Nichiren dan Mencari yang Asli
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
“Urusan kewanitaan itu rahasia, tdak terbuka. Kaum brahmana mempraktikkan mantranya dengan rahasia, tidak terbuka. Orang-orang yang berpandangan sesat menganut pandangan dengan rahasia, tidak terbuka. Inilah ketiga hal yang dijalankan dengan rahasia, tidak secara terbuka.”
Selanjutnya Buddha menyatakan, “Bulan bersinar agar disaksikan semua orang, tidak tersembunyi. Matahari juga demikian. Dharma dan Vinaya dari seorang Tathagata bersinar agar disaksikan oleh semua orang, tidak tersembunyi.”[1] Jelas tidak ada rahasia dalam ajaran Buddha.
Memang ada nubuat Buddha terdahulu bahwa akan datang di kemudian hari Buddha berikutnya. Buddha Gotama yang terakhir kita kenal dengan tegas mengumumkan bahwa Ia adalah seorang Buddha, dan Ia membuktikan Kebuddhaannya. Nichiren (1222-1282) tidak merahasiakan pandangannya bahwa Sakyamuni (Gotama) adalah Buddha zaman kini di dunia ini. Ia memuja Sakyamuni dan selalu membawa patung Sakyamuni. Sedangkan Amitabha dan Vairocana bukan Buddha dari dunia ini. Nichiren tidak segan-segan menentang pemuja Buddha Amitabha (Amida) aliran Sukhavati, Zen, atau Tantra (Shingon) dan Vinaya (Ritsu) misalnya. Sudah tentu ia tidak akan merahasiakan bilamana ia adalah Maitreya, Buddha sesudah Sakyamuni. Karena itulah bagi penganut Nichiren Shu, Nichiren dianggap sebagai Bodhisattwa, calon Buddha. Nichiren mencari yang asli dari sekian banyak ajaran Buddha. Pada usia 15 tahun ia ditahbiskan dan belajar dari Dozen bo, di pusat sekte Tendai (T’ien T’ai) di gunung Hiei selama 10 tahun. Akhirnya sampailah ia pada kesimpulan bahwa Sutra Saddharma Pundarika merupakan ajaran Buddha yang sejati. Karya tulisan Ho on syo menekankan balas budi terhadap orangtua, guru, dan negara. Karya lain Kaimokusyo menekankan pengorbanan terhadap rakyat, negara, dan dunia. Kitab Rissho Ankoku Ron tentang menegakkan kebenaran dan mengatur negara, dipandang sebagai puncak karyanya. Aliran baru yang lahir di Jepang ini masih terbagi menjadi delapan sekte.
Ikhwal ajaran Buddha yang asli sudah menjadi perhatian sejak Buddha Sakyamuni sendiri masih hidup. Buddha mengemukakan, “Terdapat dua macam orang yang salah menyatakan tentang Tathagata. Siapakah itu? Ia yang menyatakan apa yang tidak pernah dikatakan atau disabdakan-Nya sebagai sabda Tathagata, dan ia yang mengingkari apa yang telah dikatakan atau disabdakan oleh Tathagata.”[2]
Buddha sendiri menganjurkan penganut-Nya untuk mendengar kutipan oleh orang lain tanpa memuji atau mencela, namun meneliti dengan cermat tiap kata dan kalimat, membandingkan dengan Sutta (khotbah) dan Vinaya (peraturan).[3] “Karena itu, Cunda, perbuatlah olehmu, siapa saja yang telah mendengar Kebenaran dari-Ku, berkelompoklah dan mempelajari semua ajaran bersama, tidak mempertengkarkannya, melainkan perbandingkan makna demi makna, kalimat demi kalimat, agar ajaran Kebenaran ini dapat bertahan lama dan abadi, agar terpelihara berkesinambungan demi kebaikan dan kebahagiaan orang banyak, terdorong oleh cinta kasih bagi alam semesta, untuk kebaikan dan keuntungan dan kesejahteraan para dewa dan manusia.[4]
Buddha tidak menunjuk seorang dari siwa-Nya untuk memimpin Sanggha dan memegang otoritas tertinggi. Maksudnya agar para siswa memandang ajaran dan peraturan sebagai pembimbing, dan memusatkan perhatian pada ajaran dan peraturan itu, Maka para siswa-Nya mengumpulkan semua bahan yang telah diajarkan Buddha dengan teliti. Tugas mengumpulkan ajaran itu dilakukan oleh semua siswa pada waktu dan tempat yang berlainan. Untuk memelihara dan menguji kemurnian, para siswa mengulang pembacaan di hadapan orang banyak.
Segera setelah Buddha Gotama wafat, 500 murid yang telah mencapai kesempurnaan (Arahat) berhimpun menyelenggarakan Konsili I di Rajagaha. Konsili yang didukung oleh Raja Ajatasattu dari Magadha ini mengumpulkan semua ajaran Buddha, khususnya Sutta dan Vinaya secara sistematis. Seabad kemudian dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, diselenggarakan Konsili kedua yang diikuti 700 Arahat. Ketika itu terjadi pengelompokan Sthaviravada (kelak disebut Theravada) yang mempertahankan pelaksanaan peraturan secara murni, dan Mahasanghika (kelak menjadi Mahayana) yang mengizinkan penghapusan peraturan yang dianggap tak penting. Menurut catatan sejarah pada masa itu terdapat 18 aliran sekte. Konsili ketiga diadakan di Pataliputta di bawah pemerintahan Raja Asoka (249 SM), tidak berhasil melenyapkan perbedaan aliran, tetapi berhasil menghimpun Abhidhamma (filsafat). Sutta, Vinaya, dan Abhidhamma ini dinamakan Tripitaka (Tiga Keranjang), kitab suci seutuhnya.
Selanjutnya aliran Theravada mengadakan Konsili keempat di Aluvihara, Sri Lanka (83 SM), yang mewariskan Tipitaka bahasa Pali lengkap secara tertulis. Konsili kelima di Mandalay Birma (1871). Sedangkan bagi Mahayana, Konsili keempat diadakan di Jalandhara dengan dukungan Raja Kanishka (abad 1 M). Kitab suci Mahayana berbahasa Sanskerta. Perbedaan bahasa memang diizinkan. “Para Biksu, engkau diperkenankan mencatat sabda-sabda Bhagawa dengan bahasamu sendiri.”[5]
Dalam perkembangan selanjutnya tradisi Mahayana melahirkan Tantrayana. Dewasa ini Tantrayana terutama dianut di Tibet, Mahayana pada umumnya di Cina, Korea, dan Jepang, Theravada terutama dianut di Sri Lanka, Burma, Muangthai. Sejak tahun 1950, The World Fellowship of Buddhists (WFB) atau Persaudaraan Buddhis Dunia menghimpun semua sekte memasuki kerjasama internasional. Maka perbedaan-perbedaan tidak menjadi penghambat untuk memahami lebih banyak persamaan sebagai ajaran yang asli.
29 Juli 1987
[1] Anguttara Nikaya III, 13;129
[2] Anguttara Nikaya II, 3;3
[3] Digha Nikaya 16,4
[4] Digha Nikaya 28;17
[5] Cullavagga V;33;1