Penilaian Etik
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Ini baik dan itu tidak baik. Demikian pengkategorian nilai moral yang dikenal dunia. Memelihara dan melindungi kehidupan, misalnya, atau memberi sumbangan itu baik, sedangkan membunuh dan mencuri tidak baik. Baik berarti harus dikerjakan dan tidak baik berarti harus dihindarkan. Dalam banyak hal acapkali kita menghadapi situasi di mana tidaklah mudah untuk menyatakan ini baik dan itu tidak baik, apalagi melaksanakannya.
Seorang gubernur bertanya kepada seorang biksu yang digelari ‘Petapa Sarang Burung’, “Apakah yang diajarkan oleh Buddha?” Biksu tersebut menjawab, “Jangan berbuat jahat, sempurnakan perbuatan yang baik, sucikan hati dan pikiran, inilah ajaran semua Buddha.” Ia mengutip ayat Dhammapada yang sudah sangat terkenal.[1] Sang pembesar menanggapi, “Anak tiga tahun pun tahu mengenai hal itu.” Selanjutnya kata Biksu ‘Petapa Sarang Burung’, “Anak tiga tahun boleh jadi tahu tentang itu, tetapi orang tua yang berusia delapan puluh tahun pun menemukan kesulitan untuk melaksanakannya.”
Baik dan jahat adalah dua kutub yang berlawanan. Pada dikotomi, menerima yang baik harus berarti sama dengan menyingkirkan yang jahat. Melaksanakan cinta kasih tak berbeda dengan mengendalikan diri untuk tidak menyakiti orang lain. Nilai itu mutlak apabila tidak berubah pada segala zaman dan situasi. Membunuh adalah tidak baik, sekalipun membunuh untuk membela diri tetap digolongkan tidak baik. Sama halnya dengan perbuatan mencuri, tetap dinyatakan tidak baik. walau dilakukan untuk menolong orang yang kelaparan.
Nilai baik dan tidak baik ternyata lebih sering bersifat nisbi. Apa yang baik bagi seseorang mungkin tidak baik bagi orang lain. Membuat orang bertobat itu baik, dan membunuh tidak baik, lalu timbul perbedaan pendapat apakah hukuman mati itu baik. Manusia adu tinju diterima baik, padahal adu binatang tidaklah baik. Pasar liar mesti dibongkar karena tidak baik, tetapi menarik pajak retribusi darinya baik-baik saja. Pelacuran tidak baik, sedangkan lokalisasi WTS perlu dan dianggap baik. Ketika kepentingan ego dan golongan semakin menonjol, batasan nilai baik dan buruk menjadi kabur. Pungutan liar adalah tip atau imbalan untuk setiap bentuk kemudahan dalam pelayanan. Siapa yang punya kedudukan tentu boleh menggunakan kekuasaan untuk memaksakan keinginannya sendiri dan timbullah penyalahgunaan jabatan. Demoralisasi dan degradasi nilai-nilai etika sudah lama merupakan ganjalan, sebagaimana dipermasalahkan antara lain oleh Kwik Kian Gie dan anggota MPR lainnya.
Pada konsep polaritas nilai baik dan tidak baik, menerima yang satu tidak lantas berarti menyingkirkan yang lain. Pernyataan baik dan tidak baik hampir selalu subyektif dan mudah dipertentangkan. Jadilah pertikaian mengenai benar dan salah itu penyakit pikiran, demikian ditulis oleh Sosan. Etik semula adalah pedoman untuk membedakan baik dan buruk. Tetapi etik sendiri dapat menjadi obyek kajian atau penilaian, apakah benar atau salah.
Buddha mengajarkan bahwa suatu perbuatan, entah dilakukan dengan badan, ucapan, atau pikiran, dinyatakan baik bila tidak mendatangkan penderitaan bagi diri sendiri atau pihak lain, atau kedua-duanya. Suatu perbuatan yang mendatangkan penderitaan bagi diri sendiri, atau pihak lain atau kedua-duanya dinyatakan buruk.[2] Dalam hubungan itu penilaian benar atau salah atas suatu perbuatan dapat ditinjau dan apakah perbuatan itu membawa kebebasan atau keterikatan terhadap penderitaan. Suatu perbuatan tidak seharusnya dikerjakan apabila tidak membawa ke arah pembebasan (viraga) dan ketenangan (vupasamu) dari gejolak nafsu. Keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan (moha) adalah aspek negatif yang mendatangkan penderitaan, sedangkan cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha) adalah aspek positif yang menghasilkan kebahagiaan.
“Dengan Dharma sebagai panji, Ia menjaga para pengikut-Nya, mengajarkan: Ikutilah cara berpikir, berkata dan berbuat begini, ikutilah cara hidup begini.”[3] Buddha mengajarkan sebagai seorang guru, tidak menciptakan atau menentukan hukum moral berdasar suatu gagasan atau pendapat. Dharma sebagai hukum moral dalam agama Buddha tidaklah diturunkan dari pribadi seorang Buddha di puncak hierarki, di luar diri seseorang, yang mengharuskannya berbuat begini atau begitu. Dharma akan tetap ada, tidak bergantung pada ada atau tidak adanya seorang Buddha. Sedangkan orang terpanggil oleh batinnya sendiri untuk melakukan ini atau itu. Setiap orang diakui merupakan majikan bagi dirinya sendiri dan membuat pulau perlindungan bagi diri sendiri, termasuk bertanggung jawab mengatur dan mengawasi diri sendiri.
Dharma menurut Prof. Theodore Stcherbatsky, meliputi 4 aspek pengertian: (1) Sebagai kebenaran mutlak; (2) Sebagai ajaran yang terdapat dalam kitab suci; (3) Sebagai kebenaran umum, kebaikan, kebajikan, kesucian, dan cinta kasih; (4) Sebagai segala yang nyata, yang bereksistensi, mencakup alam kehidupan dan semua yang ada dalam alam. Hukum moral yang diajarkan oleh Buddha merupakan bagian yang tidak terpisah dari hukum alam. Baik (kusala) tak lain dari kebenaran (dhamma/dharma) dan buruk (akusala) adalah ketidakbenaran (adhamma)
“Seseorang yang melihat sebab-akibat, melihat Dharma” demikian ujar Buddha.[4] Orang yang mengerti tidak mengikat pikirannya pada subyektivitas nilai, tetapi memegang hukum sebab-akibat (paticcassamuppada) sebagai kebenaran dalam menempatkan diri dan mencari kebahagiaan.
10 Mei 1989
[1] Dhammapada 183
[2] Majjhima Nikaya 61
[3] Anguttara Nikaya III, 150
[4] Majjhima Nikaya 28