O, Anak
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Pangeran Charles akan mewarisi takhta kerajaan Inggris, karena ia putra sang ratu. Begitu pun Vajiralongkorn, putra mahkota calon pengganti raja Muangthai. Suatu Dinasti dikepalai oleh keturunan penguasa. Dan bagi seorang raja atau ratu, memperoleh seorang anak sudah menjadi keharusan. Negara bukan monarki pun mungkin membutuhkan keturunan penguasa untuk melanjutkan kepemimpinan. Rajiv Gandhi itu pilot yang ganti kemudi, memasuki bidang politik menggantikan kakek dan ibunya. Wajar saja Lee KuanYew atau Kim II Sung mempersiapkan anak sebagai ahli waris.
Apa arti seorang anak bagi kebanyakan orang? Menurut Buddha, suatu keluarga menghendaki putra karena lima hal, yaitu: “Ia yang telah dipeliharanya akan menolong orangtuanya. Ia akan melanjutkan memelihara tradisi selamanya. Ia akan berlaku pantas dan layak menerima harta warisan. Ia akan mempersembahkan jasa demi arwah orangtuanya yang telah meninggal dunia.”[1]
Karena anak dipandang sebagai kekayaan orangtua, merupakan investasi dan jaminan sosial, ekonomi atau pun emosi di hari tua, atau anak akan merupakan pembantu terpercaya, maka ada pendapat mempunyai anak itu suatu keharusan. Semakin banyak pun semakin baik. Namun lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lalu, Siddhartha menunjukkan pendapat yang lain.
Apa pun usaha yang dilakukan ayahnya agar ia mewarisi takhta, melanjutkan tradisi dan kepemimpinan kerajaan, Siddhartha justru mengambil jalan pilihannya sendiri. Sang ayah gagal memaksakan keinginannya. Anak tidak harus menjadi apa atau siapa sebagaimana yang dituntut oleh orang-tuanya. Ketika seorang anak masih kecil, sering ditanya: Mau jadi apa engkau kelak? Dan orangtua mulai mengarahkan, menjadi insinyur, dokter, jendral. Akhirnya mereka yang sukses adalah orang yang menjalani pilihan hatinya sendiri, mungkin menjadi pelukis, wartawan, atau suatu yang lain di luar pengarahan semula.
“Si dungu berpikir cemas, ‘Anak-anak ini milikku’, ‘kekayaan ini kepunyaanku’. Ia sendiri bukanlah milik dirinya sendiri. Mungkinkah anak-anak itu miliknya? Mungkinkah kekayaan itu kepunyaannya?”[2]
Ketika putranya lahir, Pangeran Siddhartha berkata, “Rahulajato, bandhanang jatang.” Artinya adalah: Satu jerat telah terlahir. Lalu anak itu dinamakan Rahula. Baginya anak bukan barang milik atau investasi. Tetapi anak justru adalah belenggu. Rahula di kemudian hari menjadi biksu, sehingga tidak melanjutkan keturunan. Kesadaran akan makna belenggu menjernihkan pengertian kasih. Anak memang adalah tumpuan kasih. Namun kasih tidaklah berarti menguasai, mengikat, atau memaksakan keinginan. Kasih itu membebaskan. Bahwa setiap orang bebas menentukan nasibnya sendiri dengan penuh tanggung jawab.
Kebahagiaan tidak sepenuhnya tergantung pada ada atau tidak adanya anak. Apalagi pada jumlah anak. Ketika seorang cucunya meninggal dunia, Visakha, dengan pakaian dan rambut yang masih basah, pergi menemui Buddha. Tanya Buddha, “Ada apa Visakha? Mengapa engkau datang kemari dengan pakaian dan rambut yang masih basah tidak pada waktunya (yang cerah)?” “O, Guru, cucu perempuanku yang baik dan terkasih menutup mata. Itulah sebabnya aku datang kemari dengan rambut dan pakaian yang basah tidak pada waktunya.” “Visakha, inginkah engkau mempunyai banyak anak dan cucu sebanyak orang-orang di Savatthi?” “Ya, Guru, aku menghendakinya tentu.” “Tetapi, berapa banyak orang di Savatthi yang kau pikir meninggal dunia setiap harinya?” “Sepuluh, Guru, atau mungkin sembilan atau delapan. Barangkali tujuh, enam, lima atau empat, tiga, dua, mungkin pula satu yang meninggal setiap harinya di Savatthi, Guru. Savatthi tidak pernah bebas dari orang mati, Guru.” “Bagaimana pikirmu, Visakha? Dengan demikian apakah kiranya engkau akan bebas dari rambut dan pakaian yang basah (tanda duka)?” “Tentu tidak, Guru. Cukup bagiku, Guru, sebanyak anak dan cucuku saja.” “Visakha, barangsiapa memiliki seratus hal yang dicintai, mereka memiliki seratus kesedihan. Barangsiapa memiliki sembilan puluh, delapan puluh, … tiga puluh, hal yang dicintai … barang siapa memiliki sepuluh … barangsiapa memiliki hanya satu hal yang dicintai, hanya memiliki satu kesedihan. Barangsiapa tidak memiliki satu pun, ia tidak memiliki kesedihan. Tiadalah kesedihan dan kehilangan baginya. Aku nyatakan mereka tenang tenteram.” [3]
Terdapat tiga jenis anak dibanding terhadap orangtuanya. Pertama anak yang dilahirkan superior. “Seorang anak yang orangtuanya tidak mengikuti Buddha, tidak mengikuti Dharma, tidak mengikuti Sanggha. Yang tidak pantang melakukan pembunuhan dan pencurian, yang tidak bermoral, bersifat jahat. Namun anak tersebut adalah orang yang mengikuti Buddha, mengikuti Dharma, mengikuti Sanggha. Ia pantang melakukan pembunuhan dan pencurian, pantang berzina, pantang berdusta, dan pantang makan minum yang memabukkan. Ia saleh, bersifat baik.” Selanjutnya Buddha menjelaskan pula, bahwa anak yang menyerupai orangtuanya, mengikuti Buddha-Dharma-Sanggha, disebut terlahir serupa. Itulah jenis yang kedua. Sedangkan jenis anak yang ketiga, orangtuanya mengikuti Buddha-Dharma- Sanggha, tetapi anak itu sendiri berlawanan dari orangtuanya, tidak bermoral, bersifat jahat, disebut terlahir rendah.[4]
Kebahagiaan memang mendapat peluang lebih besar pada keluarga kecil. Kebahagiaan juga lebih mendapat tempat pada keluarga dengan anak yang menuruni kebaikan orangtuanya.
10 Desember 1986
[1] Anguttara Nikaya V, 4;39
[2] Dhammapada 62
[3] Udana VIII, 9
[4] Ittivuttaka III, 3;5