Monopoli
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Keadaan di mana hanya ada satu pengusaha saja yang menyediakan suatu komoditi yang tidak dapat diganti dengan barang lain, dinamakan monopoli. Monopoli ditemukan juga di luar dunia ekonomi. Misalnya monopoli jabatan penting yang hanya boleh diduduki oleh orang-orang golongan tertentu saja. Di kalangan agama dikenal monopoli segolongan kecil orang yang berhak mengatur kehidupan beragama.
Menurut tradisi agama sebelum Buddha, kasta brahmana memiliki hak-hak istimewa, memegang otoritas, menguasai pengetahuan dan tata cara keagamaan secara turun temurun. Mereka mempraktikkan ilmu dan manteranya secara rahasia. Banyak orang pasif tergantung pada kaum brahmana, yang akan menunjukkan apa yang harus diperbuatnya supaya mendapatkan rakhmat Tuhan atau masuk surga. Buddha mematahkan monopoli kaum brahmana dengan mengajarkan agama secara terbuka. “Dharma dan Winaya dari seorang Tathagata bersinar terang agar disaksikan oleh semua orang, tidak tersembunyi,” demikian ujarnya.[1]
Menjelang saat wafat, Buddha masih menegaskan bahwa sedikit pun tidak ada ajaran yang ia rahasiakan. “Aku telah mengajarkan Dharma tanpa membuat perbedaan esoteris (rahasia) dan eksoteris (umum). Mengenai Dharma, Ananda, tak ada barang satu pun yang disembunyikan oleh Tathagata seperti yang dilakukan oleh seorang guru yang pelit.” Ia pun mengingatkan para murid-Nya agar tidak menyandarkan nasib pada makhluk lain, tetapi harus aktif menjadi pelita dan pelindung bagi diri sendiri.[2]Semua orang, tanpa kecuali, memiliki potensi dan bisa menjadi Buddha. Maka Kebuddhaan atau Penerangan Sempurna tidak mengenal monopoli. Jalan mencapai kesucian pun bukan monopoli agama Buddha.
Ajaran agama adalah ajaran membagikan cahaya bagi semua orang, tanpa kecuali. Tidak ada monopoli pemilikan dan pemanfaatan cahaya. “Bagi api dari sebuah obor, walau datang ratusan sampai ribuan orang mengambil api dari obor tersebut, untuk masak atau penerangan, obor itu tetap tidak kehilangan nyalanya seperti semula.”[3] Katakanlah hanya ada seorang pemilik kandil yang menyala. Orang-orang lain punya kandil tetapi tidak bernyala. Mereka tidak tahu bagaimana mendapatkan apinya, selain dari memohon kemurahan hati si pemilik api agar mau membagikan nyala apinya. Bukankah ia tidak akan rugi meminjamkan api itu barang sebentar saja?
Namun si pemilik api berpendapat lain. Baginya api kandil itu adalah barang berharga, yang menjadi tidak bernilai lagi kalau juga dimiliki orang lain. Membagi, sekalipun hanya meminjamkan berarti kehilangan. Orang-orang hanya bisa mengeluh, “Monopoli itu tidak baik.” Lalu pada suatu ketika, angin kencang mengembuskan api kandil, sehingga pemiliknya tiba-tiba terhenyak. Bayangan bahwa api itu akan mati menghentak akal sehatnya. Cepat-cepat ia mengundang semua tetangga. Katanya, “Ambil kandil-kandil kalian, api ini hendak aku bagikan. Apabila api punyaku ini mati, masih ada api yang lain tempat meminta.” Memperhatikan kepentingan orang lain bukanlah suatu perbuatan yang sia-sia, karena sesuai dengan hukum karma, pada waktunya kemudian justru akan melindungi kepentingan diri sendiri.
Ryunosuke Akutagawa bercerita tentang Kandata yang jahat selama hidupnya dan hanya sekali pernah memperhatikan kepentingan makhluk lain. Ia membiarkan hidup seekor laba-laba. Setelah meninggal dunia, Kandata dilahirkan di neraka. Untuk kebaikan kecil yang pernah dilakukannya, Buddha berniat memberikan jalan kepada Kandata agar keluar dari neraka. Sebuah benang laba-laba dilemparkan oleh Buddha dengan lembut ke dasar neraka.
Kandata melihat benang laba-laba yang melayang ke arahnya. Ia menjembakan tangannya meraih benang itu. Kedua tangannya memegang benang tersebut kuat-kuat dan mulai memanjat. Timbul harapannya untuk meninggalkan neraka.
Ketika memanjat, Kandata memutuskan beristirahat dan memandang jauh ke bawah. Seketika ia terperanjat melihat banyak orang-orang lain berebutan ikut memanjat ke atas. Maka Kandata berteriak, “Hai orang-orang berdosa, benang laba-laba ini kepunyaanku. Siapa yang mengizinkan kalian memanjat? Turun!” Ayo turun!” Pada saat itu pula tiba-tiba benang laba-laba putus pada tempat Kandata bergantung. Tak ada lagi waktu untuk menyesal, ia jatuh kembali ke neraka. Bukit Jarum dan Telaga Darah menunggunya. Kalau saja Kandata tidak ingin memonopoli, ia akan sampai di kaki Buddha.
Monopoli itu tidak baik kalau berdasarkan nafsu yang rendah, keserakahan umpannya, yang merugikan kepentingan pihak lain. Sebaliknya monopoli justru baik jika bertujuan untuk melindungi kepentingan orang banyak. Buddha misalnya melarang murid-murid mempertunjukkan kekuatan gaib, karena seringkali disalahgunakan. Dengan adanya larangan ini, para rahib tidak dapat peluang untuk menipu masyarakat. Perbuatan menipu antara lain dilakukan oleh biksu-biksu di tepi sungai Vaggamuda yang membohongi umat untuk kepentingan perutnya.[4] Buddha sendiri cukup sering memperlihatkan kekuatan gaib di hadapan orang banyak. Ini tak lain adalah monopoli.
Dalam dunia ekonomi, monopoli yang membuat orang tamak dapat mempermainkan penyediaan barang dan mengeduk keuntungan yang luar biasa di atas normal. Ini tidak baik, karena merugikan masyarakat. Tetapi monopoli negara dalam cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hidup orang banyak justru baik, agar dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
10 Januari 1990
[1] Anguttara Nikaya III, 13 ; 129
[2] Digha Nikaya 16
[3] Sutra 42 Bagian
[4] Suttavibhanga IV, 1