Mukjizat dan Perayaan Magha Puja
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Sebanyak 1.250 biksu dari berbagai penjuru, pada saat yang sama, tanpa perjanjian atau undangan, berhimpun menemui Buddha di Taman Veluvana. Mereka adalah biksu yang ditahbiskan oleh Buddha sendiri. Semua biksu itu adalah Arahat, yang telah menghancurkan kotoran batin, memiliki enam kekuatan gaib dan telah mencapai kesempurnaan. Saat itu purnama di bulan Magha, Februari menurut penanggalan kini.
Bukan hanya sekadar mukjizat, peristiwa ini mengandung arti yang lebih penting, yaitu dikabarkannya prinsip-prinsip ajaran Buddha (Ovada Patimokkha). Sebagian dari sabda Buddha saat itu adalah:
“Janganlah berbuat jahat
Kembangkan kebaikan
Sucikan hati dan pikiran
Itulah ajaran semua Buddha.”[1]
Kalimat pertama dipandang sebagai intisari Vinaya Pitaka, sekeranjang kitab yang memuat disiplin atau peraturan. Kalimat kedua dipandang sebagai intisari Sutta Pitaka, terutama berisi khotbah. Dan kalimat ketiga mewakili intisari Abhidhamma Pitaka, berisi uraian filsafat, metafisika, dan ilmu jiwa. Ketiga keranjang kitab ini lengkapnya dikenal sebagai Tipitaka (Pali) atau Tripitaka (Sanskerta).
Percaya pada mukjizat tidak mengurangi pemahaman ajaran Buddha secara rasional. Misalnya mukjizat dalam bentuk keajaiban alam yang terjadi bersamaan dengan kelahiran Bodhisattwa atau tercapainya penerangan sempurna, dinilai adikodrati tetapi bukan tidak semena-mena. Gejala yang digolongkan di bawah hukum Dhamma Niyama, juga tertib mengikuti prinsip sebab musabab yang bergantungan (paticcasamuppada).
Ananda pernah mengemukakan bahwa ia beruntung mendapat seorang Guru dengan pengaruh adikodrati yang meliputi seluruh jagat raya. Sebagaimana diuraikan oleh Buddha, jagat raya itu sendiri tak terbatas luasnya. Sebuah sistem alam seribu tatasurya terdiri dari seribu bulan, seribu matahari, seribu bumi, dan sebagainya. Terdapat kelipatan seribu dari sistem itu, sejuta alam tatasurya madya, bahkan semilyar alam tatasurya raya, dan tak terhingga. Udayin menyindir Ananda, apa gunanya untuk dia, karena yang memiliki kekuasaan itu adalah Sang Guru. Kepada Udayin, Buddha menyatakan bahwa berdasarkan keyakinan yang teguh andaikan sekalipun Ananda tidak berhasil mencapai Kesempurnaan, ia akan terlahir merajai para dewa atau merajai bumi.[2]
Mukjizat dalam bentuk kesaktian tak lain dari kemampuan batin (abhinna) yang dapat dicapai lewat usaha. Keberhasilan dalam latihan pemusatan pikiran sering diikuti kekuatan gaib seperti dapat memperbanyak diri, mengubah diri, melayang di udara, berjalan di atas air, mampu mengingat tumimbal lahir terdahulu, melihat alam halus, membaca pikiran makhluk lain.[3] Fenomena jenis ini digolongkan dalam Citta Niyama, suatu hukum alam batiniah, yang juga tak lepas dari hubungan sebab akibat.
Diriwayatkan pada beberapa peristiwa Buddha menunjukkan mukjizat. Misal peristiwa Buddha Gotama pulang ke Kapilawastu, atau peristiwa menundukkan Kassapa dan Angulimala. Memperlihatkan mukjizat hanyalah salah satu metode atau cara membuat orang percaya. Itu pun tidak untuk semua orang. Misal kelima biksu pertama menjadi murid-Nya cukup lewat khotbah, walau sampai berulang-ulang. Buddha juga tidak menundukkan orang tertentu yang tidak percaya, seperti halnya terhadap petapa Upaka.
Kemampuan batin tidak lepas dari kendali, sebagaimana dinyatakan berikutnya masih dalam OvadaPatimokkha:
“Kesabaran adalah cara tapa yang paling baik. Sabda Buddha, Nirwana adalah yang paling tinggi. Ia yang menyakiti orang lain bukanlah seorang Pabbaja, juga bukanlah Samana. Ia yang tidak senang menganiaya, tidak menghina, tidak menyakiti, mengendalikan diri sesuai dengan tata tertib. Makan sepantasnya, tinggal di tempat yang tenang, giat mengembangkan batin yang luhur. Itulah ajaran semua Buddha.”[4]
Buddha pun menolak kekuatan batin dipakai untuk kepentingan mencari makan. Disiplin besar (Maha-Sila) menurut Brahmajala Sutta, selain menolak spekulasi juga menyatakan bahwa meramal nasib, meramal suatu pertanda, dan berbagai praktik mistik adalah mata pencaharian yang salah.”[5]
Seorang biksu yang menyombongkan kekuatan batin atau kesucian yang sebenarnya tidak dimilikinya, dinyatakan bersalah dan harus dipecat. Diriwayatkan sekelompok biksu di tepi sungai Vaggumuda mendapat kesulitan karena rakyat kekurangan makanan sehingga berat untuk memberi sedekah. Mereka mengaku telah mendapat tingkat kesucian tertentu dan memiliki kekuatan gaib. Mereka pun dihormati dan mendapat banyak makanan dari umat yang justru sedang menderita paceklik. Buddha mencela dan melarang perbuatan itu.
“Orang-orang bodoh, ini bukan untuk kepentingan orang-orang yang tidak percaya dan bukan untuk menambah jumlah orang yang percaya, tetapi merugikan orang yang percaya maupun yang tidak percaya, karena kalian akan menimbulkan keragu-raguan dalam diri mereka.” Demikian dinyatakan oleh Buddha.[6]
11 Pebruari 1987
[1] Dhammapada 183
[2] Anguttara NIkaya III, 8:80
[3] Anguttara Nikaya III, 10: 100
[4] Dhammapada 184-185
[5] Digha Nikaya
[6] Sutta Vibhanga, Parajika IV, 1