Pemberdayaan Dharmaduta dalam Pembangunan Berbasis Komunitas
Krishnanda Wijaya-Mukti
Pendahuluan
Manusia menurut paham Buddhis tidak pernah dianggap hanya untuk dirinya sendiri, tetapi merupakan bagian integral dari keseluruhan masyarakat dan alam semesta. Perkumpulan siswa Buddha yang disebut Sanggha didirikan bukan saja untuk kepentingan anggotanya, tetapi sekaligus pula untuk kepentingan semua makhluk. Dalam konteks inilah agama Buddha bersifat misioner, sebagaimana amanat Buddha kepada enam puluh siswa-Nya yang telah menjadi Arahat:
“Para Biksu, pergilah mengembara demi kebaikan orang banyak, membawa kebahagiaan bagi orang banyak, atas dasar kasih sayang terhadap dunia, untuk kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Para Biksu, ajarkanlah Dharma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, indah pada akhirnya. Bentangkanlah baik dalam ungkapan kata-kata atau pun maknanya kehidupan suci yang sempurna, murni sepenuhnya. Terdapatlah makhluk-makhluk yang matanya tertutup sedikit debu, yang bila tidak mendengar Dharma akan jatuh. Tetapi apabila mereka mempelajari Dharma, mereka akan tumbuh berkembang” (Vin. 1,21).
Sekalipun memiliki semangat misioner, agama Buddha sangat menghargai kebebasan setiap manusia untuk memilih dan menentukan sikapnya sendiri. Keyakinan agama tidak boleh dipaksakan. Kepada Nigrodha misalnya, Buddha menjelaskan bahwa Ia menyampaikan ajaran tidak dengan keinginan untuk mendapatkan pengikut, atau membuat seseorang meninggalkan gurunya, melepaskan kebiasaan dan cara hidupnya, menyalahkan keyakinan atau doktrin yang telah dianut dan dipandang baik. Ia hanya menunjukkan bagaimana membersihkan noda, meninggalkan hal-hal buruk, yang menimbulkan akibat yang menyedihkan di kemudian hari (D. III, 56-57).
Penyiaran agama Buddha dapat dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh seorang ilmuwan yang menyampaikan temuannya kepada rekan-rekannya agar kebenaran itu dapat diuji dan dibuktikan oleh rekan-rekannya sehingga memungkinkan mereka mencapai kebenaran tersebut. (Harold Coward, 1985). Agama Buddha menyebar luas secara luwes dan damai. Sekalipun berhadapan dengan agama-agama lain yang sudah mapan, tidak pernah terjadi perang atau penganiayaan atas nama penyiaran agama Buddha. Ketika penganutan agama atau kepercayaan lain terbatas pada satu etnis tertentu, agama Buddha telah menyebar melampaui batas etnis dan negara.
Keterpanggilan Dharmaduta
Mereka yang menyiarkan agama Buddha atau membabarkan Dharma disebut dharmaduta. Ada sejumlah alasan mengapa seseorang memutuskan untuk menjadi dharmaduta. Yang paling penting, keinginan untuk berbuat baik. Seseorang terpanggil untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain, membuat hidup menjadi penuh arti. Rasa terpanggil untuk mewujudkan sesuatu yang baik di dunia, merupakan kebutuhan berdasarkan cita-cita dan nilai yang terdalam, yang jauh dari keakuan. Beda dari ambisi yang sarat dengan kepentingan sang aku (ego). Sebagian orang ingin berbagi mengenai apa yang telah ia ketahui dan ia alami, sesuatu yang dipandang juga dibutuhkan oleh orang lain. Sebagian yang lain menemukan kesempatan untuk mengembangkan bakat dan keterampilannya.
Bagaimanapun, menurut Buddha, pemberian yang terbaik adalah pemberian Dharma. Jasa kebajikan yang terbaik adalah mengajarkan Dharma berulang-ulang kepada orang yang menaruh perhatian. Perbuatan yang terbaik adalah mendorong, menanam, membangun keyakinan kepada mereka yang tidak memiliki keyakinan, moralitas kepada mereka yang tidak bermoral, kemurahan hati kepada mereka yang kikir, dan kebijaksanaan kepada mereka yang bodoh (A. IV, 364).
Buddha mengarahkan setiap siswa-Nya agar memiliki kemampuan menjadi pembabar Dharma. Seorang umat dapat menjadi seorang siswa yang memiliki keyakinan, saleh, dan terpelajar, tetapi bukan seorang pembabar Dharma. Sampai sejauh itu, ia belum sempurna. la harus memperbaiki kekurangan ini, menjadi seorang siswa yang memiliki keyakinan, saleh, terpelajar, dan juga seorang pembabar Dharma. Bila ia telah memiliki semua itu, ia sempurna sampai batas tersebut. Lebih jauh lagi ia masih harus menyempurnakan diri dalam berbagai keahlian yang lain (A. V10).
Pahala dari perbuatan ini banyak disebutkan dalam Kitab Suci. Barangsiapa memelihara, memperbanyak, atau mengkhotbahkan Sutra kepada orang lain akan memperoleh pahala, ia terlindung, mencapai kemuliaan, mendapatkan tempat bersama Tathagata yang akan meletakkan tangan-Nya di atas kepala-kepala mereka (Saddharmapundarika-sutra X). Seseorang yang dapat mempelajari baik-baik, mempertahankan, membacakan, dan menjelaskan Sutra kepada orang lain, akan memperoleh pahala kebajikan yang tak terukur, tak terbatas (Vajracchedika-prajnaparamita-sutra 15).
Seorang umat Buddha dengan semangat Bodhicitta mengembangkan belas kasih dan kebijaksanaan, untuk menyempurnakan diri sendiri sekaligus menolong orang lain mencapai kesempurnaan. Visi dan misinya sebagai dharmaduta dikembangkan dari Ikrar Bodhisattwa: komitmen menghargai dan menyelamatkan semua bentuk kehidupan, memadamkan hawa nafsu, terus-menerus mempelajari Dharma dan melatih diri, dan dengan segala cara menghadirkan hakikat Buddha dalam kehidupan.
Dimensi Personal dan Struktural
Kedharmadutaan memiliki dimensi personal dan struktural. Betul sejumlah individu membentuk masyarakat, tetapi masyarakat bukan hanya merupakan jumlah total dari orang perorang. Pendapat yang naif menganggap bahwa jika masing-masing orang dalam masyarakat mencapai kebersihan batin, seluruh masyarakat dengan sendirinya akan menjadi baik. Namun dalam praktiknya, tanpa disertai oleh perubahan struktural yang sejajar, kekuatan melawan yang bergerak dalam masyarakat mengalahkan perorangan dalam usahanya mencapai kesempurnaan yang diinginkan (Aloysius Pieris, 1996)
Dalam dialog multilateral World Council of Churches (1974) Biksu Ananda (alm.) mengutarakan pentingnya memperbaiki individu terlebih dahulu, dan dunia pun akan menjadi baik. Ia menceritakan tentang seorang anak yang diminta untuk memasang potongan-potongan gambar peta dunia yang telah disobek. Tugas itu terlalu sulit bagi si anak sampai dia menemukan gambar sketsa orang yang terdapat di balik kertas peta. Anak itu berhasil memasang kembali gambar orang dan dengan sendirinya peta dunia pada halaman sebaliknya juga sekaligus mendapatkan bentuknya yang benar. Biksu Thich Nhat Hanh seketika menanggapi dan menarik perhatian semua orang pada aspek lain yang nyaris tidak diperhatikan. Bukan setiap gambar orang yang bila diperbaiki dengan sendirinya membuat peta dunia menjadi baik. Apa yang penting dalam cerita itu, gambar orang yang membawa gambar dunia di sebaliknya. Artinya jika kita ingin memperbaiki dunia, yang perlu diperbaiki adalah orang dalam hubungan dinamis dengan masyarakat, bukan hanya orang yang terpisah dari masyarakatnya. Karena itu diperlukan perubahan struktural.
Dapat dimengerti, Buddha tidak hanya mengajarkan reformasi spiritualitas personal, tetapi juga membentuk komunitas dan menggerakkannya. Sanggha biksu, dengan keanggotaan yang jelas identitasnya, jelas pula tujuannya. Struktur monastik ini membawa personal individual dan kelompok mencapai tujuan akhir. Dengan itu pula Buddha membongkar kultur dan struktur sosial yang timpang atau diskriminatif di zamannya. Agama Buddha menjadi besar karena nilai spiritualnya sekaligus karena keberhasilan dari pelembagaan dan pembudayaannya. Kita akan menemukan dimensi personal seperti kepemimpinan, komitmen, kerjasama, dan partisipasi total ke arah penyempurnaan; dan dimensi struktural seperti organisasi, visi, misi, strategi, rencana, prosedur, dan pengendalian. Tanpa organisasi dan manajemen, yang ada hanya gerombolan manusia, dan tidaklah terbayangkan bagaimana agama Buddha dapat bertahan sampai sekarang.
Modal Manusia
Dewasa ini penganut agama Buddha merupakan kelompok minoritas di Indonesia. Kita boleh percaya pada ramalan mengenai kebangkitan kembali agama Buddha 500 tahun setelah sirnanya Kerajaan Majapahit, karena agama Buddha semakin mendapatkan tempat di negara ini. Sebagaimana juga yang diramalkan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990) bahwa pada milenium ketiga di seluruh dunia akan terjadi kebangkitan agama, termasuk Buddha. Hasil sensus beberapa dekade menunjukkan adanya peningkatan jumlah umat Buddha, walau secara persentase, sekitar 1% dari seluruh penduduk, cenderung sedikit menurun.
Bisa jadi statistik tidak membuktikan apa-apa. Angka yang bersumber dari data Pembimas Buddha seluruh Indonesia menunjukkan pada tahun 2006 terdapat 6.005.781 jiwa penganut agama Buddha, tiga kali lebih banyak dari angka sensus. Agaknya jumlah ini tidak berlebihan, karena jika dibandingkan terhadap jumlah tempat ibadah (4.179 wihara dan 2.966 cetya), terdapat sekitar 840 orang untuk satu tempat ibadah. Sebanyak 6,91% dari populasi, yaitu 415.452 orang, tercatat sebagai pelajar sekolah tingkat dasar hingga menengah atas. Dari jumlah ini murid SD hanya 34,59%. Apa artinya angka tersebut? Kalau bukan menunjukkan banyak umat Buddha yang belum mendapat pendidikan agama sesuai dengan yang dianutnya, tentu mengindikasikan rendahnya penganutan agama Buddha pada golongan usia muda.
Ada berapa dharmaduta yang memberi pelayanan kepada umat? Dharmaduta terdiri dari anggota Sanggha, pandita, dan upasaka-upasika atau aktivis yang terpanggil untuk mengembangkan agama Buddha. Mereka yang didaftarkan sebagai rohaniwan di Departemen Agama, tercatat hanya ada 602 orang. Tentu saja lebih banyak yang tidak terdaftar. Pada dasarnya dharmaduta memiliki peran sebagai guru. Tetapi kebanyakan bukan produk sekolah guru atau sekolah agama. Kita mengenal guru formal di sekolah-sekolah, guru nonformal di kursus-kursus, penataran atau pelatihan, dan guru informal di tengah keluarga dan lingkungan. Guru agama di sekolah yang terdaftar sebanyak 2.904 orang (di antaranya 687 orang di sekolah negeri) dengan rasio 1 guru untuk 143 siswa. Ditjen Bimas Buddha memproyeksikan kebutuhan 825 orang guru baru. Tenaga guru ini dihasilkan oleh 9 Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB). Dua STAB di antaranya (Nalanda dan Smaratungga) dalam 5 tahun terakhir hanya menghasilkan 206 orang lulusan S1. Sebagian ada yang sudah bekerja sebagai guru. Lulusan sekolah tinggi agama ini memang banyak yang menjadi guru, tetapi sebagian lain mengisi formasi birokrat dan bekerja di bidang lain. Agaknya di masa depan akan lebih banyak jebolan STAB yang diperlukan untuk memasuki berbagai bidang keilmuan di luar pendidikan agama.
Yang menjadi pertanyaan, berapa di antaranya yang kemudian menjadi pandita? Di kebanyakan daerah pandita menggantikan peran biksu yang jumlahnya terlalu sedikit. Tetapi jumlah pandita pun belum memenuhi kebutuhan semua tempat ibadah. Merupakan kenyataan bahwa sebagian besar pengurus tempat ibadah dan organisasi Buddhis tidak benar-benar mendalami agama yang dianutnya. Alangkah idealnya jika mereka semua diharuskan untuk mengikuti pendidikan agama. Apakah itu diselenggarakan oleh STAB, pusdiklat, dan lain-lain. Sampai sekarang ini tidak banyak orang yang memilih untuk hidup sebagai biksu/biksuni. Namun perlu dicatat, menurut sejarah, contoh di China dan Myanmar, saat agama Buddha mencapai puncak kejayaan bukanlah masa ketika populasi biksu paling banyak. Bahkan sebaliknya, sering terjadi ketika populasi biksu menjadi semakin banyak, agama Buddha malah merosot tajam (Zhao Pu Chu, 1990).
Sumber daya sesungguhnya adalah sesuatu yang tidak pasti dan bisa menipu, kata Rhenald Kasali (2005) dalam bukunya Change. Yang ada bisa dianggap tidak ada, dan sebaliknya, yang tidak ada bisa menjadi ada. Orang yang sukses banyak melakukan perubahan secara spektakuler melalui sumber daya yang kata orang-orang lain “tidak ada sama sekali”. Sebaliknya, yang bangkrut dimulai dari kondisi yang kelebihan sumber daya. Sumber daya tidak melulu berbentuk tangibles (seperti uang, logistik, tempat) melainkan juga intangibles, seperti reputasi, keterampilan, pengetahuan, motivasi, team spirit, dan lain-lain.
Memang, manusia merupakan sumber daya yang utama. Tanpa modal manusia semua sumber daya lain tak dapat dimanfaatkan. Istilah sumber daya manusia di sini dipakai tanpa memosisikan manusia sebagai objek atau sasaran eksploitasi. Manusia adalah subjek. Kemajuan peradaban atau pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dengan orang: pendidikannya, organisasinya, dan disiplinnya. Untuk memberdayakan modal manusia, E.F. Schumacher (1973) yang memperkenalkan Ilmu Ekonomi Agama Buddha lewat bukunya Small is Beautifulmenyatakan bahwa akal budi manusia dipelihara dan dipertajam lewat pendidikan, karena itu dari semua sumber daya, pendidikan adalah yang terpenting. Kemajuan ilmu dan teknologi yang menghasilkan keterampilan teknis (know-how), semakin membutuhkan pendidikan yang menghasilkan kearifan. Maka, tugas pendidikan yang utama adalah menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai, mengenai mau apakah kita dengan hidup kita ini. Kelihatannya ketertinggalan kita, Indonesia, dari negara tetangga, karena tidak menempatkan pendidikan sebagai pilar utama pembangunan. Selama ini Indonesia lebih mementingkan pembangunan di bidang ekonomi dan politik. Di kalangan Buddhis sendiri, ketimbang mendirikan sekolah lebih banyak yang masih mengutamakan pembangunan wihara yang mewah.
Proses belajar dan mengajar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan beragama Buddha. Komunitas Buddhis seharusnya adalah masyarakat pembelajar. Sebagaimana sabda Buddha kepada Yasa, ‘’Ke sini Yasa, Aku akan mengajarmu.” (Vin. I, 15). Buddha sering diposisikan sebagai seorang guru. Karena itu setiap pengikut Buddha sepantasnya terpanggil untuk berbuat sesuatu lewat pendidikan. Kedua golongan umat yaitu anggota Sanggha dan para perumahtangga dapat memanfaatkan kesempatan sesuai dengan cara hidupnya masing-masing untuk saling menopang dan mengembangkan pendidikan Buddhis. Sayang sekali banyak umat yang kurang peduli pada pendidikan Buddhis. Orangtua tidak membekali anaknya dengan pendidikan agama Buddha dari rumah. Mereka mengeluh tentang anaknya yang alih-agama lewat sekolah. Lalu siapa yang harus mengatasi masalah ini kalau bukan komunitas umat itu sendiri? Pepatah Tionghoa mengatakan: “If you want one year of prosperity, grow grain. If you want ten years of prosperity, grow trees. If you want hundred years of prosperity, grow people.”
Sumber Daya Sosial
Danah Zohar & Ian Marshall (2004) menghubungkan tiga jenis modal: modal materiil, modal sosial, dan modal spiritual dengan kecerdasan rasional, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Modal materiil maksudnya uang dan segala sesuatu yang bisa dibeli dengan uang yang diperoleh dengan kecerdasan rasional. Modal sosial adalah sumber daya sosial, kemampuan orang untuk bekerja bersama yang membuat komunitas dan organisasi berfungsi secara efektif demi kepentingan bersama, yang dipengaruhi oleh kecerdasan emosional. Modal spiritual adalah kekayaan yang diperoleh dari makna dan nilai terdalam, tujuan paling fundamental dan motivasi tertinggi yang mengintegrasikannya dalam hidup dan kerja kita.
Apa yang disebut modal sosial dibutuhkan dalam pembangunan berbasis komunitas (community based development). Konsep community based development bersifat bottom-up, yaitu komunitas sendiri yang berinisiatif. Beda dengan community development yang bersifat top-down. Komunitas Buddhis tentu saja ada di tengah komunitas bangsa yang majemuk dengan permasalahan yang sama, namun juga memiliki persoalan sendiri yang unik. Modal sosial diukur bukan dari nilai materiil belaka, melainkan menyangkut kualitas hidup dalam sebuah masyarakat, yang bagi seorang Buddhis misalnya ditandai ketersediaan lapangan pekerjaan sesuai dengan mata pencaharian yang benar, yang tidak melanggar sila, tidak ada diskriminasi, ada jaminan keamanan dan ketaatan pada hukum, kebebasan beragama dan beribadah, toleransi.
Berdasarkan objek penelitian dan lokasi penelitian, ada yang memandang modal sosial itu sebagai sebuah kepercayaan (social trust), ada yang melihatnya sebagai norma yang berhubungan dengan tingkah laku (social norms), yang lainnya memahaminya sebagai jaringan sosial (social networks). Sementara yang lain menyimpulkan bahwa modal sosial meliputi gabungan ketiganya (Dasgupta dan Saragildin, 1999). Semua ini merupakan nilai yang dapat memfasilitasi koordinasi dan kerjasama di tengah komunitas untuk memperoleh keuntungan bersama. Manfaat secara materiil dan sekaligus keuntungan sosial yang tercapai akan menghasilkan kerekatan di antara anggota, dan kondisi inilah yang dapat memajukan komunitas.
Modal sosial terdiri dari komponen: 1) institusi sosial (social institution), 2) pola kebudayaan (culture patterns), 3) bentuk komunikasi (models of communications), dan asosiasi antar-individu dan antar-organisasi, 4) karakteristik psikososial suatu komunitas (Alex Inkeles, 2000). Institusi sosial merupakan modal kelembagaan yang diperlukan dalam mereproduksi dan memelihara setiap anggota masyarakat, serta menjadi dasar yang penting bagi berlangsungnya fungsi masyarakat secara efektif. Institusi sosial itu di antaranya keluarga, sistem pendidikan, sistem pelayanan sosial atau kesejahteraan, dan sebagainya.
Ketika kita membangun dan mengembangkan sebuah institusi, perlu diingat bahwa cita-cita memberi sumbangan, melayani dan memuaskan orang yang bukan anggotanya menjadi ciri lembaga agama dan organisasi sosial. Seperti halnya sekolah didirikan terutama untuk kepentingan siswa, bukan untuk kepentingan guru. Rumah sakit didirikan terutama untuk kepentingan pasien yang ingin segera sembuh, bukan untuk kepentingan para dokter dan perawat. Pelaku ekonomi yang baik pun menyadari bahwa perusahaan ada untuk mengadakan barang dan jasa bagi pelanggan, bukan terutama untuk memberi pekerjaan kepada karyawan dan manajer, bahkan bukan untuk menghasilkan dividen kepada pemegang saham. (Peter F. Drucker, 1974).
Hal ini dikemukakan, mengingat ada kesan bahwa banyak pemimpin agama Buddha yang berperilaku sebagai pedagang. Majelis ataupun wihara diposisikan sebagai toko, yang menjual komoditi dengan label cap eksklusif, kira-kira seperti kecap nomor satu. Umat Buddha yang jumlahnya tidak banyak itu diperebutkan, bagai pelanggan yang diperebutkan oleh toko-toko sejenis. Dapat dimengerti, wihara baru yang letaknya berdekatan dengan wihara lain dipandang sebagai saingan. Sesama biksu, pandita, atau dharmaduta lain tidak saling mendukung, bahkan tidak jarang yang bermusuhan. Lembaga atau organisasi keagamaan Buddha yang satu memandang sesamanya yang lain sebagai lawan, sehingga kerjasama menjadi sesuatu yang mustahil. Sikap sektarian seringkali berhubungan dengan dorongan keakuan yang mengutamakan kepentingan individu dan golongan.
Sebuah komunitas akan berkembang jika melaksanakan prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Kesepakatan kebijakan dan pola; (2) Keterbukaan, sedia membantu dan dibantu; (3) Hubungan, dalam hal frekuensi, mutualis, dan kebinekaan; (4) Kemudahan dan kedekatan mengenai waktu, tempat, dan kontak; (5) Kapasitas berupa sumber daya, pendidikan, pengalaman; (6) Struktur dengan kejelasan siapa bertanggungjawab atas apa; (7) Koordinasi, baik internal atau eksternal; (8) Sinergis; (9) Sistem penghargaan. Apa yang disebut Persamuhan Umat Buddha merupakan komunitas terkecil yang memiliki kesempatan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini dan mendayagunakan potensi lokal dengan sebaik-baiknya. Pusat penelitian dan pengembangan dari majelis agama di tingkat nasional atau provinsi dapat memfasilitasi.
Setiap bentuk kerjasama tentu saja membutuhkan kerukunan. Untuk memelihara kerukunan, Buddha memberi petunjuk berupa “Enam Faktor yang Membawa Keharmonisan” (Saraniya-dhamma). Keenam faktor itu adalah: (1) cinta kasih diwujudkan dalam perbuatan; (2) cinta kasih diwujudkan dalam tutur kata; (3) cinta kasih diwujudkan dalam pikiran dan pemikiran, dengan memiliki iktikad baik terhadap orang lain; (4) memberi kesempatan kepada sesamanya untuk ikut menikmati apa yang diperoleh secara halal; (5) di depan umum atau pun pribadi orang menjalankan kehidupan bermoral, tidak berbuat sesuatu yang melukai perasaan orang lain; (6) di depan umum atau pun pribadi, memiliki pandangan yang sama, yang bersifat membebaskan dari penderitaan dan membawanya berbuat sesuai dengan pandangan tersebut, hidup harmonis, tidak bertengkar karena perbedaan pandangan (A. III, 288-289). Pada hakikatnya dengan melindungi diri sendiri seseorang itu melindungi orang lain, dengan melindungi orang lain seseorang melindungi dirinya sendiri (S. V, 169).
Pemberdayaan
Pemberdayaan (empowerment) merupakan salah satu tema manajemen yang dominan. Dalam komunitas atau organisasi yang menerapkan pemberdayaan anggota, setiap individu memiliki peran yang penting, apakah itu kewenangan, tanggungjawab, dan fleksibilitas memastikan tercapainya hasil yang berkualitas tinggi. Seluruh kegiatan manajemen sumber daya manusia diarahkan pada peningkatan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Pemberdayaan bukan sekadar pemberian otoritas, tetapi juga berarti memberi pengetahuan dan keterampilan yang menjamin kualitas dari kemampuan dan sikap personal. Sehubungan dengan peran dharmaduta, tanpa pemberdayaan, atau karena pelatihan yang buruk dan rendahnya motivasi serta mungkin juga tidak adanya insentif, akan terjadi kemerosotan seiring dengan sikap dan pola pikir yang negatif.
Kemauan untuk mengadakan pemberdayaan dan kemampuan individu untuk diberdayakan harus dilakukan secara paralel dan berkesinambungan. Karena itu pemberdayaan yang berhasil harus dirancang melalui banyak proses, seperti rekrutmen, pendidikan, dan pelatihan dalam sistem yang memadai. Istilah pendidikan digunakan dalam pengertian membangun konsep sedang pelatihan merupakan upaya meningkatkan kemampuan sumber daya manusia terkait dengan peningkatan keterampilan. Kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Buddha bukanlah sekadar mempengaruhi orang lain dan membuatnya tunduk, tetapi adalah bagaimana membuat seseorang meningkatkan kualitas dirinya sehingga mampu untuk tidak bersandar pada pihak lain (apalagi menjadi tergantung pada si pemimpin).
Secara struktural pemberdayaan diartikan sebagai pengelolaan sumber daya manusia yang mampu mengefektifkan kepemimpinan. Fungsi yang harus dilakukan terus-menerus adalah komunikasi, memupuk saling pengertian. Dan fungsi yang dilakukan secara bertahap: 1) perencanaan menyangkut kebutuhan tenaga dalam segala tingkatan; 2) pengorganisasian dan tatalaksana, memilih orang yang berkompeten, orientasi, latihan dan mengembangkan (menyangkut pula sumber daya logistik dan pendanaan); 3) penggerakan secara terarah, berupa penempatan, pendelegasian, memotivasi, koordinasi, mengatasi perbedaan, mengatasi perubahan; 4) pengendalian dan evaluasi, yang tentunya harus didukung oleh sistem informasi dengan pendataan dan pelaporan yang akurat, standar kerja, pengukuran hasil kerja, tindakan perbaikan, dan penghargaan.
Secara personal pemberdayaan diharapkan membuat seorang dharmaduta dapat dihargai dan berpengaruh karena memiliki kepandaian dan karakter. Dia tidak hanya kompeten, terampil atau mampu melaksanakan tugasnya, tetapi juga memiliki karakternya yang baik, jujur, etis, bertanggungjawab. Seorang dharmaduta tidak hanya berkhotbah, tetapi perbuatan dan pekerjaan mereka sudah menjadi pesan, karena mereka menjadi contoh teladan. Membimbing dengan menjadikan dirinya pekerja di antara pekerja, atau umat di antara umat. Ini model kepemimpinan yang mengangkat dan memberdayakan para pengikutnya.
Setiap dharmaduta harus memiliki sekurang-kurangnya tiga kompetensi. Pertama kompetensi personal, yang merupakan kepatutan sebagai panutan karena ia sendiri menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang diperjuangkannya. Kedua, kompetensi profesional dengan memiliki kemampuan yang memadai. Ketiga, kompetensi sosial, artinya peduli terhadap hidup kemasyarakatan dan lingkungan di sekelilingnya. “Hendaknya orang menempatkan dirinya sendiri terlebih dahulu dalam hal-hal yang patut dan selanjutnya melatih orang-orang lain. Orang bijaksana yang berbuat demikian tidak akan tercela” (Dhp. 158). Untuk mengaktualisasi kompetensi yang dimilikinya dharmaduta harus terus-menerus belajar dan berlatih, dengan akses memanfaatkan sumber belajar yang seluas-luasnya.
Penutup
Pemelukan agama yang diwariskan dalam bentuk tradisi cenderung membuat agama diterima apa adanya secara pasif dan statis. Nilai-nilai agama yang dianut lewat pewarisan tersebut mudah dipahami secara keliru sehingga kurang memberi arti bagi kehidupan sehari-hari. Pemberdayaan membuat dharmaduta dapat berperan secara dinamis dan kontekstual yang relevan mengikuti perubahan dan perkembangan berbagai ilmu pengetahuan sosial, ekonomi, budaya, teknologi, dan lain-lain. Sebagaimana kata Charles Darwin, ”Bukan yang terkuat yang mampu berumur panjang, melainkan yang paling adaptif,” agama Buddha juga akan bertahan dan semakin berkembang dengan merespons perubahan.
Umat Buddha memang ditandai heterogenitas. Fragmentasi pandangan dan sikap sektarian yang sempit sangat potensial menyebabkan krisis makna atau krisis nilai. Pada zaman Buddha Gotama saja sudah terdapat dua macam orang yang keliru, yaitu ia yang menyatakan apa yang tidak pemah dikatakan oleh Tathagata sebagai sabda Tathagata, dan ia yang mengingkari apa yang telah disabdakan oleh Tathagata (A. I, 59). Karena itu kita diberi petunjuk untuk menguji, apakah sesuai dengan Sutta dan Winaya (D. II, 123-125). Bagaimana memahami keanekaragaman mazhab dan adaptasi kultural sebagai bagian integral dari satu kendaraan Buddha, menghendaki penelusuran referensi yang bersumber dari Kitab Suci. Buddha menganjurkan penganut-Nya untuk berkelompok mempelajari kebenaran bersama, tidak mempertengkarkannya, melainkan secara cermat memperbandingkan makna demi makna, kalimat demi kalimat, demi kebaikan orang banyak (D. Ill, 127). “Sebagaimana halnya dengan samudra raya yang hanya mempunyai satu rasa, yaitu rasa garam, demikian pula Dharma hanya mempunyai satu rasa, yaitu rasa kebebasan” (Ud. 56).
Apa yang saya kemukakan ini mudah-mudahan dapat memberi inspirasi dan membangkitkan motivasi. Menyadari bahwa jumlah umat Buddha di Indonesia tidak banyak, seharusnya kita melihat lebih besarnya kesempatan untuk meningkatkan kualitas. Kemajuan komunitas Buddhis akan memberi kontribusi terhadap kemajuan bangsa dan negara.