Milyarder Kita
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Untuk mencetak orang-orang intelek kita mengenal adanya sekolah. Yang terampil bekerja dihasilkan oleh balai latihan kerja, kursus, dan sejenisnya. Untuk melahirkan pemimpin politikus ada partai atau organisasi politik. Untuk mempersiapkan atlit-atlit menjadi juara ada pelatnas dan tentunya harus ada pula lomba dari segala tingkatan. Lalu untuk menjadi kaya, orang-orang itu harus mengerahkan segenap pikiran, tenaga, dan kesempatan yang ada padanya dengan sebaik-baiknya. Menjadi jutawan, apalagi milyarder, dengan cara halal tidak mudah dan tidak mungkin dalam waktu yang pendek.
Orang baik-baik akan lebih senang bersabar menanggung penderitaan, bertahan hidup dengan segala kekurangan, daripada mengejar kekayaan dengan cara yang tidak dibenarkan oleh hukum dan agama. Yang beriman tetap percaya bahwa, “Barang siapa melakukan perbuatan yang benar, siapa saja yang teguh tekadnya, yang penuh kesadaran, ia akan memperoleh kekayaan.” Buddha menegaskan pula, “Sesungguhnyalah kepercayaan itu adalah kekayaan yang paling berharga bagi seseorang di dunia ini.”[1]Orang yang mencari kekayaan dengan cara yang tidak sah, yang melakukan kejahatan, tidak akan memperoleh kebahagiaan, karena tidak pernah dapat hidup dengan tenteram. Ia pun tercela karena tidak membuat orang lain berbahagia dan tidak menghasilkan jasa kebajikan.[2]
Semua orang berhak untuk menjadi kaya dan sudah sewajarnya ingin menjadi kaya. Tetapi tidak semua orang bisa menjadi kaya, sekalipun sudah membanting tulang mati-matian dan taat pada petitih hemat pangkal kaya. Maka menjadi kejutan 1989, betul, apabila tiap Rabu di antara kita bisa muncul seorang milyarder dan banyak jutawan baru melalui jalan yang halal. Tetapi cara itu, SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) sebenarnya tidak menjanjikan orang akan menjadi milyarder. SDSB merupakan suatu cara untuk mengumpulkan uang dari dermawan, bukan cara mencetak jutawan. Menyumbang adalah menyumbang, dan menjadi kaya adalah soal lain.
“Seseorang yang mencari kekayaan dengan cara sah, tanpa kekerasan, dan dengan demikian ia memperoleh kesenangan dan kenikmatan bagi dirinya sendiri, membaginya dengan orang lain, serta melakukan perbuatan-perbuatan yang berjasa, terpuji dalam hal-hal tersebut. Tetapi sekalipun demikian ia masih tercela apabila menggunakan kekayaannya dengan cara yang salah, serakah, diliputi nafsu, terbelenggu karenanya, tidak waspada terhadap bahaya akibat penggunaan yang salah, dan lupa pada nilai batinnya yang tertinggi. Sedangkan orang yang mencari kekayaan dengan cara sah, tanpa kekerasan, dan dengan berbuat demikian ia memperoleh kesenangan dan kenikmatan bagi dirinya sendiri, membaginya dengan orang lain, serta melakukan perbuatan-perbuatan yang berjasa, menggunakannya tanpa keserakahan, tanpa nafsu, tanpa keterikatan, tanpa kesalahan, waspada dan hidup sesuai dengan nilai batinnya yang tertinggi sepenuhnya terpuji dan tiada tercela.”[3]
Orang kaya dianjurkan untuk tidak memamerkan kelebihannya, dan memancing keirihatian orang lain. Tetapi tidak juga ia harus menyembunyikan kekayaannya. Ia bisa menunjukkan kelebihan dengan menyumbang banyak dan banyak menyumbang, membayar pajak, membeli tanah dan membangun pabrik misalnya, membuka lapangan kerja dan memberi makan untuk orang banyak. Tidak kikir dan bukan memeras tenaga kerja. Kekayaannya menjadi bernilai hanya apabila memberi manfaat dan mendatangkan kesejahteraan bagi orang banyak.
Itulah yang ditunjukkan oleh pengikut Buddha yang setia. Visakha dan Anathapindika misalnya. Anathapindika itu berarti “Pemberi makan orang-orang miskin.” Nama asli orang ini adalah Sudatta. Ia tidak pernah ganti nama. Tetapi nama barunya, panggilan orang-orang yang menaruh hormat kepadanya, lebih populer sehingga kebanyakan orang tidak tahu bahwa Anathapindika bukanlah nama aslinya. Sedikitnya seribu mulut yang diberinya makan tiap hari. Milyarder ini menghabiskan 44 juta mata uang emas untuk membangun wihara Jetavana, menyediakan makanan, obat, dan pakaian untuk para biksu.
Banyak murid Buddha yang asalnya adalah orang kaya. Yasa, anak milyarder, dan kelima puluh empat orang temannya yang mengikuti cara hidupnya juga tergolong kaya raya. Punna seorang pedagang kaya, para pemuda Bhaddavaggiya berkelebihan hartanya, begitu pula Anuruddha yang bangsawan misalnya. Dengan memilih kehidupan sebagai biksu, semua kekayaan duniawi ditinggalkannya. Buddha memberikan mereka kekayaan rohani yang tiada batasnya. Kepada anak-Nya Buddha pun tidak memberikan warisan kekayaan duniawi. Anak itu Rahula, menerima petunjuk dari ibunya untuk menghampiri Buddha Gotama. “Ia yang bersinar seperti Brahma, yang dikelilingi oleh dua puluh ribu petapa itu adalah ayahmu,” kata ibunya. Pangeran berusia tujuh tahun itu menghampiri ayahnya dan berkata, “Ayah, berilah aku warisan. Aku akan menjadi raja. Aku menginginkan kekayaan. Engkau mempunyai banyak kekayaan, Ayah, wariskanlah kepadaku.” Lalu Buddha Gotama menunjuk seorang murid-Nya untuk menahbiskan Rahula menjadi samanera (calon biksu). Ia tidak memberikan kekayaan yang bersifat duniawi, sebagai gantinya Ia memberikan kekayaan rohani.
Tetapi Anathapindika yang pernah ingin meninggalkan kegiatan duniawi dan menempuh kehidupan biksu, oleh Buddha justru dinasihati agar tetap hidup sebagai umat biasa. Ternyata ia pun berhasil meraih tingkat kesucian. Jelas kekayaan itu bukan tujuan. Kekayaan menjadi alat yang baik bagi orang yang dapat menggunakannya dengan benar.
11 Juli 1989
[1] Sutta Nipata: Alavaka Sutta
[2] Samyutta Nikaya IV, 331
[3] Samyutta Nikaya IV, 331