Mimpi
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Semua orang dapat bermimpi. Menurut Dr. W.F. Jayasuriya, dalam konsep Buddhis mimpi merupakan pengalaman pikiran, bukan perasaan indrawi. Obyek pikiran dari mimpi memang meliputi kelima indra dan mental. Mimpi dialami pada saat tidur yang ringan (kapi nidda), tidak dalam keadaan tidur yang lelap. Kesinambungan proses pikiran (bhavanga citta) yang berlangsung tenang teratur pada saat tidur terputus atau terganggu oleh obyek lain ketika bermimpi.
Ada empat jenis mimpi yang dibedakan berdasarkan sebabnya.[1] Jenis mimpi yang pertama timbul karena gangguan dari unsur fisik atau pun mental dalam diri seseorang (dhatu). Gangguan tersebut biasanya menimbulkan kesan mengejutkan, seperti terjatuh dari suatu tebing, terbang melayang, dikejar-kejar binatang buas, dan sebagainya. Jenis mimpi yang kedua timbul sebagai refleksi dari apa yang pernah dipikirkan sebelumnya. Kesadaran yang melekat pada peristiwa yang telah lalu atau hal-hal yang berkesan mendalam dapat menimbulkan mimpi jenis ini. Jenis mimpi yang ketiga timbul karena adanya kontak supranatural. Makhluk halus atau dewa memberi pesan lewat mimpi seseorang. Jenis mimpi yang keempat timbul sebagai pertanda atau alamat yang berhubungan dengan hasil perbuatan, misalnya mimpi seorang Bodhisattwa.
Sebagaimana manusia lain calon Buddha Gotama pernah bermimpi. Mimpi yang pertama tentang jagat raya yang menjadi ranjang kebesarannya. Gunung Himalaya merupakan bantal kepalanya. Ia berbaring dengan tangan kiri mencapai lautan timur dan tangan kanan di lautan barat. Kedua kakinya terletak di samudra selatan. Mimpinya yang kedua tentang rumput-rumput kusa yang tiada habis-habisnya muncul dari pusat perutnya, menghampar luas hingga menyentuh mega. Mimpi yang ketiga, cacing-cacing yang putih berkepala hitam merayap dan menutupi kakinya hingga mencapai lutut. Mimpi yang keempat, burung-burung beraneka warna dari keempat penjuru dunia jatuh di kakinya lalu berubah menjadi putih semua. Mimpi yang kelima tentang bagaimana ia berjalan-jalan dengan penuh kesadaran di atas gunung kotoran tanpa sedikit pun terkena kotoran tersebut.
Mimpi-mimpi itu rupanya mengandung alamat mengenai apa yang terjadi kemudian. Mimpi yang pertama ditafsirkan berwujud dengan tercapainya Penerangan Sempurna, Jagat raya menjadi ranjang kebesaran baginya sebagai seorang Buddha. Mimpi kedua berhubungan dengan Jalan Utama, ajaran Buddha yang diumumkan baik kepada manusia atau pun dewa. Mimpi ketiga mengisyaratkan bagaimana penganut-penganut yang berjubah putih mencari perlindungan kepada Tathagata. Mimpi berikutnya diartikan bagaimana semua golongan masyarakat atau kasta, apakah itu brahmana, ksatria, waisa, atau sudra, memasuki kehidupan suci. Tak ada lagi perbedaan warna dalam kehidupan sebagai rahib Buddha yang meraih kebebasan mutlak. Mimpi yang terakhir pertanda bagaimana seorang Buddha bebas dari kotoran duniawi. Sekalipun untuk menunjang kehidupan diperlukan pangan, sandang, papan, dan obat-obatan, kebutuhan tidak sampai menimbulkan keterikatan.[2]
Mimpi karena gangguan dari unsur dalam diri seseorang dan refleksi dari apa yang pernah dipikirkan sebelumnya menyimpang dari kenyataan. Mimpi karena kontak supranatural dan mimpi yang mengandung alamat mungkin menjadi kenyataan, mungkin juga tidak. Oleh karenanya diperlukan sikap yang berhati-hati dalam menilai makna suatu mimpi. Dari sisi moral, mimpi dapat bersifat baik, buruk, atau netral. Mimpi dapat mempengaruhi perbuatan seseorang, memberi akibat tambahan pada perbuatan yang lain dalam kehidupan seseorang.
Mimpi menjadi awal perjalanan spiritual Lu Sheng Yen, seorang Taiwan yang kini menetap di Amerika. Pada suatu malam di tahun 1969 ia bermimpi mendaki gunung yang tinggi dan memasuki sebuah kuil di puncak gunung seakan-akan pulang ke rumah sendiri. Ia tidak mengerti bagaimana seorang kepala kuil yang menunggunya di sana dapat mengenalinya dengan baik. Esok harinya seorang medium wanita memanggilnya, dan menyampaikan pesan bahwa Bodhisattwa memilihnya untuk membabarkan Dharma. Ia dibuat tercengang karena wanita paranormal itu tahu mengenai riwayat hidupnya, tahu pula mengenai mimpi yang baru saja dialaminya. Selanjutnya ia mengalami banyak hal yang sukar dipercaya, yang membuatnya di kemuadian hari terkenal sebagai Buddha Hidup. Sebelum itu bagaikan anak yang hilang, sampai berusia 24 tahun ia menganut agama yang lain. Master Lu tentu tidak bermimpi ketika menjejakkan kakinya di Indonesia.
Begitu terjaga, orang sadar bahwa mimpi itu bukanlah kenyataan. Orang yang sadar terbangun dari keadaan mimpi. Buddha adalah Yang Sadar. Menjadi Buddha berarti terbangun dari keadaan mimpi. Seorang Buddha atau Arahat yang telah mencapai puncak kesucian dan menguasai kesadaran sepenuhnya tidak akan bermimpi lagi.
13 Juni 1990
[1] Parajika Atthakatha
[2] Anguttara Nikaya V, 20 : 196