Pancasila dan Hidup Damai
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
G-30-S dengan Lubang Buaya-nya adalah tragedi yang pernah menimpa hidup bangsa Indonesia. Ingatan pada peristiwa itu membangkitkan rasa syukur yang tak terhingga kepada Tuhan Yang Mahaesa, bahwa negara dan bangsa kita tetap selamat. Pengalaman memperkuat keyakinan kita bahwa segala usaha yang bertentangan dengan Pancasila, dasar negara dan pandangan hidup bangsa, akan membawa malapetaka. Pancasila memberi jaminan kelangsungan hidup damai semua suku bangsa dan golongan di Tanah Air.
Di tengah pergaulan antarbangsa, paling tidak tetangga kita sesama ASEAN, bisa menimba banyak pelajaran dari tragedi Lubang Buaya. Sedangkan untuk kita sendiri, senantiasa tak boleh lengah, sehingga pengalaman pahit itu tidak berulang. Perjalanan sejarah abad ini, pada bangsa yang tak jauh dari Nusantara, khususnya di Indocina, menunjukkan bagaimana nasib para penganut agama Buddha ditindas oleh golongan komunis. Suatu keharuan menghinggapi mereka yang menyaksikan dengan khusyuknya Pangeran Norodom Sihanouk bersembahyang baru-baru ini di salah satu wihara di Jakarta. Kekhusyukan yang tidak lagi dialami di Pnompenh.
Kebhinekaan Tanpa Komunis
Kita memang mengenal Bhinneka Tunggal Ika. Kebhinekaan ini hendaknya tidak disalahtafsirkan, sehingga memberi kesempatan bagi kehadiran komunisme.
Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma menyatakan: “Siwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika, Tanhana Dharma Mangrwa”, yaitu: Siwa dan Buddha meskipun berlainan, akan tetapi sesungguhnya adalah satu, oleh karena tidak ada Kebenaran Tuhan yang kembar. Pernyataan ini hanya berlaku untuk paham yang terkait pada moral keagamaan atau Ketuhanan Yang Mahaesa.
Ketegasan Buddha tentang pelaksanaan sila merupakan suatu norma moral yang mengandung nilai universal; pantang membunuh, pantang mencuri, pantang berzinah, pantang berdusta, dan pantang bermabuk-mabukan. Lewat Siwa atau lewat Buddha, ya norma ini satu adanya.
Kurangnya perhatian pada kesejahteraan masyarakat akan memberi peluang bagi tumbuhnya perbuatan yang tidak bermoral. “Orang miskin kerap kali memupuk kebencian yang menimbulkan hubungan tidak baik dengan orang-orang lain di mana saja.” Pernyataan dalam Sutra Delapan Kesadaran Agung ini menghantar suatu petunjuk yang berhubungan dengan praktik derma. Lebih lanjut dapat kita pahami bahwa kemiskinan adalah iklim yang tidak sehat untuk cara hidup yang berlandaskan moral. Komunisme mudah berkembang di tengah kemiskinan. Maka peranan umat beragama adalah menghadapi komunisme erat berkaitan dengan usaha mencampakkan kemiskinan.
Perdamaian Antarbangsa
Tidaklah berlebihan bila dikemukakan bahwa pembangunan ekonomi ditujukan pula untuk memberi perlindungan pada tata kehidupan yang bermoral. Maka pembangunan semacam ini perlu disertai pembangunan di bidang ideologi, politik, hukum, sosial, agama, dan budaya.
Kesaktian Pancasila tidak hanya punya arti bagi peri kehidupan di tengah bangsa sendiri. Sebagai pandangan hidup Pancasila juga menuntun kita dalam pergaulan antarbangsa. Kita berusaha dan bertanggung jawab ikut memelihara perdamaian.
“Peradaban itu bukanlah memiliki cahaya listrik, atau pesawat terbang, atau menghasilkan bom nuklir. Peradaban itu tidaklah membunuh manusia, tidaklah menghancurkan sesuatu, tidaklah menimbulkan perang. Peradaban adalah berpegang pada saling mencintai dan menghargai satu sama lain.” Demikian dinyatakan oleh Nichidatsu Fujii. Rahib ini mengobarkan kembali semangat dan pesan perdamaian Buddha Gotama dari Jepang ke India, bahkan ke Barat.
“Demikianlah dalam hidupnya, Ia adalah pemersatu bagi mereka yang terpecah belah, pendorong mereka yang bersahabat, juru damai, pecinta perdamaian, gandrung akan perdamaian, juru bicara yang menjadikan damai.”[1]
Nichidatsu Fujii ini pernah bersama Mahatma Gandhi memukul genderang dan berdoa untuk perdamaian (1933).
“Barangsiapa menginginkan kebahagiaannya sendiri dengan menimbulkan penderitaan kepada orang lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka setelah ajal pun ia tak akan memperoleh kebahagiaan.”[2]Setiap perang membuktikan bagaimana peradaban justru menjadi mundur, karena moral tidak dipertahankan.
Kita menyambut hangat obor persahabatan, atau apa pun namanya, dengan maksud perdamaian.
Seorang siswa bertanya kepada Buddha, “Apakah jasa-jasa kebajikan akan habis?” Buddha menjawab, “Bagaikan api dari sebuah obor, walau datang ratusan sampai ribuan orang mengambil api dari obor tersebut, untuk masak dan penerangan, obor itu akan tetap menyala seperti semula, demikian pula jasa kebaikan dari perbuatan tersebut.”[3]
Perdamaian tidak hanya menyangkut masalah perang atau persenjataan. Tetapi perdamaian berhadapan langsung dengan kegiatan hidup manusia sepenuhnya. Di samping segala bentuk permusuhan, ancaman perdamaian itu sahabat iblis yang terbesar, yakni: ketamakan dan nafsu keinginan yang berlebihan. Jika kita dapat menghancurkan ketamakan, akar penyebab dari pertentangan pribadi dan antarbangsa, maka Tahun Perdamaian Internasional betul-betul membuka Zaman Damai.
Hidup damai ini bagi bangsa kita berdasar kepada Ketuhanan Yang Mahaesa, kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
1 Oktober 1986
[1] Digha Nikaya I
[2] Dhammapada 131
[3] Sutra Empatpuluh Dua Bagian 10