Pemimpin Sejati
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Mereka yang mempertahankan ataupun yang mencoba merebut kekuasaan lewat kekerasan dan pertumpahan darah telah mengabaikan kemanusiaan. Padahal dunia ini milik seluruh umat manusia dengan kemanusiaannya. Kata Dalai Lama, dunia ini bukan milik para penguasa atau pemuka agama (Kompas, 17/4/2011). Ia memberi contoh negara Indonesia adalah milik semua orang Indonesia, bukan presidennya saja.
Elite politik pun seharusnya menyadari kalau mereka bekerja untuk seluruh rakyat pemilik Republik ini. Hanya, ada saja di antara tokoh partai dan pejabat yang menyalahgunakan kedudukan untuk kepentingan pribadi dan golongannya sendiri. Ada pula yang berusaha memaksakan ideologi dan agamanya dengan mengingkari keyakinan yang berbeda. Cukup banyak yang mengabaikan hak rakyat.
Pemimpin Berkesadaran
Di mana-mana era kekuasaan otoriter digantikan oleh pemerintahan dengan kedaulatan di tangan rakyat. Dewasa ini pergolakan menuju negara demokratis sedang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara. Indonesia boleh bangga dengan praktik demokrasi yang sudah lebih maju. Namun perlu disadari adanya keterbatasan demokrasi yang bersandar pada suara terbanyak. Kebenaran tidak ditentukan oleh jumlah suara. Dan golongan minoritas tidak boleh diabaikan. Karena itu demokrasi memerlukan pemimpin yang memiliki kesadaran, kearifan, dan tanggung jawab moral.
Sebagian orang ingin menjadi penguasa agar dapat mengatur dan menuntun orang lain sesuai dengan cita-citanya. Tentu ambisi semacam ini tidak salah. Tidak sedikit tokoh besar yang mengubah dunia karena peranannya sebagai penguasa negara. Tetapi lebih banyak lagi orang yang mengutamakan kepentingan sendiri dengan mengejar jabatan. Atau kalau tidak, menjadi orang yang dekat dengan pejabat.
Kong Hu Cu adalah pemimpin sejati yang sungguh-sungguh ingin memperbaiki masyarakat dan negara. Sekiranya ada seorang penguasa yang mempekerjakan dia, dalam waktu yang pendek tentu banyak hal sudah yang dapat dihasilkannya. Tokoh dengan reputasi nabi ini sempat menjadi perdana menteri di pemerintahan kota Lu. Namun orang-orang yang menaruh dengki menyeretnya ke pengadilan. Lalu dia melepaskan kursi jabatannya dan meninggalkan kota. Bagaimana pun, dunia mengakui kalau Kong Hu Cu sukses sebagai guru spiritual.
Pemimpin sejati tahu kapan dia harus maju dan kapan harus muncur. Diocletianus, kaisar Romawi, di puncak kejayaannya pada usia lima puluh sembilan tahun meninggalkan takhta kerajaan dengan sukarela. Ia menyepi di pedesaan dan hidup dengan bercocok tanam. Ketika didesak untuk menjadi kaisar lagi, ia mengatakan tidak mau mengorbankan kebahagiaannya demi kekuasaan belaka. Ia lebih suka menikmati keindahan kubis-kubis yang ditanamnya. Sejarah nasional kita mencatat Airlangga yang juga meninggalkan singgasananya untuk memurnikan hati yang damai.
Seorang pemimpin tentu bertindak seperti apa yang diucapkan, dan mengucapkan seperti apa yang dilakukan. Dalai Lama pun mundur melepaskan jabatan kepala pemerintahan. Ia menyerahkan kekuasaan kepada sistem demokrasi. Pada mulanya, di abad ke-15, kehadiran institusi Dalai Lama memang tidak dimaksudkan untuk memiliki kekuasaan politik. Para siswa Buddha yang menjadi pemimpin spiritual lazimnya memilih untuk menjadi rakyat jelata.
Menyingkirkan Jarak
Di bulan Mei atau Waisak ini dunia mengenang bagaimana Pangeran Siddharta Gotama meninggalkan takhta, harta, dan wanita. Ia bertapa dan berhasil menjadi Buddha. Kalau dikehendaki-Nya, Buddha bisa menjadi maharaja dan menggunakan kekuasaan untuk menyebarluaskan ajaran-Nya. Namun membuat orang lain tunduk dengan memanfaatkan kekuasaan tidak berarti dapat menyelamatkan orang itu. Buddha ingin menyelamatkan semua orang tanpa kecuali, agar bisa terbebas dari belenggu penderitaan. Sedangkan setiap makhluk adalah pemilik yang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Nasibnya tergantung pada perbuatan masing-masing (A. V, 288).
Oleh karena itu untuk menyelamatkan semua orang, Buddha meninggalkan kedudukannya sebagai penguasa dan menyatu dengan orang banyak. Dengan melepaskan kekuasaan dan kekayaan, Buddha menyingkirkan jarak dari orang kebanyakan yang menderita tanpa daya. Ia menunjukkan jalan, bukan memaksakan. Ujar Buddha, ada yang lebih baik dari kekuasaan di bumi, lebih baik daripada memerintah seluruh dunia, yaitu kemuliaan memenangkan tingkat kesucian. (Dhp. 178)
Justru dengan meninggalkan takhta, Buddha dihormati oleh para penguasa dari berbagai negara, bukan ditakuti. Ia tidak menyangkal perlunya pemerintahan, tetapi kekuasaan tidaklah dimaksudkan untuk memaksakan kehendak penguasa, melainkan sebaliknya mengatur bagaimana dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan rakyat jelata dengan sebaik-baiknya. Ia mengajarkan para raja bagaimana memimpin negara dengan baik, yang menempatkan kesucian di atas kekuasaan dan kekayaan.
Jakarta, Mei 2011