O, Kaum Ibu
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Seringkali dalam lingkungan keluarga atau masyarakat, seorang anak laki-laki mempunyai tempat berlebih daripada perempuan. Tradisi yang memandang perempuan lebih rendah daripada laki-laki memang ada di mana-mana. Sekalipun emansipasi sudah bukan hal asing, tidak jarang pengakuan terhadap perbedaan kodrat diikuti perbedaan derajat.
“Ada lima beban khusus, para Siswa, yang harus dialami seorang wanita, berbeda dari pria. Apakah kelima hal itu? Demikian Siswa, seorang wanita muda usia pindah ke rumah keluarga suaminya dan meninggalkan keluarga sendiri. Inilah beban khusus pertama. Juga Siswa, seorang wanita mengalami haid. Inilah beban kedua. Juga Siswa, seorang wanita akan hamil, ini beban ketiga. Juga Siswa, seorang wanita akan melahirkan, ini beban keempat. Juga Siswa, seorang wanita melayani seorang laki-laki. Ini adalah beban kelima yang khusus diderita seorang wanita, yang membedakannya dari laki-laki”.[1]
Pernyataan Buddha ini mengungkapkan bagaimana masyarakat di India pada masa lalu (juga masyarakat lain, mungkin sepanjang zaman) memandang seorang wanita. Kodrat perempuan memang tidak dipungkiri. Ia haid, hamil, dan melahirkan. Tetapi kita diajarkan untuk membedakan kodrat dan derajat. Perbedaan laki-laki dan perempuan tidak dalam hal derajat manusia. Seorang perempuan sama saja dengan laki-laki, mampu menjadi bijaksana dan baik budi, mampu mencapai tingkat kesucian atau kesempurnaan tertinggi. Sebagaimana terbukanya kesempatan untuk para wanita yang ingin menjalani kehidupan membiara. Wanita bisa memilih kehidupan selibat.
Sejarah mencatat peran wanita di Nusantara yang mencapai puncaknya sebagai ratu penguasa dan pengambil keputusan tertinggi. Misalnya Sima, memerintah kerajaan Kaling (Holing menurut berita Cina) di Jawa Tengah sekitar tahun 674. Atau Tribhuwanattunggadewi yang memegang tampuk pemerintahan Majapahit, dan melahirkan Hayam Wuruk yang membawa zaman keemasan.
Penampilan mereka jelas menunjukkan bahwa derajat wanita tidak dibatasi kodratnya. Wanita bukan pelengkap penderita di dunia yang tergantung pada suami. Ketika Pasenadi raja Kosala mengunjungi Buddha Gotama di Savatthi, seorang hamba istana melaporkan bahwa permaisurinya, Mallika, telah melahirkan seorang anak perempuan. Raja itu merasa kecewa. Lalu Buddha bersabda kepadanya, “Seorang anak perempuan, O Paduka Raja, juga mampu menjadi keturunan yang lebih baik daripada laki-laki, sebab ia mungkin tumbuh bijaksana dan baik budi. Ia akan menjadi seorang istri yang sempurna, yang dihargai mertuanya. Putra yang mungkin dilahirkannya kelak akan melaksanakan pekerjaan yang besar, dan memerintah negara besar. Ya, sebagai seorang anak dari wanita yang mulia yang menjadi pembimbing segenap bangsanya.”[2] Sabda ini tentu bukan sekadar dimaksudkan untuk menghibur. Derajat seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin. Tetapi karma atau perbuatan masing-masing yang menjadikan para makhluk berbeda. Bahkan penentuan jenis kelamin tak lepas dari karma kehidupan yang terdahulu.
“Dengan penuh kasih sayang ia melindungi kita, membesarkan kita dengan susunya. Seorang ibu adalah jalan ke Surga, dan engkaulah yang amat dikasihinya.”[3] Semulia-mulianya seorang anak laki-laki, ia datang melalui kandungan ibunya. Dan seorang wanita yang berkesempatan menjadi ibu, memiliki perannya yang tidak kecil.
Dengan memperingati Hari Ibu kita menyatakan penghargaan atas peranan kaum wanita yang mulia, yang membimbing bangsa termasuk keluarganya. Kita diingatkan pada Konggres Perempoean Indonesia pertama 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Keputusan dan perjuangan kaum ibu untuk mewujudkan persatuan pada waktu itu mencerminkan peranan wanita Indonesia sebagai Ibu bangsa.
Kalaupun kegiatan atau peristiwa politik tercatat dalam sejarah, peran kaum ibu sesungguhnya jelas jauh lebih luas sehingga kehabisan kata kita mengungkapkannya.
24 Desember 1986
[1] Samyutta Nikaya, XXXVII, 3;3
[2] Samyutta Nikaya III, 2:6
[3] Jataka 532