Nyepi di Tengah Kampanye Pemilu
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Putri Juliana menyaksikan sebuah parade dari balkon istana di Den Haag. Ia bertanya kepada ibunya, Ratu Wilhelmina, ”Apakah mereka ini, seluruh rakyat, adalah milikku?” Jawab sang ratu, ”Tentu saja tidak, Nak! Kitalah yang menjadi milik seluruh rakyat ini!” Benar, semestinya penguasa adalah milik rakyat. Rakyat merupakan junjungan penguasa, bukan sebaliknya. Penguasa termasuk raja harus tunduk pada kehendak rakyat. Persis sebagaimana konsep politik modern yang memandang suara rakyat adalah suara Tuhan.
Menurut Agganna Sutta, Buddha menunjukkan bahwa fenomena demokrasi dan kedaulatan di tangan rakyat dapat diikuti dari sejarah lahirnya suatu kontrak sosial untuk membentuk pemerintahan. Penguasa dipilih oleh orang banyak, dan berasal dari orang-orang itu juga. Semua manusia dilahirkan tanpa perbedaan kedudukan. Hanya saja di antaranya ada yang dipilih dan dipercayakan untuk memimpin, menegakkan kebenaran, memajukan kesejahteraan atau memenuhi aspirasi orang-orang yang memilihnya (D. III, 92-93). Di saat pemilu, semua kontestan pasti menyadari bahwa nasibnya ditentukan oleh rakyat, sehingga mereka berjanji untuk mengabdi kepada rakyat.
Bahaya Kedudukan
Seorang gubernur di Tiongkok (dinasti Tang), bernama Pai Le-tien melihat seorang biksu melakukan meditasi di atas pohon. Rahib itu terkenal dengan nama Niao-ke atau ‘Sarang Burung’. Gubernur Pai berkata, “Alangkah bahayanya engkau dengan kedudukan seperti itu di atas pohon.” Niao-ke menjawab, “Kedudukanmu jauh lebih berbahaya daripadaku.” “Aku gubernur, aku tidak melihat bahaya padanya.” “Nah, engkau tidak mengenali dirimu sendiri. Bilamana nafsu keinginanmu membakar dan hatimu terombang-ambing, apalagi yang lebih berbahaya dari itu?” Sang biksu mengingatkan adanya bahaya di balik suatu kedudukan.
Pandangan Biksu Niao-ke menjadi relevan saat kita mencermati tingkah laku para kepala pemerintahan, wakil rakyat, dan petinggi-petinggi lain. Dalam berbagai gradasi banyak kita temukan mereka yang menyalahgunakan kekuasaan sehingga menyusahkan rakyat. Apakah itu dengan cara kasar atau halus. Di segala zaman ada pejabat yang sulit dibedakan dari penjahat. Karena itu rakyat harus peduli, ikut pemilu dan memilih dengan hati-hati, agar tidak memberi kesempatan pada oknum yang bertujuan hanya mengejar kekuasaan dan kekayaan.
Bukan tidak beralasan kalau Kong Hu Cu mengatakan bahwa pemerintah yang tidak melindungi rakyat lebih mengerikan dari seekor harimau. Di gunung T’ai ia menemukan seorang wanita yang menangis. Orang bijak ini bertanya apa yang disedihkan olehnya. Wanita itu menjawab bahwa mertuanya diterkam harimau hingga mati di gunung itu. Demikian pula suami dan anaknya, mengalami nasib yang sama. Selanjutnya Kong Hu Cu bertanya, mengapa ia masih tinggal di tempat yang berbahaya itu? Jawab si wanita malang, “Di sini tidak ada penguasa yang menindas.”
Introspeksi Saat Nyepi
Putri Juliana yang kemudian menggantikan ibunya menjadi ratu Kerajaan Belanda, pernah ke Indonesia (1972) dengan membawa naskah manuskrip Kakawin Nagarakretagama. Naskah lontar ini berasal dari Lombok dan sampai ke Belanda karena dijarah oleh KNIL (1894). Menurut Nagarakretagama pada zaman Majapahit pergantian tahun Saka (bulan Caitra ke Waisaka) dirayakan secara besar-besaran.
Tarikh Saka ditetapkan oleh Raja Kanishka di India bersamaan dengan saat ia naik takhta (78), di hari pertama bulan Waisaka. Bertepatan dengan Tahun Baru Saka ini, kita diingatkan pada tradisi toleransi dari Raja Kanishka. Penguasa ketiga dari Dinasti Kushana ini berusaha memelihara kerukunan antara berbagai aliran atau agama sebagaimana juga telah ditunjukkan jauh sebelumnya oleh Kaisar Asoka.
Atas dukungannya terselenggara Konsili Sanggha (Persekutuan Biksu) aliran utara di Kashmir yang menyusun Kitab Suci Tripitaka berbahasa Sanskerta. Dari penggalian di Peshwar, India Utara, ditemukan sejumlah peninggalan Kanishka yang berhubungan dengan agama Buddha, seperti arca Buddha tertua, mata uang bergambar Buddha, dan relik yang dipercaya berasal dari Buddha.
Tahun Baru Saka pun dirayakan dengan semangat asketik dan sangat religius: Nyepi. Menjadi sepi, sunyi atau hening itu menyejukkan. Dalam suasana ini kita diharapkan dapat berpikir jernih. Keheningan batin akan mengangkat ke permukaan kebijaksanaan yang selama ini terbenam dalam lumpur berbagai bentuk kesibukan duniawi. Khususnya di tengah hiruk-pikuk kampanye pemilu, Nyepi menjadi sebuah momentum untuk introspeksi.
Tidak ada kontestan yang tidak menjanjikan perubahan dan kehidupan yang lebih baik. Janji-janji politik yang tidak direalisasi dapat disamakan dengan kebohongan dan penipuan. Kenapa mereka yang bertanggung jawab tidak dituntut dan dijatuhi hukuman? Kampanye pemilu rawan dengan pertikaian. Saat acara deklarasi kampanye damai di Jakarta, justru terjadi kericuhan (16/3/09). Tokoh yang satu menjelek-jelekkan yang lain. Pelanggaran peraturan mudah ditemukan di mana-mana. Segala atribut parpol dan caleg merusak keindahan, bahkan mengganggu keharmonisan lingkungan. Dapat dimengerti kalau ada RW-RW di Kelurahan Kadipaten Yogyakarta menolak pemasangan atribut partai.
Semangat Nyepi menyatukan manusia yang membersihkan diri dan alam semesta (mikrokosmos dan makrokosmos). Sudah sepatutnya kita hidup berkesadaran, berhenti melakukan segala hal yang jauh dari kebenaran, kesucian, dan keindahan. Selamat Tahun Baru Saka 1931.
Jakarta, Maret 2009