Pendidikan Politik
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Kesadaran setiap warganegara akan kehidupan politik dan kenegaraan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kelancaran usaha mencapai tujuan nasional. GBHN menghendaki peningkatan pendidikan politik agar rakyat makin sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warganegara sehingga ikut serta secara aktif dalam kehidupan kenegaraan dan pembangunan, serta untuk lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Pendidikan itu merubah dan membentuk perilaku termasuk kemampuan melalui pengalaman belajar. Pengetahuan dipandang sangat berharga. Bukanlah penderitaan timbul dari kegelapan batin atau kebodohan (avijja)? Tetapi pengetahuan hanyalah alat untuk mencapai suatu tujuan, dan bukan merupakan tujuan itu sendiri. “Jika orang dapat menjadi suci/sempurna hanya dengan mengubah pandangannya, jika dengan pengetahuan semata-mata ia dapat terbebas dari penderitaan, berarti ada jalan lain daripada Jalan-Delapan-Yang Utama (Atthangika Ariya Magga) yang memberi kesucian dan mengakhiri penderitaan. Namun, hal ini tidaklah mungkin.”[1] Jalan Delapan yang Utama terdiri dari pandangan, pikiran, pembicaraan, perbuatan, pencaharian, daya upaya, kesadaran perhatian, dan semadi yang benar. Unsur pengetahuan hanya merupakan sebagian dari Jalan.
Pengetahuan menjadi bermanfaat bilamana diikuti sikap dan tindakan yang sesuai. Penyelenggaraan pemilihan umum mengandung aspek pendidikan politik yang membuat setiap warganegara menyadari hak dan kewajibannya. Pendidikan politik dalam pemilu tidak hanya sebatas mendengarkan rayuan juru kampanye, lalu mencoblos salah satu tanda gambar peserta. Pendidikan politik adalah hidup berbangsa dan bernegara itu sendiri. Rakyat disadarkan lewat pengalaman beberapa pemilu. Jelas berbeda antara Orde Baru dan Orde Lama. Tema pokok Golkar, yakni penegakan dan mengembangkan kehidupan yang berdasarkan demokrasi, konstitusi, dan hukum menandai watak Orde Baru. Pada masa Orde Baru, pemilu tahun 1971 menampilkan 10 kekuatan sospol termasuk Golkar. Pemilu berikutnya sesuai dengan keputusan MPR hanya mengenal 3 kekuatan sospol. Pada akhirnya dari asas yang berbeda, lalu semua organisasi menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Proses ini adalah pengalaman belajar.
Kehidupan berbangsa dan bernegara muncul dari suatu kebersamaan. Banyak penderitaan dan ketidakpuasan yang disebabkan karena sifat mementingkan diri dan golongan sendiri. Buddha memperhatikan setiap hal yang menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya dalam mengambil keputusan sehubungan dengan perbedaan kepentingan, Buddha menganjurkan siswanya agar berusaha menerima masukan dari berbagai pihak. “Aku izinkan para Biksu, bilamana terdapat empat atau lima orang yang menyanggah, bilamana terdapat dua atau tiga orang mengutarakan pendapat. Bila hanya seorang yang mengambil keputusan, tidaklah aku berkenan.”[2]
Perbedaan pendapat harus dihargai. Kesatuan dan persatuan itu didasari terjadi karena menghimpun unsur-unsur yang berbeda. “Sebagian besar orang tidak menyadari bahwa dalam pertengkaran mereka akan binasa; tetapi mereka yang dapat menyadari kebenaran ini, akan mengakhiri semua pertengkarannya.”[3]Seorang pemimpin golongan yang berhasil menjadi pemimpin nasional yang diterima oleh semua golongan harus memperhatikan kepentingan semua golongan.
Memelihara keserasian dan kerukunan dengan membuang sifat keakuan, sekaligus pula memberi kesempatan untuk menyempurnakan diri.
“O para biksu, bilamana orang lain berbicara menentang diriku, menentang Dharma, atau menentang Sanggha, engkau tidak perlu mempunyai pikiran jahat dan dendam atau menjadi sakit hati terhadap mereka karenanya. Jikalau engkau menyimpan kebencian dalam hati, hal itu tidak hanya akan menghalangi kemajuan batinmu, tetapi engkau pun akan gagal mempertimbangkan seberapa jauh ucapan itu benar atau salah. Sebaliknya o para Biksu, jika orang lain memuji diriku, memuji Dharma, atau Sanggha, engkau tidaklah perlu merasa kesenangan. Hal itu pun akan merusak kemajuan batinmu. Engkau harus mengakui apa yang benar dan membuktikan kebenaran dari pada yang diucapkan.”[4]
Sejarah mencatat kerajaan tradisional sering menjadikan kekuasaan duniawi dan rohani manunggal di satu tangan dewaraja. Buddha sendiri menolak warisan dari sang ayah, yakni Raja Suddhodana. Ia menolak pula pembagian kerajaan lain dari Raja Bimbisara. Cara hidup seorang penguasa tidaklah sesuai bagi orang yang memilih Kebebasan Mutlak. Serta bagi Dia kekuasaan dan kewibawaan tidaklah sepenuhnya datang dari kursi kedudukan atau jabatan duniawi. Namun prestasi atau kualitas kemampuan dan kepribadian yang akan mendatangkan kekuasaan dan kewibawaan. Umat-Nya diajar agar mengejar prestasi dengan menempuh jalan yang sesuai. Prestasi tidak datang dengan mengharapkan katrolan lewat doa atau kaulan semata-mata.[5]
Pendidikan politik pun tak lepas dari penerapan disiplin, “Ia yang muda lagi kuat, namun tidak bangun pada saatnya harus bangun; sebaliknya penuh kemalasan, lemah pikiran dan kemauannya; maka orang seperti itu tidak akan menemukan jalan menuju kebijaksanaan.”[6]
18 Maret 1987
[1] Suttanipata 789
[2] Maha Vagga II, 16 : 5
[3] Dhammapada 6
[4] Digha Nikaya 1
[5] Anguttara Nikaya V, 5 : 43
[6] Dhammapada 280