Pembaharuan dalam Agama Buddha
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Hari ini, saat bulan purnama, umat Buddha merayakan Magha Puja. Dua peristiwa yang diperingati. Yang pertama adalah berkumpulnya seribu dua ratus lima puluh orang suci menemui Buddha tanpa didahului perjanjian atau undangan. Buddha menerangkan prinsip-prinsip ajaran-Nya kepada mereka semua yang pernah ditahbiskan oleh-Nya sendiri.
Peristiwa yang kedua berhubungan dengan keputusan Buddha pada tahun terakhir dari kehidupannya untuk mengakhiri hidup di bumi tiga bulan kemudian. Ketika itu bumi berguncang dan guntur bergemuruh. Hari-hari terakhir kehidupan Buddha penuh persiapan dan pesan bagi para pengikut-Nya, yang secara khusus dapat dipelajari dari Maha Parinibbana Sutta. Ia lahir dan dibesarkan di tengah peradaban Hindu, menempuh jalan Buddha, dan mewariskan agama Buddha.
Menjadi Buddha dan mengajarkan agama yang berbeda, dengan sendirinya melahirkan gerakan pembaharuan. Dilihat dari Kitab Suci yang tersendiri (Tipitaka), pembaharuan itu menyeluruh dan radikal. Ajaran Buddha menyangkal kepercayaan yang telah dikenal sebelumnya. Misalnya nasib manusia tidak diatur oleh dewa-dewa, derajat manusia tidak dibedakan menurut kasta, upacara mengorbankan makhluk hidup cuma suatu bentuk kebodohan. Buddha tidak mengakui adanya keakuan atau suatu subtansi inti yang kekal, keberadaan yang berdiri sendiri atau terpisah dari yang lain.
Menghadapi tradisi dan lingkungan sosial budaya pada zaman tersebut, pembaharuan bisa pula muncul dalam bentuk reinterpretasi. Misalnya membersihkan diri dari segala dosa tidaklah dengan mandi berendam di sungai-sungai suci, tetapi dengan berendam dalam sila atau melakukan kebajikan. Menghormati leluhur bukan dengan persembahan sesaji tetapi dengan membaktikan jasa. Buddha tentu saja tidak membenarkan atau menyangkal ajaran yang sudah ada, namun Ia mengajarkan hal-hal baru yang tidak dikenal sebelumnya. Salah satu ajaran-Nya yang terpenting adalah Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Tengah.
Tidaklah sedikit ajaran-Nya yang terhimpun dalam tiga keranjang (Tipitaka) itu. Tetapi Buddha pernah mengutarakan bahwa segala hal yang sudah dibabarkan menjadi sedikit jika dilihat dari kemahatahuan seorang Buddha. Ia membandingkan apa yang sudah diajarkan dengan segenggam daun sinsapa, sedangkan pengetahuan Buddha itu sebanyak daun di hutan. Apa yang sedikit itu justru yang diperlukan untuk mengarungi kehidupan dan mencapai Penerangan Sempurna.[1]
“Sebagai rakit, o para Biksu, Aku ingin menerangkan ajaran ini padamu. Tepat untuk menyelamatkan diri, namun tidak sebagai beban untukmu.”[2]Rakit disediakan untuk mencapai tujuan yang terakhir, yakni Penerangan Sempurna atau Nirwana. Kebanyakan orang dalam kehidupan sehari-hari terpaku pada tujuan antara, yakni nasib yang lebih baik. Tujuan antara dalam kehidupan berikutnya dilahirkan di Surga, alam para dewa.
Untuk hidup lebih baik manusia memasuki modernisasi. Ilmu dan teknologi memberi kemudahan dan bisa mengurangi penderitaan. Kemajuan yang dihasilkannya menghendaki penyesuaian budaya. Agama dan sistem nilai yang dianut dapat menjadi kompas untuk menetapkan baik atau buruk. Tetapi sebagai rakit, agama Buddha tentunya memberikan petunjuk yang jauh lebih lanjut.
Para Buddha muncul di dunia ini karena berkehendak membuka jiwa Buddha pada segala makhluk agar mereka memperoleh kesucian dan kemurnian. Buddha berprasetya untuk membuat seluruh umat manusia menjadi sama seperti-Nya.[3]Suzuki Shosan (1579-1655) di Jepang mengingatkan dan menegaskan kembali bahwa tiap manusia memiliki jiwa Buddha dan dapat menjadi seperti Buddha.
Dengan menjadi rahib orang mencari kemudahan dan kesempatan yang lebih besar untuk beribadah, mengabdi dan menyempurnakan dirinya. Tetapi orang yang bekerja sebagai petani dan pedagang misalnya juga memiliki kesempatan itu, Mereka yang sepenuh hati sungguh-sungguh membaktikan karyanya untuk hidup lebih baik pada hakikatnya juga menyempurnakan dirinya. Maka etos kerja dimungkinkan bangkit dari nilai keagamaan ini. Tidak ada pembaharuan dari ajaran Buddha, namun pembaharuan terjadi karena pendalaman penghayatan terhadap ajaran itu.
Buddha beramanat agar para siswanya mengembara, demi kasih sayang mengabdi untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan orang banyak.[4]Pembaharuan di Muangthai yang digerakkan oleh golongan Thammayud di abad ke-19 selain semakin ketat menaati peraturan keagamaan, juga menghidupkan semangat pengabdian.
Agama bukan hanya upacara. Biara (wat) tidak hanya menjadi pusat kegiatan agama, tetapi juga menjadi pusat kehidupan desa, pusat pendidikan, pusat gerakan kesejahteraan dengan dana sosialnya, pusat pelayanan kesehatan dan kegiatan kemasyarakatan lain. Praktik semacam ini sangat berkembang di India pada masa pemerintahaan Asoka (abad ke-3 SM), atau di Cina di bawah Dinasti Tang (618-908).
Di Sri Lanka pertengahan abad ke-19 ketika hanya sedikit biksu yang tertinggal, menyertai bangkitnya nasionalisme, gerakan pembaharuan ditandai kembali kepada kemurnian agama Buddha. Di India Ambedkar dan enam ratus ribu pengikutnya menentang kasta dan ketidakadilan juga dengan kembali kepada agama Buddha (1936).
Neo Buddhisme lalu diartikan mengarah kembali kepada ajaran Buddha yang murni. Malam tanggal lima belas bulan pertama imlek dengan arak-arakan barong dan naga tradisi Cina, bisa baur, bisa pula dimurnikan sebagai perayaan Magha Puja.
2 Maret 1988
[1] Samyutta Nikaya LVI, 4:1
[2] Majjhima Nikaya 22
[3] Saddharma Pundarika II
[4] Mahavagga I, 11