Penyiaran Agama dan Keyakinan
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Sangatlah wajar orang yang menganut agama tertentu merasa terpanggil untuk menyiarkan agamanya. Seringkali ia berusaha dengan berbagai cara agar orang lain ikut menganut agamanya itu, sehingga menyinggung perasaan umat beragama lain. Pemerintah telah menetapkan pedoman penyiaran agama agar pengembangan dan penyiaran agama tidak menimbulkan retaknya kerukunan hidup antar umat beragama.
Penyiaran agama tidak dibenarkan bila ditujukan terhadap orang yang telah memeluk sesuatu agama lain, tidak dibenarkan menggunakan bujukan, memberi material, mengunjungi, dan menyebar pamflet atau buku di rumah-rumah umat beragama lain. Sudah barang tentu tidak juga dibenarkan menghasut dan menjelekkan agama lain.
Para biksu mungkin mengunjungi penduduk dari rumah ke rumah. Kalau diminta, dengan senang hati mereka akan menjelaskan apa yang diajarkan oleh Buddha. Namun kunjungan mereka sama sekali tidaklah dimaksud menarik orang-orang lain menjadi murid Buddha. Mereka melaksanakan latihan keagamaan, merendahkan dirinya sebagai pengemis, mengumpulkan makanan sedekah dari orang-orang yang bersedia memberi derma. Demikian pula yang dikerjakan oleh Biksu Assaji murid Buddha yang tergolong angkatan pertama. ia tidak membujuk, dan memang tidak mungkin seorang pengemis mampu menarik orang lain untuk mengikuti agama yang dianutnya. Tetapi karena Assaji inilah Upatissa yang diikuti ratusan pengikut meninggalkan kepercayaannya yang lama. Hanya dengan perilaku dan penampilan yang mempesona, Assaji telah membuat orang lain tertarik untuk mengakui agamanya.
Buddha tidak pernah mengajak:, “Jadilah engkau murid-Ku atau pengikut-Ku.” Ketika Bhaddiya dari suku Licchavi minta diterima sebagai pengikut, Buddha bertanya, “Bhaddiya, apakah Aku mengajakmu: Mari Bhaddiya, jadilah murid-Ku dan Aku akan menjadi gurumu?” Jawab Bhaddiya, “Tidak, Bhante.” Ia tidak mengajak, tetapi banyak orang yang terpengaruh dan meninggalkan kepercayaannya yang lama, lalu meminta sendiri untuk menjadi murid-Nya. Orang yang tidak senang terhadap Buddha menuduh bahwa Ia menggunakan kekuatan sihir sehingga orang-orang mau menjadi murid-Nya.
Bhaddiya berpendapat, baik sekali kalau orang-orang bisa ditundukkan dengan cara itu, karena sebenarnya bermanfaat bagi mereka sendiri. Sebaliknya menurut Buddha, jika semua orang itu ditundukkan bukan oleh-Nya, melainkan oleh karena “menghindari kejahatan dan melakukan kebaikan”, itulah yang akan mendatangkan kebahagiaan bagi mereka.”[1]
Buddha mengingatkan bahwa mengajarkan agama kepada orang lain itu tidaklah mudah. Orang yang ingin menyiarkan agama Buddha harus memperhatikan lima hal, yaitu: (1) membabarkannya secara bertahap dan terarah (anupubbikatham), (2) menjelaskan berdasar sebab yang mendahului, yang dapat ditunjukkannya (pariyayam), (3) apa yang diberikan semata-mata berdasarkan kebaikan (annuddayatampattica), (4) apa yang diberikan bukan untuk mendatangkan keuntungan duniawi, misal harta, kedudukan, atau kehormatan (amis ‘antaro), (5) apa yang diberikan tidak menyakiti diri sendiri atau orang lain, tidak juga mengagungkan diri sendiri seraya merendahkan orang lain (anupahacca).[2]
Apa yang diajarkan oleh Buddha seringkali diibaratkan sebagai obat, dan Buddha sendiri sebagai dokter (bhisaka). “Seperti seorang dokter yang pandai dalam waktu singkat menyembuhkan penyakit, melenyapkan penderitaan seorang pasien, manakala seseorang memahami Dharma Guru Gotama, apakah itu melalui sabda, khotbah, tanya-jawab, atau mukjizat, maka lenyaplah kesedihan, penderitaan, kesusahan, keluh-kesah dan keputusasaan.”[3]
Boleh saja orang percaya bahwa dokter itu benar ahli, obatnya manjur, tetapi hanya percaya saja jelas tidak bermanfaat. Yang menjadi persoalan adalah apa sang pasien mau menaati petunjuk dokternya dan menggunakan obatnya dengan benar. Seorang pasien mungkin saja tidak perlu mengetahui siapa dokternya, yang penting ia mendapatkan obat yang tepat dan sembuh.
Keyakinan dalam agama Buddha tidaklah didasarkan pada percaya semata-mata. Asanga yang hidup di abad ke-4, menjelaskan bahwa keyakinan (saddha) itu mengandung tiga unsur, yakni: (1) keyakinan yang kuat terhadap sesuatu hal. (2) kegembiraan yang mendalam terhadap sifat-sifat yang baik, (3) harapan untuk memperoleh sesuatu di kemudian hari. Keyakinan itu menuntut adanya kemauan untuk berusaha secara aktif dan penuh kesadaran, bukan suatu sikap yang pasif, menunggu berkah dari langit.
Tidaklah ada jaminan bahwa hanya dengan percaya atau mengakui menjadi pengikut Buddha itu akan mendatangkan kebahagiaan. Pada banyak kesempatan Buddha menegaskan, “Engkau sendiri harus berusaha, para Tathagata (Buddha) hanyalah penunjuk jalan.”
11 Oktober 1989
[1] Anguttara Nikaya IV, 20;193
[2] Anguttara Nikaya V, 16;159
[3] Anguttara Nikaya V, 20;194