Perangkap Iklan
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
“Mereka yang mengetahui apa yang tercela sebagai tercela dan apa yang tidak tercela sebagai tidak tercela, maka orang-orang yang menganut pandangan benar ini akan mencapai alam bahagia”[1]
Setelah tangis pertama, bayi yang baru dilahirkan mulai mengisap. Mengisap itulah caranya makan dan menikmati kepuasan. Mengisap lalu puas memang dinikmati pula oleh orang yang merokok. Namun merokok tidak lantas mesti berhubungan dengan riwayat kepuasan isap mengisap pada masa bayi. Bayi senang mengisap bukan pertanda punya bakat merokok.
Seseorang mulai merokok karena ada barang tersebut. Ia pernah tahu bagaimana menikmatinya, mendapatkan kepuasan dan dapat memperolehnya. Selama ini masyarakat terperangkap iklan-iklan. Misalnya rokok itu menaikkan gengsi dan mencerminkan kegagahan atau kejantanan. Merokok mungkin pula membuat santai, menjadi mesra, lebih nyaman, dan sebagainya.
Pemasaran adalah keharusan bagi dunia bisnis dan berorientasi pada konsumen. Remaja merupakan salah satu golongan yang dijadikan sasaran pemasaran barang-barang tertentu. Deodoran, alat kecantikan, dan busana misalnya sering secara khusus diiklankan bagi golongan remaja. Barang-barang semacam itu bermanfaat dan merupakan kebutuhan remaja. Apa rokok juga merupakan kebutuhan remaja?
Merokok tidaklah baik untuk kesehatan. Banyak penyakit dinyatakan berhubungan dengan rokok, antara lain kanker paru, sakit jantung, dan penyakit peredaran darah. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa rokok merupakan pintu masuk penyalahgunaan narkotika. Korban penyalahgunaan obat umumnya golongan remaja dan semuanya memulai dari rokok. Tetapi pengetahuan tentang hal ini tenggelam di balik iklan, apalagi dengan slogan yang menimbulkan ‘wah’ bagi remaja.
Remaja yang menghadapi masalah otoritas dan identitas, ditandai keinginan menunjukkan kekuasaan dan kedewasaan, ingin menjadi orang besar sebagaimana tokoh idolanya. Apa pun latar belakangnya, ingin diakui atau diterima kelompoknya, mencari pengalaman baru, mengejar kebebasan dan kalau perlu dengan memberontak terhadap orangtua, mungkin pula ingin melarikan diri dari suatu kekecewaan, amat mudah terpengaruh ajakan teman, dan bujukan iklan.
Kehadiran rokok dan iklannya bagi remaja mengundang protes. Masyarakat menghendaki dihargainya norma yang berlaku, bahwa rokok tidak dibenarkan bagi anak-anak dan remaja. Periklanan mengenal tatakrama. Menyimpang dari tatakrama, masyarakat yang tanggap akan menggugat. Seperti adanya dokter yang berkeberatan terhadap promosi obat yang merugikan martabat profesi dan iklan obat yang tidak jujur.
Bahasa iklan pada umumnya mempesona. Namun iklan itu baik bilamana maksudnya baik ditinjau dari etika dan moral agama. Cara berbahasa yang baik menurut Sutra Buddhabhasita Dasabhadra Karmamarga, ditandai: (1) kata-kata yang benar tidak mengandung dusta, (2) beralasan, (3) memberi manfaat atau menguntungkan, (4) tutur kata yang elok, (5) lengkap, (6) berbobot atau mengandung wibawa, (7) tidak mengundang kritik, dan (8) menyenangkan.
Setiap bidang usaha memang mengejar laba. Namun norma agama menghendaki adanya fungsi sosial dari bisnis apa pun. Dengan kata lain, kita harus bekerja dengan baik sekaligus pula berbuat baik. Kehidupan beragama tidak memberi peluang untuk mempertentangkan antara bekerja dengan baik dan berbuat baik.
Dalam Samyutta Nikaya V, tercatat Ananda pernah mengemukakan bahwa setengah dari kehidupan suci bersahabat dengan orang baik. Buddha tidak membenarkan pernyataan itu. Ia menyatakan bergaul, berteman, dan bersahabat dengan orang baik, adalah bagian utuh dari kehidupan suci, merupakan seluruh kehidupan suci. Dari sahabat yang baik diharapkan dapat mengembangkan dengan sungguh-sungguh jalan yang baik, atau bekerja dengan baik sekaligus berbuat baik.
Bagi konsumen, semakin banyak yang ditawarkan, semakin banyak dihendaki adanya pertimbangan atau penilaian. Diam sejenak, renungkan dalam-dalam Empat Dasar Tindakan (apassena): (1) Sebagai kebiasaan, mempertimbangkan apakah baik buruknya. (2) Bertahan dengan sabar dan penuh pengertian agar tidak terseret umpan keadaan. (3) Menghindar manakala nafsu indra mendatangkan kegelisahan. (4) Menindas pikiran yang menyesatkan.[2]
“Setelah lama memperhatikan secara seksama, orang bijaksana memuji ia yang menempuh kehidupan tanpa cela, pandai, serta memiliki sila dan kebijaksanaan sempurna.”[3]
23 September 1987
[1] Dhammapada 319
[2] Digha Nikaya 33 (III, 224)
[3] Dhammapada 229