Peran Guru
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Schopenhauer berpendapat bahwa bayi lahir dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Perkembangan seorang anak sangat tergantung pada pembawaannya, yang sudah ditentukan sejak lahir di dunia. Yang jahat akan menjadi jahat dan yang baik akan menjadi baik. Lingkungan tak mempunyai daya apa-apa dalam mempengaruhi perkembangan anak. Sekalipun demikian, penganut pesimisme yang membiarkan anak tumbuh berdasarkan pembawaannya, tidak mungkin membuang peran guru dan pendidikan.
Pembawaan baik dan buruk dalam pandangan Buddha merupakan karma masa lampau atau potensi dari segala perbuatan yang pernah diperbuat oleh seseorang. Setiap orang benar dilahirkan dengan pembawaan masing-masing, namun orang itu dapat berubah karena lingkungan atau pendidikan. Teori konvergensi dalam pendidikan yang dikemukakan oleh William Stern mendekati konsep pendidikan Buddhis. Pembawaan maupun lingkungan kedua-duanya mempunyai pengaruh terhadap hasil perkembangan seorang anak. Tetapi lebih jauh lagi Buddha menekankan bagaimana perbuatan atau karma masa sekarang dapat meniadakan karma buruk masa lalu.
Manusia berkembang melalui proses belajar sepanjang hidupnya. Penderitaan yang dihadapinya bersumber pada keinginan yang rendah (tanha). Keinginan sendiri bukan merupakan sebab satu-satunya, karena keinginan pun timbul tergantung pada faktor lain yang mendahuluinya. Dalam merumuskan rangkaian mata rantai timbulnya penderitaan, Buddha menempatkan faktor yang pertama adalah kebodohan atau ketidaktahuan (avijja). Maka, untuk menolong seseorang agar terlepas dari penderitaan, tidak bisa lain dari melenyapkan ketidaktahuan itu dan menggantikannya dengan pengetahuan atau pengertian yang benar.
Mudah dimengerti bahwa para nabi dan Buddha pun berperan sebagai seorang guru yang mengajarkan pengetahuan yang benar. Setelah mencapai Penerangan Sempurna, terdorong oleh kasih sayangnya di hadapan Brahma Sahampati Buddha menyatakan kesediaan untuk membabarkan Dharma kepada khalayak ramai. Ia memiliki murid-muridnya, orang yang dihinggapi sedikit debu di matanya, yang mampu memahami Dharma dengan baik.
Seorang guru seharusnya tidaklah mengajar untuk kepentingan pribadi. Sabda Buddha, “Bagaimana pun, Cunda, atas dasar cinta kasih, apa yang harus dilakukan oleh seorang guru, yaitu mengusahakan kebahagiaan bagi murid-murisnya”[1]Seorang guru dengan penuh kasih sayang mengajar demi kebajikan dan kebaikan. Kepada pemuda Sigala, Buddha mengajarkan bagaimana cara seorang guru memperlakukan muridnya. Ia mendidik dan melatih muridnya dengan baik sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Semua ilmu pengetahuan yang dikuasainya diajarkan secara mendalam kepada muridnya. Ia membuat sang murid menguasai semua pelajaran yang diberikan. Tidak hanya soal keilmuan saja yang diperhatikan, sang guru pun berkewajiban menjaga muridnya dalam berbagai hal. Dengan demikian ia pantas membicarakan kebaikan muridnya kepada orang-orang lain.[2]
Dalam konsep pendidikan Buddhis, setiap orang merupakan majikan atas dirinya sendiri, sehingga menentukan nasib sendiri dan wajar pula menjadi dirinya sendiri. Buddha hanya menunjukkan jalan. Para guru seharusnya tidak membentuk muridnya menurut keinginan sang guru. Buddha tidak mengajarkan lain dari menunjukkan apa yang dapat dilihat sendiri oleh setiap siswa. Dengan demikian Ia tidak perlu mempersoalkan apakah orang percaya atau tidak. Bahkan Ia menganjurkan orang-orang untuk tidak mudah percaya kepada guru. Kepada Monggallana, Buddha pernah mengemukakan bagaimana seharusnya dibedakan antara guru yang benar dan suci terhadap guru yang sesat. Ada guru yang menganggap dirinya suci padahal berlawanan faktanya, dan murid-muridnya tahu bahwa sang guru sesat; lalu persoalannya bagaimana mereka dapat berlaku lain dari yang disenangi gurunya? Demikian, harus dapat dibedakan cara hidup, penampilan, ajaran, pengetahuan, dan kebijaksanaan dari para guru, benar atau keliru.[3]
Sebagai guru, Bodhidharma berkata kepada calon muridnya, “Berikan hatimu dan aku akan memenangkannya.” Ia tidak bertanya, “Apa yang akan kau beri sebagai imbalan kalau aku mengajarimu?” Sebagai rahib ia tidak memikirkan penghasilan. Tidak demikian dengan guru-guru kita. Kepada pemuda Sigala, Buddha menganjurkan agar seorang murid tidak saja tekun belajar, memperhatikan dengan baik apa yang diajarkan oleh guru, memperlakukan gurunya dengan hormat, melayani sang guru, tetapi juga membalas jasanya dengan layak.
5 Desember 1990
[1]Majjhima Nikaya 8
[2] Digha Nikaya 31
[3] Anguttara Nikaya V, 10:100