O Ayah, O Anak
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Suasana rumah muncul dengan adanya ayah, ibu, dan anak. Rumah adalah tempat bernaung keluarga. Mulai dari rumah anak dipelihara, dilindungi, dibesarkan, dan dididik. Orangtua mengorbankan segala miliknya yang baik bagi anak-anak. Mereka seringkali melepaskan dan melupakan kepentingan diri sendiri. Dengan rela menghabiskan harta yang diperoleh susah payah demi anaknya. Orangtua senang melihat anak riang gembira, sejahtera, tentram bahagia, dan memperoleh kemajuan dalam segala hal melampaui apa yang tercapai olehnya.
Namun tidak semua anak dapat memahami kasih orangtua. Sebagaimana dapat diikuti dari riwayat Ajatasattu. Raja Bimbisara telah mendengar ramalan para petapa, bahwa anak yang dikandung permaisuri akan menjadi musuhnya kelak. Permaisuri pun berniat menggugurkan kandungannya. Namun Raja, calon ayah yang penuh kasih mencegah usaha itu. Sang anak yang lahir dengan selamat, dinamakan Ajatasattu. Nama ini artinya musuh yang belum lahir.
Di kemudian hari, sejarah mencatat Pangeran Ajatasattu melakukan makar dan berupaya membunuh ayahnya sendiri. Pemberontakan dapat digagalkan, tetapi pangeran Ajasattu dibebaskan dari hukuman, bahkan sang ayah tetap menyerahkan takhta kepadanya. Anak yang tak kenal budi itu setelah menjadi raja malah memenjarakan ayahnya. Ibunya yang prihatin dengan tekun menengok dan mengantar makanan ke penjara. Ajatasattu pun melarang sang ibu, karena semula ia menghendaki ayahnya meninggal kelaparan. Lalu ia mengirim pembunuh untuk mengakhiri hidup Bimbisara. Peristiwa kelahiran putranya sendiri menyadarkan Ajatasattu. Namun tak sempat lagi membatalkan perintah untuk membunuh ayahnya.
Dengan bertambahnya usia, sampailah waktunya kemudian sang anak harus berdiri sendiri. Bagaimana bila anak tidak memenuhi harapan orangtuanya? Ini dikisahkan oleh Buddha. Anak yang hilang, melanglangbuana dan belum juga jadi orang. Maksudnya orang yang hidup sejahtera. Sang ayah tak pernah berhasil menemukan di mana anak itu berada. Tetapi semakin tua semakin ia sukses, dan menetap di tanah yang baru. Setelah sepuluh tahun kemudian secara kebetulan tibalah anak itu di tanah tersebut. Sang ayah mengenali anaknya. Sebaliknya ia tidak dikenal oleh sang anak. Anak itu bekerja padanya. Dengan bertahap ayah yang waskita membimbing dan meningkatkan jenjang pekerjaan anak tersebut. Pada akhirnya ia mengumumkan bahwa anak yang hilang telah kembali.[1] Tentu saja peristiwa ini menjadi kejutan bagi sang anak. Demi kepentingan anak, ayah yang penuh cinta merencanakan dengan tepat bagaimana mendewasakan anaknya. Sedangkan anak mungkin bertanya-tanya karena tidak selalu mudah memahami harapan orangtua.
Buddha mengingatkan, dengan lima cara orangtua menunjukkan cinta kepada anaknya: 1) Mereka mencegahnya dari perbuatan buruk. 2) Mereka mendorongnya berbuat kebaikan. 3) Mereka mendidiknya agar menguasai suatu pekerjaan atau keahlian. 4) Mereka mengusahakan perkawinan yang pantas bagi anaknya. 5) Menyerahkan warisan pada waktunya.[2]
Setelah anaknya membentuk keluarga sendiri, mereka mulai memasuki saat tua, dan tidak jarang bergantung pada kemurahan hati anak. Di mana tempat untuk ayah yang sudah tua renta? Panti jompo mungkin salah satu jawaban untuk sebagian orang. Namun ayah (dan ibu) memilih tetap di rumah.
Adalah seorang duda tua yang hidup bersama putra dan menantunya. Ini juga dikasihani oleh Buddha. Sang menantu merasa sangat jengkel terhadap mertua yang susah diurus menurutnya. Suami, Vasitthaka namanya, dihadapkan pada pilihan: Pisah, ke mana ayah akan dipindahkan? (Tidak ada rumah jompo tempat penitipan di zaman itu). Cerai, bagaimana dengan anaknya sendiri yang membutuhkan ibu? Ia sendiri tidak ingin mencari istri lain. Pokok persoalan itu bukankah segalanya beres kalau sang ayah sudah menutup mata sehingga tidak menjadi beban lagi? Inilah yang dianjurkan oleh istrinya. Vasitthaka akhirnya memenuhi permintaan sang istri. Ia membawa ayahnya dengan sebuah gerobak ke kuburan. Di sana ia akan mengubur orangtua yang masih bernapas tetapi diperlakukan sebagai sudah mati itu. Apa mau dikata, si kecil, anaknya sendiri ikut masuk ke gerobak. Di kuburan itu si kecil membuatnya gentar. Katanya ia akan mengikuti perbuatan sang ayah apabila ayahnya juga sudah jompo kelak. Batallah niatnya, dan sebagaimana kisah yang baik, diakhiri dengan tobat atau penyesalan.[3]
Mendiang Bhante Narada, biksu Sri Lanka yang besar jasanya dalam pembabaran agama Buddha di Indonesia menegaskan bahwa: Seorang guru agama sebanding dengan sepuluh guru biasa, ayah sebanding dengan seratus guru agama (dan ibu sebanding dengan seribu ayah). Orangtua diibaratkan Brahma, yang dijunjung tinggi di rumah, dan tempat berbuat jasa kebajikan. “Menunjang ayah dan ibu, membahagiakan anak dan istri, bekerja bebas dari pertentangan, itulah Berkah Utama.”[4]
17 Desember 1986
[1] Saddharma Pundarika IV
[2] Digha Nikaya 31
[3] Jataka 446
[4] Suttanipada 16