Persepsi Harga Diri
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini diberikan kepada Liu Xiaobo. Penghargaan internasional bergengsi tersebut membuat pemerintah China marah. Liu adalah aktivis pro-demokrasi, pembangkang yang tengah dipenjara. Merasa dipermalukan atau pun bangga, jelas menyangkut kehormatan dan harga diri.
Harga diri mudah memprovokasi perasaan sentimen. Kita misalnya merasa tertantang oleh Malaysia karena tindakan arogan polisinya di perairan Tanjung Berakit. Selain itu kita kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan, terusik oleh klaim karya budaya dan perlakuan buruk terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Perlindungan bagi TKI juga menjadi masalah di banyak negara lain.
Harga Diri
Sumpah Pemuda mempersatukan kita menjadi satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Harga diri bangsa ditentukan oleh kemampuan kita menjaga keutuhan negara kesatuan, serta mengangkat harkat dan derajat sejajar dengan bangsa-bangsa maju. Tentunya termasuk menghargai bahasa dan budaya nasional.
Pada dasarnya nasionalisme menyangkut kemerdekaan dan kedaulatan agar bisa menentukan sendiri nasib bangsa menjadi lebih baik. Lalu kenapa begitu banyak rakyat yang tetap miskin dan hasil sumber daya alam dikuasai atau dieksploitasi untuk memperkaya negara lain? Apa ada yang disebut harga diri bangsa tanpa keadilan sosial dan perlindungan hak asasi manusia?
Dengan alasan harga diri dan kehormatan bangsa Presiden Yudhoyono menunda kunjungannya ke Belanda, Di sana sedang digelar sebuah pengadilan memproses tuntutan organisasi Republik Maluku Selatan (RMS). Tuntutan itu antara lain agar Presiden Indonesia ditangkap. Harga diri tampaknya lebih menyangkut pada apa yang kita persepsikan menurut pikiran dan perasaan sendiri, bukan apa yang dipersepsikan oleh orang lain terhadap kita.
Apa yang menentukan harga diri seseorang? Sesosok manusia yang kaya atau berkedudukan tinggi mungkin saja tidak punya harga diri. Ia menyombongkan diri, untuk mendapatkan pengakuan dan takut tidak dihormati. Sebenarnya ia rendah diri. Penyakit mental ini sering terselubung, ditandai sifat yang egois, mudah iri hati, khawatir tersaingi, tidak mengakui kekurangan diri sendiri, dan sukar menerima kritik. Orang yang merasa kurang tinggi akan berdiri berjingkat. Menurut Laotse, barangsiapa berdiri berjingkat dia akan kehilangan keseimbangannya.
Orang yang memiliki harga diri justru rendah hati, tahu diri, tidak egois, tidak merasa malu untuk mengakui kekurangannya. Pada banyak kesempatan Buddha menyatakan bahwa perbuatan (karma) masing-masing orang yang menentukan martabatnya sendiri. Harga diri adalah apa yang kita pikirkan, kita ucapkan dan kita lakukan.
Asal Bapak Senang
Ujian calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Kementerian Perdagangan belum lama ini mendapat sorotan publik. Salah satu pertanyaan mengindikasikan syarat menjadi PNS harus tahu dan hafal lagu yang diciptakan Presiden SBY. Kalaupun bukan bermaksud mengultuskan presiden, kesan cari muka tak terhindarkan.
Anthony de Mello dalam buku Burung Berkicau, menulis cerita tanya jawab saat seleksi pegawai. Pertanyaannya, “Dua kali dua itu berapa?” Calon pertama menjawab, “Empat.” Sedangkan calon kedua menjawab, “Berapa saja, terserah Bapak.” Komentarnya, “Sikap calon kedua itulah yang amat dianjurkan, kalau Anda ingin mendapat kenaikan pangkat di setiap lembaga, baik yang sekuler maupun yang bersifat keagamaan.”
Setelah cerita itu ia menulis dialog antara dua orang filsuf. Aristippos mencibir Diogenes yang makan ubi sebagai santap malamnya. Aristippos berkata, “Kalau engkau mau belajar menghamba kepada raja, engkau tidak perlu lagi hidup dengan makan sampah seperti ubi.” Jawab Diogenes, “Jika engkau sudah belajar hidup dengan makan ubi, engkau tidak perlu menjilat raja.”
Asal bapak senang (ABS) merupakan obsesi kebanyakan bawahan yang tidak punya harga diri. Orang-orang di sekeliling penguasa sering mencari muka untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Karena itu guru-guru spiritual cenderung menghindar dari oknum birokrat yang feodalis, sewenang-wenang, dan korup. Seperti Dogen yang berguru pada Ju Ching di Tiongkok pulang ke Jepang (1227) dengan dibekali pesan agar jangan mendekati pembesar.
Dogen mengajar wali kaisar, Hoyo Tokiyori, namun ia menolak hadiah dari penguasa itu. Tak lama kemudian seorang muridnya menyerahkan sertifikat tanah, juga hadiah dari Hoyo Tokiyori. Sang guru mengembalikan surat itu, dan mengusir si murid. Ia mencela muridnya yang mengotori Jalan Buddha karena mengharapkan anugerah dari penguasa. Itulah sikap seorang biksu yang menjaga martabatnya sebagai petapa.
Para biksu/biksuni adalah guru yang memberi teladan bagaimana menjadi orang yang tahu diri dan punya harga diri. Mereka memelihara kesadaran, kebenaran. dan kesucian, sehingga patut dihormati. Di hari purnama bulan Oktober ini, para biksu/biksuni mengakhiri tirakatan musim hujan yang dijalaninya selama tiga bulan (vassa). Lewat upacara Kathina umat memberi sumbangan berupa jubah dan barang-barang yang dibutuhkan mereka untuk hidup sehari-hari. Hidup yang bersahaja.
Jakarta, Oktober 2010