Obor Persahabatan Dunia
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Dua orang biksu yang berdoa untuk perdamaian, membaca Sutra dan menabuh genderang sebagai pernyataan protes pada pembukaan pameran elektronika militer di Anaheim, ditangkap oleh polisi. Demikian diberitakan oleh Los Angeles Times, 24 Oktober 1979. Mereka ditahan dan dituntut karena mengganggu kedamaian. Padahal tidak sepatah pun kata yang kasar diucapkannya. Apalagi tindak kekerasan dengan kaki dan tangan.
Untuk mencapai dan memelihara perdamaian, kedua biksu itu bersikap aktif. Mengharapkan perdamaian dengan berdoa di rumah atau wihara saja tidaklah cukup. Bersandar kepada orang lain atau makhluk lain menandakan kelemahan. Bukankah Buddha mengajarkan untuk aktif berdiri di atas kaki sendiri atau bergantung pada diri sendiri.
“Jadilah pelita bagi dirimu sendiri. Jadilah pelindung bagi dirimu sendiri. Janganlah menyandarkan nasibmu kepada makhluk lain. Peganglah teguh Dharma sebagai pelita. Peganglah teguh Dharma sebagai pelindungmu.”[1]
Damai tidak hanya lawan kata dari perang. Damai dapat dinyatakan dengan banyak rumusan. Salah satu gambaran yang diambil dari sabda Buddha Gotama menjelang hari-hari akhirnya adalah, “Siapa yang memberi, kebajikannya akan bertambah. Siapa yang dapat mengendalikan diri, tak akan membenci. Orang yang arif berbudi terhindar dari kejahatan. Dengan mencabut akar dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan, tercapailah keadaan damai.”[2]
Damai secara mendasar mengandung makna kesejahteraan. Damai sejahtera diwujudkan dengan bersatunya mereka yang bercerai, rukunnya mereka yang berbeda kepentingan, mengangkat orang yang hina dan papa tetapi juga menghargai golongan yang mulia dan berada, merawat mereka yang sakit dan terlantar, mendorong mereka yang lemah dan putus asa, meluruskan jalan hidup mereka yang sesat, menerangi yang gelap, dan seterusnya. Semua hal ini diperjuangkan tanpa kekerasan. Karena kekerasan justru merusak perdamaian.
Kesengsaraan dan ketidakpuasan datang dari sifat yang mementingkan diri sendiri. Sebelum orang menjadi tenang lalu damai, ia harus menghentikan cara hidup yang mementingkan diri sendiri.
Etika Buddhis menganjurkan pembasmian seluruh keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan ketidaktahuan (moha). Selain mencampakkan hal-hal yang negatif, sekaligus pula menimbulkan hal-hal yang positif, dengan mengembangkan cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna), perasaan simpati (mudita), dan keseimbangan batin (upekkha).
“Bagaimana seorang ibu mempertaruhkan jiwanya, melindungi anaknya yang tunggal, demikian pula hendaknya ia memiliki pikiran penuh cinta kasih terhadap semua makhluk. Dipancarkannya pikiran cinta kasih tanpa batas ke segenap alam semesta, ke atas, ke bawah dan ke sekeliling, tanpa rintangan, tanpa benci dan permusuhan.”[3]
Tahun Internasional untuk Perdamaian, ditandai dengan peristiwa para pemimpin agama sedunia bersama-sama berdoa untuk perdamaian. Gencatan senjata yang ditaati oleh mereka yang bertikai, tetapi waktunya sangat pendek dan perang pun berlanjut kembali. Peristiwa bersejarah lainnya yang melibatkan kita secara langsung adalah lintasan Obor Persahabatan Dunia yang dibawa melewati 39 negara.
Api adalah salah satu alat puja. “Dengan cahaya yang memancar terang, yang melenyapkan kegelapan ini, kami menuju kepada Yang Maha Sempurna, yang mengusir kabut ketidaktahuan.” Demikian dipanjatkan jemaah setiap melakukan puja. Api memberi cahaya yang bersinar terang melenyapkan kegelapan. Terang yang menghalau kebodohan. Simbolisasi api obor tentunya hanya punya arti bila diikuti tindak nyata.
Mengawal obor tersebut diikuti pengumpulan dana. Inilah salah satu bentuk tindak nyata. Obor perdamaian atau persahabatan tak lepas dari pesan damai yang sejahtera. “Mari berlari sambil beramal,” demikian pengarahan panitia. Apa arti dari dana yang dihimpun lewat gerakan amal tersebut? Imunisasi bayi, pos kesehatan terpadu dan proyek kesehatan lingkungan termasuk air bersih di perdesaan.
Dana adalah memberi segala sesuatu yang patut kepada yang membutuhkan dan diserahkan tanpa mengharapkan balasan. “Hanya karena rasa kasih sayangmu yang besar kepada segala makhluk, itulah yang menjadikan keikhlasan untuk menyerahkan segala-galanya kepada yang membutuhkan. Sertailah dengan tutur kata yang menyenangkan, jujur dan tulus hati, itulah dana namanya.”[4]
19 November 1986
a
[1] Digha Nikaya 16, II : 26
[2] Digha Nikaya 16, IV : 42
[3] Suttanipata 149-150
[4] Sanghyang Kamahayanikan