Pengetahuan yang Membelah Kepala
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Pikiran dapat dikembangkan. Dengan itu Isaac Newton dan Albert Einstein yang ilmuwan, atau George Washington dan Adolf Hitler yang negarawan misalnya, masih akan tetap dikenal dan dirasakan pengaruhnya sampai jauh berabad-abad di kemudian hari. Orang-orang seperti mereka mengembangkan dan menggunakan pikirannya hingga mengubah dunia.
Kebanyakan orang dengan mudah belajar lewat hasil pemikiran para tokoh atau penemu. Sekarang hanya orang bodoh atau terbelakang saja yang tidak pernah mendengar tentang energi atom misalnya. Pengetahuan ini merupakan rahmat bagi dunia kedokteran. Karena radiasi dapat merusak sel-sel dan jaringan tubuh manusia, para dokter menggunakannya untuk menghancurkan tumor ganas. Namun di pihak lain orang membuat senjata yang maha dahsyat. Lalu senjata itu, bom atom, mengambil nyawa beratus ribu orang di Hiroshima dan Nagasaki. Bahaya radiasi yang ditimbulkan masih tetap tinggal di bumi yang sudah menjadi neraka itu.
“Orang bodoh mendapat pengetahuan hanya untuk kehancurannya sendiri. Pengetahuan itu akan menghancurkan semua perbuatan baiknya dan akan membelah kepalanya sendiri,” demikian pernah disabdakan oleh Buddha.[1] Bodoh dan pintar dalam pandangan Buddha tidaklah semata-mata dilihat dari tingkat pengetahuan yang dimiliki. Orang disebut bodoh karena membiarkan sifat serakah (lobha), perasaan benci (dosa), dan salah-tahu atau ketidaktahuan (moha) melekat pada dirinya. Orang yang lengah, tidak waspada, juga disebut bodoh. Orang pintar, yang arif bijaksana dan melaksanakan kebajikan, telah menanggalkan sifat-sifat buruk itu.
Hitler boleh dijadikan contoh orang bodoh di atas. Bukan karena ia dikalahkan lawan. Pengetahuan baginya telah menghancurkan semua perbuatan baik dan membelah kepalanya sendiri. Kejahatan perang memang dikutuk. Bagaimana dengan pembangunan? Ada kisah tragis di Jepang. Manusia mengaduh-aduh terkena penyakit itai-itai, karena limbah tambang seng yang mencemari sawah masuk ke dalam beras. Atau pada penyakit Minamata, akibat racun berantai. Plankton yang menyerap limbah pabrik yang mengandung air raksa, dimakan oleh ikan dan ikan dimakan oleh manusia. Lalu manusia dimakan oleh penyakit. Debu, asap, atau gas beracun memasuki paru-paru warga kota bersamaan dengan gemuruhnya kegiatan mesin pabrik dan hiruk pikuknya kendaraan bermotor yang berjubel. Peristiwa dan ancaman terjadinya kerusakan lingkungan hidup muncul menyertai pembangunan. Pengetahuan telah melahirkan pembangunan fisik tanpa atau hampir tidak menggubris dampak pencemarannya.
Perkembangan mentalitas dan penyesuaian perilaku manusia pun acap kali tertinggal. Orang-orang modern tidak lagi berpikir tentang barang yang kalau bisa masih akan dipergunakan oleh anak cucu. Segalanya sekali pakai terus buang.
Sampah mulai menggunung, tanpa disertai kesiapan dan kemampuan menanganinya. Tambahnya kendaraan bermotor berarti meningkatnya kecelakaan, dan pengendara harus taat memakai helm tanpa harus mempertimbangkan mutunya. Apa manfaatnya pengetahuan tersebut, kalau akan membelah kepala?
Badui dan suku-suku terasing tidak menghadapi masalah semacam itu. Tetapi mereka mulai terganggu Karena hutannya kedatangan tamu orang kota. Hampir pasti suku-suku itu penjaga lingkungan hidup dan sangat beralasan untuk mempertahankan adatnya. Namun zaman baginya tetap abadi, tiada berganti. Anak-anak masih di luar jangkauan sekolah yang akan membuatnya pintar tetapi salah. Bisa jadi pengetahuan yang akan membelah kepala tidak menjadi bagian dari hidupnya. Harmoni ingin dipertahankan.
Dalam pandangan Buddha, harmoni bisa ada dalam perubahan, dinamis tidak statis. Kehidupan dan segala yang tercipta di jagat ini bukanlah suatu kekekalan. Penderitaan akan timbul bagi makhluk yang tidak mau mengerti tentang corak perubahan atau ketidakkekalan itu. Harmoni itu bagai air yang harus bergerak, mengalir mencapai keseimbangan. Dalam suatu bejana, apa pun bentuknya, air akan mengambil bentuk sesuai dengan wadahnya. Harmoni juga bagai air sungai yang mengalir yang mungkin jadi keruh karena injakan kaki kuda atau gajah yang menyeberanginya. Namun kekeruhan akan tersapu lenyap bersamaan dengan aliran berikutnya. Alam mengenal daur ulang sebagai penawar terhadap pencemaran. Tetapi daya penawar itu memiliki batas kecepatan tertentu yang sepatutnya diperhatikan oleh manusia.
“Sebuah batu akan tenggelam ke dasar air, namun batu itu dapat terapung bila diletakkan pada sebuah kapal.” Inilah kata-kata emas Nagasena. Dengan batu dimaksudkan akibat dari perbuatan yang salah dan kapal merupakan kekuatan dari perbuatan yang benar. Tepatnya kalimat di atas ditujukan kepada Raja Milinda (115M) sehubungan dengan cita-cita Bodhisattwa yang dipenuhi cinta kasih (metta) dan belas kasihan (karuna). Dalam mengelola alam ini pengetahuan tentang daur ulang, ketidakserakahan, cinta-kasih, dan belas kasih menjadikan manusia tahu batas dan mengendalikan dirinya.
“Bagai hujan dapat menembus rumah yang atapnya tiris, demikian pula nafsu akan menembus pikiran yang tidak dikembangkan dengan benar. Bagai hujan tidak dapat menembus rumah yang beratap baik, demikian pula nafsu tak dapat menembus pikiran yang telah dikembangkan dengan baik.”[2]
Salah menggunakan pengetahuan karena dorongan nafsu yang rendah, berarti membelah kepala sendiri atau menciptakan neraka di bumi. Semua orang mengimpikan surga di hari kemudian. Mengapa tidak sedapat mungkin menciptakan surga di dunia sekarang ini?
15 Juni 1988
[1] Dhammapada 72
[2] Dhammapada 13 – 14