pun. Maka aku berdoa untuk mengubah mereka yang dekat di sekitarku. Sekarang, aku sudah tua dan doaku lebih sederhana, memohon Tuhan memberi padaku kekuatan untuk mengubah diriku sendiri.”
Lain sufi, lain pula politikus. Kita memilih anggota dewan legislatif, presiden, dan wakilnya untuk mengubah nasib bangsa. Maka dalam kampanye para kontestan menjanjikan perubahan. Perubahan yang bagaimana? Ada tiga pasangan capres dan cawapres yang sama-sama merasa mampu mewujudkan keadilan, meningkatkan kesejahteraan, pendek kata membuat kehidupan bangsa menjadi lebih baik. Janji memang mudah diucapkan. Para pemilih boleh percaya, boleh juga mempertanyakannya.
Memilih yang Terbaik
Memilih pemimpin tidak sama dengan membeli kucing dalam karung. Rakyat seharusnya tahu rekam jejak dan prestasi kandidat yang didukungnya. Setiap capres dan cawapres punya keunggulan dan kekurangan. Debat dan kampanye mengungkapkan apa yang akan mereka lakukan jika terpilih. Mengubah siapa atau mengubah apa? Dengan mempertimbangkan berbagai hal rakyat akan memilih pemimpin yang terbaik. Kalau sama saja, barangkali perlu direnungkan pernyataan Deng Xiaoping, ”Tidak menjadi soal apakah seekor kucing putih atau hitam asalkan bisa menangkap tikus.”
Kebanyakan orang melihat adanya kesempatan untuk mengubah dunia atau masyarakatnya dengan memiliki dan menjalankan kekuasaan. Kekuasaan dipakai untuk mengatur orang lain. Ia bisa memaksakan keinginannya kepada orang lain. Seringkali tidak terpikir, bagaimana seorang pemimpin mengubah dirinya sendiri menyesuaikan diri dengan kehendak rakyat. Buddha mengajarkan agar mereka yang ingin mengendalikan orang lain terlebih dahulu hendaknya mengendalikan diri sendiri (Dhp. 159). Hampir senada, Kong Hu Cu menasihati penguasa agar belajar memerintah dirinya sendiri sebelum memerintah orang lain.
Dalam perspektif Buddhis, seorang pemimpin yang baik memiliki sepuluh karakter yang disebut dasa raja-dhamma (Ja. V, 378). Yang pertama adalah kedermawanan. Karakter ini dihubungkan dengan tanggung jawab memelihara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kedua, memiliki moral yang baik, budi yang luhur, dan pantas dijadikan teladan. Ketiga, kesediaan berkorban, dengan melayani dan mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Keempat, integritas atau tulus, jujur, dapat dipercaya, sehingga bisa mewujudkan pemerintahan yang bersih.
Kelima, kebaikan hati dan bersikap menyenangkan. Kelihatannya lebih mudah berbaik hati kepada orang-orang kaya dan penjilat, karena itu keberpihakan kepada yang lemah tetapi benar harus mendapat perhatian. Kebaikan hati tidak mengabaikan tanggung jawab dan keadilan. Keenam, menjalankan hidup sederhana, yang menunjukkan adanya kemampuan untuk mengendalikan diri dan menjalankan disiplin. Ketujuh hingga kesembilan, tanpa amarah, tanpa kekerasan, dan memelihara kesabaran. Kesepuluh, tidak bertentangan dengan kebenaran atau melawan kehendak rakyat. Orang yang memiliki semua karakter ini akan terlindung berkat kesadaran, kebenaran, dan kesucian yang dijunjungnya.
Kebenaran tentang Perubahan
Sebagian orang tidak menyukai adanya perubahan. Padahal dunia dan seisinya selalu berubah. Dirinya sendiri, bahkan jiwanya pun bukanlah sesuatu yang tetap tidak berubah. Suatu keberadaan atau hidup mengikuti perjalanan waktu bergerak terus-menerus. “Ibarat sebuah sungai, mengalir dengan deras, menggulung segalanya, tidak untuk sesaat, tidak barang sekejap pun, tiada jeda yang membuatnya tak begerak.” (A. IV, 137). Heraclitus mengatakan, “Seseorang tidak pernah mandi dua kali dalam sungai yang sama.” Seperti juga tema Kitab I Ching: Segala sesuatu selalu mengalir tanpa henti.
Apa yang dinamakan kelangsungan dan kesinambungan sesungguhnya tidak lain dari serangkaian perubahan yang bergerak terus-menerus. Tingkat dan kecepatannya dalam ukuran waktu saja yang membedakan. Tidak ada suatu keadaan yang sama pada waktu yang berbeda. Maka perubahan itu merupakan kebenaran. Perubahan bersifat abadi. Jika manusia berbuat seolah-olah tidak berubah, mempertahankan sikap yang lama dan tidak dapat mengikuti hal-hal baru yang dihadapinya, setiap bentuk perubahan akan menimbulkan penderitaan baginya. Wajar tentunya kalau manusia berusaha menyesuaikan diri menghadapi perubahan.
Sebenarnya semua orang menyenangi perubahan. Tiap mengunjungi pameran atau melihat etalase toko, orang ingin melihat adanya barang baru. Banyak orang yang mengharapkan perubahan suasana, merindukan suasana yang baru. Tak seorang pun akan menolak perubahan kalau perubahan itu pasti mendatangkan kebaikan, keuntungan, dan ketenteraman baginya. Orang tidak menyukai perubahan kalau perubahan itu berupa sesuatu hal yang tidak pasti, yang mungkin akan merugikan dan menimbulkan ancaman baginya. Maka menjadi masalah, bagaimana memanfaatkan suatu perubahan sebagai kesempatan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Kebanyakan orang bersedia membayar lebih mahal untuk pelayanan yang lebih baik dan membeli lebih mahal untuk barang yang lebih bermutu.
Kita menemukan bahwa segala sesuatu di dalam dan di luar diri kita tidak berdiri sendiri. Selalu ada interaksi dan interdependensi. Karena itu seorang pemimpin dapat mengubah nasib bangsa dimulai dengan mengubah dirinya sendiri, hidup berkesadaran, memegang kebenaran dan memelihara kesucian.
Jakarta, Juni 2009