Nilai Sebuah Kesenian
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Ada alasan yang kuat, kenapa menari, menyanyi, musik, dan tontonan dihindari oleh para rahib Buddha. Buddha melihat mudahnya orang-orang terjerumus dalam hedonisme. Orang mengumbar rangsangan indrawi mencari kesenangan semata-mata. Kenikmatan duniawi yang sesaat itu membuat manusia tertipu sehingga melupakan tujuan hidup yang sebenarnya. Kebahagiaan yang sejati, justru hanya dapat dicapai dengan memadamkan nafsu yang rendah.
Dalam mitologi Yunani, Dionisos, dewa anggur dan pesta pora, dengan pengikutnya para Bakkhanta, menyanyi dan menari berkeliling dunia, membuat orang-orang lupa daratan. Sirena, makhluk-makhluk yang menyerupai burung, dengan nyanyiannya yang merdu memancing para pelaut untuk menghampiri mereka di bukit-bukit batu. Orang-orang yang terpikat akan mengalihkan arah perahunya dan tujuan semula, sehingga terbentur kandas pada bukit-bukit karang. Cuma keindahan yang memukau, tetapi pesona kenikmatan yang memabukkan itu menyesatkan dan membinasakan. Hanya ada satu orang yang sempat mendengar nyanyian Sirena dengan selamat. Orang itu Ulises. Ia berhasil mengatasi rayuan para Sirena dengan mengikatkan dirinya pada tiang layar perahu dan para pengikutnya diharuskan menyumbat lubang telinga masing-masing dengan lilin lunak; sehingga mereka tidak terpengaruh untuk mengubah haluan perahu.
Di pihak lain Orfeus dengan musik dan syairnya menimbulkan simpati banyak orang. Ia berhasil menawan hati Eridis dan mempersuntingnya. Namun malang istrinya ini meninggal dunia. Sejak itu Orfeus hanya memainkan lagu-lagu yang sedih. Ketika mendapat kesempatan untuk mengunjungi Hades, alam di bawah bumi, dengan musiknya yang lembut ia telah menjinakkan makhluk Hades yang menyeramkan. Mengenai musik, Plato memandang bahwa irama dan harmoni dapat bergabung, meresap dalam kalbu manusia sehingga akan mempertinggi budinya. Seni atau suatu karya yang memiliki unsur keindahan memang seharusnya mampu menggerakkan hati seseorang sehingga menjadi senang dan mungkin membebaskannya dari niat yang buruk. Maka, orang percaya bahwa seniman jarang berbuat jahat.
Sang Gotama dibesarkan dengan menikmati segala kemewahan. Sebagai seorang pangeran ia akan memiliki apa saja yang paling indah dan yang paling menyenangkan. Ia menikmati segala bentuk seni pertunjukan dan hiburan setelah menyaksikan penderitaan manusia lain di luar istana, ia menyadari betapa tidak berharganya kesenangan indrawi. Istana bukan lagi tempat yang menyenangkan baginya. Ia memulai pencarian Penerangan dengan melakukan matiraga. Sampailah kemudian lewat serombongan penyanyi dan penari yang menyanyikan syair sebagai berikut, “Bilamana senar siter disetel terlalu kencang, tali senar akan putus. Kalau disetel terlalu kendor, tidak akan bersuara. Senar harus disetel dengan ukuran tengah-tengah.” Sejak itu Sang Gotama menghentikan cara bertapa yang ekstrem. Ia memilih jalan tengah. Tidak berlebihan kalau dinyatakan ia menerima pelajaran dari seorang penyanyi. Penghargaan terhadap suatu karya seni erat terkait dengan sejauh mana pengaruhnya atas kehidupan dan perkembangan batin seseorang. Tidak hanya iblis (mara) penggoda yang mengambil wujud penyanyi dan penari, tetapi para dewa pun sering menyanyi dan menari.
Dalam Kitab Saddharma Pundarika dinyatakan bagaimana orang memasuki jalan Kebuddhaan. Setiap orang diakui berbeda kemampuan, kecenderungan dan semangatnya. Agar Buddha dapat menyelamatkan semua orang, tanpa kecuali, harus ada jalan yang sederhana yang dapat menghantarkan orang-orang itu untuk mengenal ajaran Buddha. Lalu sedikit demi sedikit orang-orang mengumpulkan pahala dan menyempurnakan jiwa yang penuh cinta kasih. Ada yang dapat memulai dengan menghormati segala peninggalan Buddha, mendirikan stupa dan candi, melukis atau membuat arca Buddha dan berbagai perlambangannya, atau pun mempersembahkan musik. Menabuh genderang, meniup terompet dan seruling, memetik kecapi dan harpa, memukul gong atau canang, tidaklah dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu indrawi, demikian pula dengan bernyanyi; tetapi ditujukan untuk memuji para Buddha dan menyempurnakan budi. Dalam kedudukan itulah kesenian menjadi bagian dari suatu ritus keagamaan.
Sehubungan dengan alasan adanya perbedaan tingkat kemampuan dan memperhatikan kecenderungan setiap orang yang memerlukan petunjuk darinya, Buddha sering bersyair dan mendongeng. Sudah tentu ia bukan pengarang cerita, dan tidak bermaksud menjadi sastrawan. Kumpulan cerita Buddha diakui merupakan bagian dari tiga keranjang kitab suci Tipitaka, namanya Jataka. Sedikitnya terdapat 547 judul cerita yang terhimpun dalam kitab itu. Orang-orang boleh menyangkal suatu ajaran atau kebenaran, tetapi ia mungkin tidak menolak suatu cerita dan karya sastra lain. Pandangan yang sama dapat diberlakukan untuk seni musik, tari, dan teater.
Jean-Paul Sartre pernah bertanya: Apa yang dapat dilakukan kesusastraan bagi orang yang kelaparan? Kita tahu, karya sastra dan kesenian pada umumnya, sama saja tidak akan mendapatkan perhatian dari orang-orang yang lapar. Tetapi kesenian harus mendorong orang-orang yang cukup kenyang ikut memikirkan nasib orang-orang yang lapar. Kesenian merupakan sarana efektif untuk membawa penerangan rohani. Untuk itu diperlukan kebebasan berkreasi yang selalu berpijak pada landasan moral.
9 Januari 1991