Penyelewengan Hubungan Seks
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Asal suka sama suka, tidak ada yang dirugikan, laki-laki tua boleh saja mengawini istri yang muda belia. Namun Buddha menggolongkan sebagai salah satu sebab kemerosotan. Orang seperti itu tidak bisa memicingkan matanya, tidak bisa tidur lelap, karena perasaan cemburu yang menghantui.
Itu tentang mereka yang menikah. yang di luar pernikahan, segala bentuk penyelewengan, affair atau hubungan gelap, apalagi kalau bukan pertanda kemerosotan hidup. Tidak puas dengan istri sendiri dan berhubungan dengan perempuan lain, atau sering tampak bersama-sama istri orang lain, dianggap sama saja dengan kejahatan yang akan meruntuhkan dan menghancurkan hidup seseorang. Uraian dalam Parabhava Sutta ini lebih ditujukan kepada kaum laki-laki.
Tidak cuma laki-laki yang bisa menyeleweng. Perempuan itu, ujar Buddha, suaranya saja dapat menaklukkan hati laki-laki.[1] Mara, sang iblis tidak membedakan laki-laki atau perempuan. Tetapi bukan salah Mara bilamana seorang istri intim dengan pria tetangga, keluyuran tanpa ditemani suaminya, memakai baju dan perhiasan pemberian laki-laki lain.[2]
Setiap manusia bebas memilih jalan Mara atau jalan Buddha. Setiap orang akan memetik hasil dari perbuatannya masing-masing. Buddha sang pengasih bukan pemarah dan pengutuk. Betul ia melarang perzinahan, tetapi tidak pula membenarkan orang menaruh benci dan mendera seorang pelacur. Cinta-kasih tidak bersekutu dengan kebencian. Buddha tidaklah segan mengunjungi seorang pelacur untuk menuntun dan menyelamatkannya.
Ambapali salah seorang pelacur itu. Perempuan ini dilahirkan miskin, tetapi tumbuh menjadi cantik menawan. Banyak laki-laki bangsawan yang ditaklukannya. Melayani keinginan laki-laki berarti menambah kekayaan. Kekayaan adalah ukuran segala-galanya, karena dengan itu hidup yang sulit menjadi mudah. Sampailah kemudian ia bertemu dengan Buddha dan mengubah jalan hidupnya. Uang atau kekayaan tidak lagi menyilaukan mata Ambapali. Ia menolak tawaran pria bangsawan Licchavi yang bersedia membayarnya untuk membatalkan undangan kepada Buddha. Ia tidak mau melepaskan kehormatan sekalipun seluruh isi kota Vesali yang ditawarkan kepadanya.[3]
Masa kini ada surga di Bangkok. Bisa pilih, surga dengan sejuta bidadari atau sejuta biksu berjubah kuning, jubah dari orang suci yang tidak memerlukan sentuhan wanita. Di sana rumah ibadah tidak terganggu sebelah menyebelah dengan rumah maksiat. Manusia bisa menyeleweng, dewa juga bisa menyeleweng, tetapi orang-orang suci tidak.
“Selama belukar nafsu keinginan laki-laki terhadap perempuan belum dihancurkan, betapa pun kecilnya, maka selama itu pula terikat pada kehidupan yang tidak kekal abadi, bagaikan seekor anak sapi yang masih menyusu terikat pada induknya.”[4] Seperti Buddha, para biksu menolak perzinahan, melatih dirinya sendiri membuang nafsu seksual, dan menghindari kebencian untuk mencapai kebahagiaan yang kekal abadi.
Sudinna ditahbiskan menjadi biksu atas kehendak sendiri. Ia putra tunggal seorang saudagar yang kaya dan pernah kawin muda, tetapi belum mempunyai anak. Dapat dimengerti kalau ibunya meratap bahwa akan putuslah keturunan keluarganya. Sudinna tidak ingin melepaskan jubah untuk kembali hidup sebagai orang biasa. Sedangkan sang ibu tiada bosannya membujuk sehingga dirasakan sangat mengganggu ketenangannya. Oleh karena itu Sudinna memutuskan untuk menggauli lagi bekas istrinya sendiri hingga mengandung. Sehubungan dengan peristiwa ini Buddha menetapkan bahwa para biksu yang melakukan hubungan kelamin dinyatakan sebagai orang yang telah terkalahkan dan dipecat dari kebiksuannya.[5]
Para biksu pun tidak bersekutu dengan iblis, tidak bersahabat dengan penyeleweng yang tidak bertobat. Dikisahkan dalam Dhammapada Atthakata, Biksu Palita yang buta saja menolak dituntun oleh seorang samanera (calon biksu) yang ketahuan melakukan perbuatan asusila. Samanera itu, masih keponakannya, tertarik pada suara seorang wanita lalu meminta izin untuk pergi sebentar. Ia menemui wanita tersebut dan menggaulinya. Sang biksu buta matanya, tetapi tidak tuli pendengarannya. Ia menaruh curiga, kalau-kalau samanera itu melanggar peraturan (sila). Seorang rahib pantang melakukan hubungan kelamin dan seorang umat yang berumah-tangga pantang berzinah. Sekalipun membungkam, samanera itu tidak menyangkal apa yang dicurigai oleh pamannya. Maka Palita mengusirnya. “Pelanggar sila seperti engkau tak’kan pantas memegang tongkatku lagi,” katanya.
“Aku telah kehilangan penglihatan,
usai kutempuh jalan melelahkan.
Aku akan berbaring, tak akan pergi jauh lagi,
tidak ada persahabatan dengan orang jahat.”
Konon kekuatan batin biksu itu menggetarkan istana dan membuat panas singgasana dewa Sakka. Dewa Sakka kemudian menolongnya untuk menemui Buddha. Ujarnya, raja dewa yang memiliki seribu mata, menyucikan mata kedewaannya. Sedang biksu itu menyucikan hidupnya dari kotoran batin.”
Surga wanita di Bangkok bisa jadi tumbuh di atas derita kesulitan ekonomi dan merosotnya kehidupan beragama. Apa Muangthai yang segera akan memasuki jajaran negara Asia yang maju, dengan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi itu, masih memberi tempat bagi seks sebagai komoditi?
Di Jakarta, di tengah pembangunan yang cukup berhasil, kehidupan beragama semakin baik, rumah ibadah semakin banyak dan penuh jemaah, ada gejala yang mengusik: Tingkat penyelewengan meningkat menurut angket perilaku seksual. Kalau betul, itu bukan kemajuan, tetapi kemerosotan. Bagaimana pun juga kehidupan beragama setiap keluarga perlu ditingkatkan.
14 September 1988
[1] Anguttara Nikaya 1.1
[2] Jataka 6.1
[3] Digha Nikaya 16
[4] Dhammapada 284
[5] Suttavibhanga I, 5