Penyakit Kemiskinan
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Baik kaya atau miskin, siapa saja dapat terkena penyakit. Pola penyakit pada kedua golongan itu berbeda. Misalnya penyakit jantung dan darah tinggi lebih banyak ditemukan pada orang kaya, sedangkan orang miskin terutama kurang gizi dan infeksi. Orang-orang sakit memerlukan pertolongan seorang dokter yang harus memberi pelayanan tanpa membeda-bedakan kedudukan sosial ekonomi pasiennya. Tetapi penyakit orang miskin selalu menjadi masalah jika dokter tidak menaruh peduli pada kemiskinan pasiennya.
Pasien miskin tidak mampu membayar untuk mendapatkan obat dan perawatan yang terbaik baginya. Seringkali mereka pun sulit memperbaiki cara hidup atau meninggalkan lingkungan hidupnya yang tidak sehat. Inilah penyakit kemiskinan di luar diagnosis dari dokter dan untuk mengatasinya diperlukan usaha pengobatan yang bersifat non-medis. Kemiskinan itu sendiri dalam pandangan Buddha bukanlah penderitaan. Apa yang disebut sebagai penderitaan dimulai dari peristiwa dilahirkan, menjadi tua, sakit, dan mati, berhubungan dengan sesuatu yang tidak disukai, tidak mendapatkan sesuatu yang diharapkan, pengalaman sedih, ratap tangis dan gelisah, dapat ditemukan baik pada orang kaya atau pun miskin. Penderitaan dalam menjalani suatu siklus kehidupan akan dialami oleh siapa saja, tanpa membeda-bedakan kedudukan sosial ekonomi.
Merasa sakit adalah salah satu bentuk penderitaan. Keadaan miskin bisa merupakan masalah, tetapi bukan merupakan penderitaan itu sendiri. Hanya saja jika kemiskinan ini dirasakan oleh seseorang sebagaimana dia merasa terkena penyakit, itulah penderitaan. Orang yang merasa sakit mungkin betul-betul terkena suatu penyakit, mungkin pula secara biologis ternyata tidak sakit. Demikian pula halnya ada orang miskin yang betul-betul hidupnya kekurangan, ada orang yang merasa miskin padahal secara objektif tergolong cukup kaya. Maka penyakit kemiskinan tidak hanya milik orang miskin. Ada banyak orang kaya yang mungkin mengidap penyakit kemiskinan dan menderita karenanya.
Adinnapubbaka bukan orang miskin, tetapi ia menderita karena penyakit kemiskinan. Brahmana yang tinggal di kota Savatthi ini tidak pernah memberikan sesuatu kepada orang lain. Karena itulah ia dinamakan Adinnapubbaka, yang artinya tidak pernah memberi. Ia mempunyai seorang anak, namanya Matthakundali. Ketika Matthakundali jatuh sakit, ia tidak membawanya ke dokter. Kepada istrinya ia berkata, “Istriku, jika aku membawanya ke dokter, maka aku harus mengeluarkan banyak biaya. Apa engkau tidak peduli dengan kekayaan kita yang berkurang?” Maka ia mengusahakan cara lain agar tidak banyak mengeluarkan biaya. Tidak ada bedanya brahmana ini dengan orang miskin yang sungguh-sungguh tidak mampu membayar biaya pengobatan. Ia mengunjungi beberapa dokter hanya untuk bertanya bagaimana caranya mengobati orang dengan sejumlah gejala penyakit seperti yang diderita oleh anaknya. Lalu ia mencari sendiri ramuan-ramuan yang disarankan oleh mereka. Segala yang sudah dikerjakannya itu sia-sia saja, penyakit Matthakundali justru bertambah parah. Akhirnya tidak ada pilihan lagi, terpaksa ia mengundang dokter untuk mengobati penyakit anaknya. Namun terlambat sudah, tidak ada dokter yang sanggup mengobatinya lagi. Tinggallah brahmana tersebut menangis dan menyesal tiada habis-habisnya.[1]
“Sungguh berbahagia orang yang hidup tanpa penyakit di antara orang-orang yang menderita penyakit,” demikian sabda Buddha. Sabda ini tidak diucapkan tersendiri, tetapi melengkapi sabda lain mengenai bahagianya orang yang hidup tidak membenci di antara orang-orang yang membenci, dan bahagianya orang yang hidup tanpa keserakahan di antara orang-orang yang serakah.[2] Maka apa yang dimaksudkan dengan penyakit tidak terbatas pada gangguan atau kelainan biologis, tetapi terutama merupakan penyakit pikiran dan hawa nafsu. Penyakit mental dipandang lebih buruk daripada penyakit jasmani. Buddha menyampaikan sabda-Nya di atas ketika terjadi sengketa antara dua suku bangsa yang memperebutkan pembagian air dari sebuah sungai yang mengalir di perbatasan negara mereka.
Menurut Buddha, kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga. Maka orang yang tidak pernah puas, ia digolongkan miskin. Dalam Sutra Delapan Kesadaran Agung dikemukakan bahwa “Orang miskin kerap kali memupuk kebencian yang menimbulkan hubungan yang tidak baik dengan orang-orang lain di mana saja.” Orang miskin di sini maksudnya orang yang tidak pernah puas, yang merasa kekurangan dan selalu berusaha untuk memiliki barang sesuatu yang diinginkannya. Makin banyak yang didapat, makin banyak pula yang dikejarnya, karena keserakahan tidak pernah dapat dipuaskan. Dalam hubungan itu seringkali ia tidak segan untuk menekan dan bermusuhan dengan orang lain.
Kemiskinan tidak selalu berarti kekurangan dan dalam ukuran ekonomi, tetapi menunjukkan kekurangan dalam ukuran mental dan kejiwaan yang membentuk suatu kebudayaan kemiskinan. Ada penyakit kemiskinan. Orang yang mengidap penyakit kemiskinan tidak pernah memberi, sebaliknya, senang meminta-minta. Ia serakah, cemburu atau iri hati, kurang mengendalikan diri, dan mudah membenci. Mungkin juga pasrah, putus asa, rendah diri, dan sebagainya.
Februari 1991
[1] Dhammapada Atthakatha 2
[2] Dhammapada 197-199