Pakaian dan Penampilan
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Pernah seorang pengusaha terkemuka ditolak kehadirannya di DPR karena pakaiannya yang dianggap kurang sopan. Ia bercelana pendek, itu saja. Lainnya tidak ada yang menyangkal kalau ia sungguh-sungguh orang yang terhormat. Di luar itu, ada banyak orang-orang kecil yang mendapat kesulitan untuk memasuki tempat-tempat tertentu dan mendapat perlakuan buruk karena tidak dikenal atau tidak termasuk golongan yang terhormat.
Supaya terpandang dan mendapat perlakuan yang terbaik, orang memerlukan pakaian yang bisa menunjukkan wibawa atau keberadaannya. Orang yang mengenakan seragam militer sangat boleh jadi akan lebih dihormati kalaupun tidak ditakuti. Berpakaian safari, apalagi setelan lengkap, membuat seseorang lebih mudah menemui para pejabat, baik itu di pemerintah atau di swasta. Selain pakaian, kacamata, arloji, perhiasan, dan berbagai aksesoris yang mahal perlu dipamerkan sebagai tanda bonafiditas, dan kebanyakan orang akan lebih menghargainya.
Seorang laki-laki seperti kodok pun menjelma menjadi pangeran hanya karena ia menukar kemejanya, demikian pendapat Carole Jackson. Seorang budak yang menukar pakaiannya dengan jubah biksu menjelma menjadi orang bebas yang dihormati oleh para bangsawan sekalipun.
Tetapi apa betul orang dihormati karena busana yang dikenakannya? Dalam hal jubah biksu, Buddha menyatakan, “Barangsiapa bermaksud mengenakan jubah kuning, namun ia belum bebas dari kotoran batin, tidak memiliki pengendalian diri dan kebenaran, maka sungguh tidak patut ia mengenakannya.”[1] Harga diri seseorang tidaklah terletak pada pakaian yang dikenakannya.
Pukkusa dari suku Mala mempersembahkan dua perangkat jubah warna emas yang berkilau kepada Buddha. Ketika itu malam menjelang Buddha akan mengakhiri hidupnya. Jubah yang satu dikenakan oleh Buddha sendiri, dan yang lain diberikan kepada Ananda. Jubah yang dikenakan oleh Buddha itu seolah-olah pudar warnanya, menjadi kabur kilauannya. Sekujur tubuh Buddha memancarkan terang yang mengalahkan gemerlapnya pakaian.[2]
Pakaian diakui mempengaruhi penampilan seseorang, tetapi sebenarnya yang mempesona adalah bagaimana seseorang bertingkah dan bergaya. Sebelum menjadi Buddha, Pangeran Siddhartha yang menanggalkan pakaian kebesarannya, mengenakan pakaian petapa yang sangat sederhana dan hidupnya tak berbeda dari rakyat kecil yang paling miskin. Bahkan, ia meminta-minta makanan seperti pengemis lain. Namun pengemis ini tidak bisa menyembunyikan gayanya yang agung mempesona, sehingga ia menarik perhatian Raja Bimbisara.
Pakaian diperlukan untuk menutupi bagian tubuh yang bisa menimbulkan rangsangan birahi. “Kemudian orang perempuan sangat memperhatikan keadaan tubuh laki-laki dan laki-laki pun sangat memperhatikan keadaan perempuan. Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu banyak timbullah nafsu indra yang membakar tubuh mereka.”[3] Tumbuhnya peradaban pun ditandai dengan kebutuhan manusia akan pakaian.
Menurut E.F. Schumacher, kalau tujuan orang berpakaian untuk melindungi tubuh dan supaya sedap dipandang mata, maka dalam pandangan agama Buddha tujuan tersebut dicapai secara efesien. Misalnya sesedikit mungkin membuang bahan dan agaknya bodoh kalau orang membuat pakaian dari bahan yang tidak tahan lama. Selain itu sangat tidak ekonomis tentunya orang yang mempersiapkan busana dengan model yang sulit, yang memerlukan banyak tenaga dan biaya.
Kalau dengan mengenakan bahan pakaian yang belum dipotong dapat memenuhi tujuan, dan menghasilkan penampilan yang bahkan lebih menawan, mengapa mesti bersusah payah mencari model? Siapa pun mengakui bahwa tidaklah beradab orang yang membuat pakaian yang jelek. Buddha sendiri mengharuskan seorang biksu memperhatikan jubahnya dengan layak. Ia memuji Ananda yang cakap membuat bermacam-macam lipatan jahitan. Seorang biksu yang baik melipat jubahnya agar tidak berjumpai ujung-ujungnya, sehingga tidak dipandang ceroboh atau lalai memelihara jubah sumbangan para umat. Sekalipun demikian, Buddha tidak membenarkan para biksu sibuk mengurus jahitan sehingga mengganggu tugasnya yang pokok.[4]
Jubah para biksu merupakan salah satu macam seragam. Pakaian yang dinamakan civara itu berwarna kuning kecoklatan, pada mulanya adalah warna yang didapat dari celupan larutan getah beberapa jenis pohon. Jahitannya dibuat menurut pola petak sawah Magadha yang diusulkan oleh Ananda. Seragam jubah tersebut menunjukkan identitas murid-murid Buddha. Seragam itu membuat mereka yang asalnya dari berbagai tingkatan sosial ekonomi menjadi sederajat. Seragam juga menghadirkan jiwa kelompok dan membangkitkan kesetiakawanan. Tetapi tetap saja ajaran dan peraturan Buddha yang mempersatukan dan mengendalikan mereka.
Pakaian memiliki kekuatan dalam menampilkan citra seseorang atau sekelompok orang. Namun bagaimana pun pakaian menyulapnya, penampilan setiap orang sangat tergantung kepada kepribadiannya.
12 Juli 1989
[1] Dhammapada 9
[2] Digha Nikaya 16
[3] Digha Nikaya 27
[4] Maha Vagga VIII, 12