Perkawinan Berbeda Agama
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Perbedaan agama sewajarnya tidak menghambat pergaulan. Lalu cinta pun mungkin tumbuh, berlanjut pada perkawinan. Cinta memang tidak mengenal perbedaan warna kulit, keturunan, atau golongan, termasuk perbedaan agama. Namun perkawinan antar penganut agama yang berlainan tidak dengan sendirinya terwujud didasari cinta tersebut.
Undang-undang Perkawinan mengakui sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama, dan tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Buddha tidak mengatur hukum dan tata cara perkawinan. Perkawinan adalah perbuatan hukum yang taat pada hukum adat dan negara. Buddha hanya memberkati dan memberi petunjuk agar pasangan yang membentuk keluarga itu dapat mencapai kebahagiaan.
Sejak dahulu dikenal perkawinan secara adat yang pada umumnya tidak mengabaikan upacara keagamaan. Upacara menyatu dengan tradisi keluarga dan dilaksanakan di rumah pengantin. Perkawinan itu tidak dicatat oleh suatu lembaga agama Buddha, atau lembaga itu memang belum ada. Perbedaan agama jarang terdengar dipermasalahkan. Pasangan yang juga tidak melakukan perkawinan di hadapan Catatan Sipil, tentu tidak memiliki surat kawin.
Menaati Undang-undang Perkawinan yang diundangkan pada tahun 1974, belakangan ini mereka melakukan upacara kawin ulang di wihara secara massal supaya tidak dianggap ‘kumpul kebo’. Banyak di antara mereka sudah berstatus kakek-nenek. Upacara itu sendiri pada dasarnya bersifat memberkahi. Pemberkahan layak diberikan kepada siapa saja yang menghendakinya dengan tulus, termasuk bagi orang yang secara formal tidak menganut agama Buddha. Sedangkan pengesahan pernikahan dilakukan oleh Kantor Catatan Sipil.
Perkawinan campuran antara penganut Buddha dengan penganut agama lain tidak dilarang oleh Buddha sendiri. Salah satu contoh adalah kasus Visakha. Pada usia 7 tahun ia bertemu dengan Buddha dan langsung menjadi pengikutnya. Menginjak usia 16 tahun, Visakha dikawinkan dengan Punnavaddhana yang berbeda agama. Bahkan ayah mertuanya sangat merendahkan para biksu. Hanya dengan penuh kesabaran, keluhuran pekerti, dan kebijaksanaan, di kemudian hari ia berhasil menciptakan suasana Buddhis dalam rumah tangga suaminya.
Pada hari pernikahannya, sang ayah menyampaikan sepuluh butir nasihat yang sering dikhotbahkan untuk para pengantin. Isi nasihat itu adalah:
Tidak membawa ke luar api yang ada di dalam rumah. Maksudnya seorang istri tidak boleh mendiskreditkan suami dan mertua. Kelemahan dan pertengkaran dalam rumah tangga tak boleh disiarkan kepada orang luar.
Tidak membawa masuk api yang ada di luar. Artinya tidak menerima dan percaya begitu saja pada berita atau cerita yang didengar dari orang luar.
Memberi hanya kepada mereka yang memberi. Segala sesuatu hanya dipinjamkan kepada orang yang mau mengembalikan.
Jangan memberi kepada mereka yang tidak memberi. Jangan meminjamkan sesuatu kepada orang yang tidak mau mengembalikan.
Menolong mereka yang memberi maupun yang tidak memberi. Orang yang tak mampu, sanak dan kerabat harus ditolong walau mereka tidak membalas atau memberi imbalan.
Duduk dengan tenang. Maksudnya menaruh hormat dan sopan, terutama terhadap mertua.
Makan dengan tenang. Dalam hal makan, seorang istri menyiapkannya terlebih dulu untuk suami dan mertua. Ia pun harus melihat bahwa kebutuhan makan pembantunya terpenuhi.
Tidur dengan tenang. Sebelum tidur mengunci semua pintu dan jendela, mengamankan barang atau alat rumah tangga, melihat apakah pembantu telah menyelesaikan tugasnya dan mertua telah pergi tidur.
Memelihara api. Mertua dan suami harus diperlakukan dengan sangat hati-hati ibarat memelihara api di dapur.
Menghormati dewa-dewa rumah tangga. Mertua dan suami dipandang seperti dewa yang patut dihormati.
Sekalipun laki-laki itu kepala keluarga, keimanan dalam keluarga dan agama yang dianut anak-anak tidak harus tergantung kepadanya. Perbedaan iman suami istri diakui menyulitkan pendidikan kepercayaan agama secara dini bagi anak-anaknya. Tetapi pendidikan moral agama secara umum tidaklah menjadi masalah. Misal larangan membunuh, mencuri, berdusta, berbuat asusila dan bermabuk-mabukan, berlaku umum dan memang itulah Panca Sila yang diamalkan oleh umat Buddha. Keimanan atau kepercayaan dalam agama Buddha tidaklah tabu dipertanyakan, sebagaimana dinyatakan dalam Kalama Sutta. Agama Buddha pun dianut tidak berdasarkan keturunan, namun dianut dengan kehendak bebas yang sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan pengalaman. Orangtua harus memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengenal kemudian memilih sendiri agama yang sesuai baginya.
Perkawinan diartikan hidup bersama untuk selamanya. Karena itu sebelum memutuskan untuk kawin, kita diingatkan agar mempertimbangkannya matang-matang. Kebahagiaan yang mungkin diperoleh dari suatu perkawinan bersifat duniawi, sedang kebahagiaan tertinggi yakni pencapaian nirwana memerlukan pemadaman nafsu seks. Umat bebas untuk memilih.
Bagi kebanyakan orang yang akan menempuh hidup perkawinan, dianjurkan pula untuk memilih pasangannya. Jodoh tidak hanya tergantung pada karma masa lalu, tetapi juga ditentukan oleh karma atau perbuatan masa kini. Dalam memilih seorang suami hendaknya dihindari laki-laki hidung belang, pemabuk, penjudi, dan pemboros (Vasala Sutta). Sebaliknya laki-laki mencari istri yang luwes, sepadan umurnya, patuh, baik budi, setia, bajik, dan berasal dari keluarga baik-baik (Maha Mangala Jataka). Petunjuk ini jelas mengutamakan pertimbangan moral dan tidak mempermasalahkan perbedaan agama atau kepercayaan.
Lebih lanjut, dalam Samajivi Sutta dinyatakan bahwa pasangan yang ingin tetap bersama dalam kehidupan ini dan berlanjut dalam kehidupan yang akan datang, keduanya harus memiliki iman (saddha), moral (sila), kemurahan hati (caga), dan kebijaksanaan (panna) yang sebanding. Untuk itulah suami-istri sebaiknya tidak berbeda iman.
16 Desember 1987