Peluang Sukses dan Tahun Naga
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Konon menjelang tutup usia, Buddha menerima kunjungan dua belas jenis binatang yang kemudian boleh antri bergilir menguasai satu tahun kalender masing-masing. Ini legenda. Penanggalan dengan siklus keduabelas tahun binatang tersebut, yaitu Imlek, berasal dari Cina, yang 17 Februari ini memasuki hari pertama tahun ke-2539.
Penanggalan Buddhis dan Imlek mirip satu sama lain karena keduanya berdasarkan tahun bulan. Penanggalan Buddhis sendiri dihitung dari tahun Buddha mangkat, lebih muda tujuh tahun dibanding Imlek. Bulan pertamanya jatuh pada bulan November-Desember, dinamakan Magasira-masa. Nama bulan-bulan berikutnya yaitu Pussa, Magha, Phagguna, Citta, Vesakha, Jettha, Asadha, Savana, Assayuja, Pathamakattika, dan Kattika-masa.
Hari-hari saat bulan baru dan bulan purnama merupakan hari utama untuk melakukan sembahyang atau praktik keagamaan lain. Kedua hari itu merupakan hari pertama dan tengah bulan pada penanggalan tahun bulan. Jangka waktu dua minggu di antaranya disebut pakkha. Satu bulan (masa) terdiri dari dua pakkha.Dua belas bulan membentuk satu tahun. Perhitungan bulan ini disesuaikan pula pada perputaran bumi mengelilingi matahari, khususnya agar dapat mengikuti siklus musim dengan tepat. Untuk itu setiap 19 tahun diperlukan 7 kali penambahan bulan ketiga belas, yaitu disebut Adhika-masa.
Penanggalan dipergunakan untuk mengetahui atau memperhitungkan kapan suatu musim berulang, kapan waktu yang tepat untuk melakukan suatu kegiatan, termasuk menanam dan memanen. Petani membajak, mengolah tanahnya dan menanam benih dengan baik. Ia mengairi sawah atau menyiram tanamannya. Tetapi ia tidak memiliki kekuatan untuk membuat tanamannya bersemi, berbulir bernas, atau berbuah segera. “Tidak, tergantung pada waktunya yang tepat, hal-hal itu terjadi,” demikian pernah ditegaskan oleh Buddha.[1]
Hidup ditandai nasib baik dan buruk, untung dan rugi, suka dan duka. Setiap orang jelas menghendaki perbaikan nasib. Nasib sekarang dan apa yang akan terjadi di kemudian hari mungkin menjadi pertanyaan dan menimbulkan rasa khawatir. Kapan waktu yang baik yang memberi nasib baik? Waktu yang baik bisa berarti musim yang sesuai, cuaca yang tepat atau kapan suatu kesempatan mendukung kemampuan dan kegiatan penggunaan sumber daya sehingga memberi hasil optimal. Sebelum sesuatu peristiwa terjadi, manusia dapat memperkirakan atau meramalkannya.
Seorang ilmuwan meramal tentang suatu yang akan terjadi dalam kondisi yang telah diketahui dengan menghitung kemungkinan-kemungkinan atau peluang dan kejadian secara matematis. Dalam meramal itu diperhitungkan pula tingkat kepercayaan, seberapa jauh sesuatu pendugaan itu dapat diandalkan. Dinamakan ramalan, tetapi sesuai dengan logika dan rasional. Lain halnya ‘orang pintar’ dengan primbon dan astrologinya atau kekuatan paranormal yang bersifat misteri.
Pakar ekonomi boleh meramalkan bahwa pertumbuhan ekonomi di tahun ini mungkin lebih rendah ketimbang tahun 1987. Sedang tahun ini sang naga yang sudah mengantri dan yakin pasti tiba gilirannya menguasai waktu setahun, gegap gempita menjanjikan sukses. Orang memang mencari dan menunggu datangnya waktu yang baik.
Tahun diartikan dengan kepribadian atau watak dan nasib manusia. Tahun baik, itulah pula saat yang pantas untuk melupakan alat kontrasepsi dan melahirkan anak-anak yang perkasa. Namun karena tahun baik, program KB Mandiri masih boleh juga sukses.
Kemampuan ekstrasensori (abhinna) dalam agama Buddha bukan misteri. Perkembangan persepsi ekstrasensori dijelaskan sebagai suatu kejadian kausal dan konsentrasi mental yang menjadi penyebabnya. Di luar itu cuma kebodohan, kesesatan, atau penipuan. Buddha memandang rendah praktik meramalkan nasib, menghitung hari baik atau buruk, dan sejenisnya, apalagi sebagai cara mencari penghasilan.[2]
Tiada sesuatu hal yang terjadi tanpa sebab. Itulah yang diajarkan oleh Buddha. Prinsip ini sesuai dengan hukum karma. Kalau seseorang meraih sukses dengan melaksanakan usahanya mengikuti tafsiran atas tahun atau waktu yang baik, tidak berarti hal itu disebabkan oleh kekuatan di luar karma. Kematangan buah karmanya sendiri yang terjadi pada waktu yang baik itu. Karma atau perbuatan masing-masing yang menentukan nasib seseorang. Masa depan di tangan diri sendiri.
Karena apa yang akan terjadi di kemudian hari mungkin menjadi pertanyaan, maka Buddha menganjurkan untuk memanfaatkan dengan sungguh-sungguh dan tidak mengabaikan waktu sekarang ini. mumpung masih muda atau belum semakin tua, mumpung sehat, mumpung tidak kekurangan makan, mumpung damai, mumpung bersatu, manusia harus segera mengarahkan segenap tenaga mencapai apa yang belum tercapai, menguasai apa yang belum dikuasai, menyadari apa yang belum disadari.[3]
Meminta rejeki seraya mempersembahkan sesaji itu menyokong. Berkaul dengan janji hendak melakukan sesuatu bila doa permohonan terpenuhi itu berdagang. Berpikir bahwa Tuhan membedakan tahun baik dan tahun buruk itu kebodohan. Peluang, cepat atau lambat selalu datang menyertai perbuatan yang baik. Sedangkan untuk berbuat baik tidak ada hari yang buruk.
17 Februari 1988
[1] Anguttara Nikaya III, 10:91
[2] Digha Nikaya 1
[3] Anguttara Nikaya V, 8:78