Menikmati Hasil Pembangunan dengan Tetap Hidup Sederhana
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Memasuki Pelita V, selama dua puluh tahun pembangunan nasional telah menghasilkan banyak kemajuan yang menggembirakan. Kemajuan tersebut dicapai dengan adanya jaminan stabilitas nasional, melalui perencanaan dan pengaturan pelaksanaan yang baik. Ini menyangkut pula sikap hidup, misalnya: kerja keras, rela berkorban, hemat, dan hidup sederhana.
Orang yang telah bekerja keras mengharapkan hasilnya. Bagaimana hasil itu dapat dinikmati dengan hidup sederhana? “Terdapat kesenangan yang lain dari kepuasan indrawi, lain dari objek batin yang bersifat rendah,” demikian dinyatakan oleh Buddha. Ia membandingkan orang yang tidak dapat hidup sederhana sebagai penderita kusta yang memerlukan obat, sedangkan orang yang sehat tidak memerlukan obat.[1]
Barangkali ada orang yang berpendapat bahwa tidaklah salah bermalas-malasan karena hidup yang dianjurkan itu cukup sederhana saja. Seorang nelayan merasa puas dengan beberapa ekor ikan tangkapannya yang cukup untuk makan sehari, lalu ia nikmati sisa harinya dengan bemalas-malasan. Ketika ada orang yang menganjurkannya untuk terus bekerja, menangkap dan menjual ikan sebanyak-banyaknya sehingga menjadi kaya, ia bertanya: Lalu untuk apa kekayaan itu? Kalau jawabannya untuk menikmati hidup, tidakkah si nelayan sedang merasa menikmati hidup? Apa perlunya bekerja membanting tulang sedang kenikmatan itu dapat diperoleh tanpa sudah payah?
Pernah sebelum menjadi Buddha, Pangeran Siddhartha mendengar dari Sujata, “Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk pot bunga lily, sekalipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi basah.” Sujata memang wanita sederhana. Ia merasa berutang budi kepada dewa pohon di tengah hutan karena doa-doanya di bawah pohon terpenuhi. Ia memperoleh seorang anak laki-laki. Ketika mempersembahkan sesaji sebagai tanda terima kasih, ia mendapatkan Siddhartha yang sedang bersemadi di bawah pohon itu, yang disangkanya adalah sang Dewa penolong.
Hidup seorang manusia menjadi berarti karena ia dapat menolong dan memberi. Untuk memberi sesuatu ia harus memiliki. Itulah sebabnya para calon Buddha bersusah payah menimbun kebajikan dan melatih diri, mengejar Penerangan Sempurna. Setelah mencapai Kebahagiaan yang Abadi, Buddha pun tidak lelah-lelahnya melakukan perjalanan yang panjang untuk menyampaikan khotbah dan menolong orang banyak selama empat puluh lima tahun. Jauh sebelum menjadi Buddha, semenjak masih kanak-kanak, Siddhartha mempertahankan prinsip bahwa: Hidup ini adalah milik orang yang memelihara dan menyelamatkannya.
Ketika Devadatta, saudara sepupunya, memanah jatuh seekor burung belibis, Siddhartha yang melihat binatang itu masih hidup, berusaha untuk melindunginya. Dengan penuh kasih sayang ia mencabut panah dari sayap burung tersebut dan berusaha untuk mengobatinya. Meskipun dipaksa, ia tidak mau menyerahkan burung kepada Devadatta. “Tidak, belibis ini tidak akan aku serahkan kepadamu. Kalau ia mati, maka benar ia adalah milikmu. Namun karena ia masih hidup, dan aku yang menolongnya, maka akulah yang berhak memilikinya.” Pertikaian mereka kemudian diajukan ke hadapan dewan hakim negara. Dewan hakim memutuskan sebagai berikut: Hidup adalah milik dari orang yang menyelamatkannya. Hidup tidak mungkin menjadi milik dari orang yang mencoba menghancurkannya. Karena itu menurut norma keadilan yang berlaku, belibis adalah sah menjadi milik dari orang yang ingin menyelamatkannya.
Manusia merasakan ada cinta dalam hatinya, tetapi apakah ia hidup dalam cinta? Dalam cinta setiap manusia berkeinginan melayani dan menemukan kebahagiaan dengan membahagiakan orang lain. Orang yang giat bekerja, mengumpulkan kekayaan dengan cara halal, menemukan kebahagiaan karena kekayaannya dipergunakan untuk menimbun jasa kebajikan. Kekayaan itu perlu antara lain untuk memenuhi kebutuhan segenap anggota keluarga, pembantu, teman, dan masyarakatnya, untuk tabungan atau simpanan menghadapi peristiwa yang tak terduga, dan untuk memenuhi kewajiban agama yang menghantarkannya kelak ke alam surga.[2]
Tidaklah sukar dimengerti, orang perlu kerja keras untuk menjadi lebih berada, tetapi tetap hidup sederhana dan menikmati kepuasan dalam membahagiakan orang lain. Dengan demikian, peningkatan kesejahteraan yang dicapai dalam pembangunan menjadi bernilai apabila semangat menolong dan melayani juga semakin meningkat. Hidup adalah milik orang yang memeliharanya.
29 Maret 1989
[1] Majjhima Nikaya 75
[2] Anguttara Nikaya V, 4:41