Prioritas
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Seorang pelajar ingin lulus Ujian Nasional. Belajar akan didahulukannya ketimbang main games. Anak yang berbakti memilih untuk merawat ibunya yang sakit daripada menemani pacar di tempat hiburan. Setiap orang bisa mengambil keputusan untuk memilih apa yang paling baik menurutnya. Namun tidak selalu mudah untuk menentukan pilihan yang tepat.
Para ahli kesehatan masyarakat lebih suka jika anggaran negara mengutamakan pengembangan banyak puskesmas hingga ke segala pelosok. Sedang klinisi menghendaki pembangunan rumah sakit di kota-kota besar. Karena menghadapi keterbatasan dana dan sumber daya lainnya, mereka akan mempertimbangkan apa yang disebut prioritas, yang harus didahulukan dan diutamakan daripada yang lain.
Ketika pelayanan transportasi umum tidak diprioritaskan, semakin banyak orang memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi. Akibatnya kemacetan lalu-lintas tambah hari tambah menjadi. Ada banyak masalah lain yang dewasa ini juga perlu diprioritaskan untuk ditanggulangi, seperti banjir, pembuangan sampah, pengangguran, korupsi, mafia hukum, tindak kekerasan, teror bom, dan sebagainya.
Kepentingan Umum
Ada pemerintah dan wakil rakyat yang mengurus kepentingan orang banyak. Lembaga-lembaga negara berkewajiban menangani segala masalah tersebut, bukan justru menjadi bagian dari masalah. Para anggota parlemen tentu memahami benar apa yang harus dijadikan prioritas. Pantas dipertanyakan, kalau mereka bersikeras akan membangun sebuah gedung baru DPR dengan biaya sampai triliunan rupiah. Padahal masih begitu banyak rakyat yang miskin dan tidak mampu punya rumah. Tidakkah anggota parlemen harus mendahulukan kepentingan rakyat? Agaknya anggota dewan yang menyukai gaya hidup mewah, hedonis, lupa diri.
Orang yang memperhatikan kepentingan umum di samping kepentingan sendiri adalah yang terbaik. Kalaupun memperhatikan kepentingan sendiri terkait dengan mengembangkan dirinya agar menjadi sumber kebaikan dan pertolongan bagi orang lain (A. II, 96). Orang yang berbuat baik hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi tidak untuk orang lain, atau sebaliknya, dapat dibandingkan dengan kuntum teratai yang belum mekar. Sedangkan orang yang berbuat untuk kepentingan diri sendiri sekaligus pula untuk kepentingan pihak lain dapat diumpamakan sebagai bunga teratai yang mekar
Buddha memberi contoh, bagaimana mempertemukan segala kepentingan dengan membuang sikap otoriter. Ia mengajarkan kebebasan berpikir dan berpendapat. Acap kali Buddha bertanya, “Apa pendapatmu?” atau “Bagaimana pikiranmu? atau “Apa perlumu?” atau “Apa maumu?” Berbagai wacana yang tercatat dalam Kitab Suci Tripitaka dimulai dengan pertanyaan semacam itu.
Kebanyakan orang mengambil keputusan atau memilih sesuatu berdasar kepentingan dan sudut pandangnya masing-masing. Bagaimana pun mendahulukan kepentingan umum lebih diutamakan dan dihargai. Prioritas bukan soal selera, bukan ditentukan berdasar insting yang subjektif.
Rasio berperan memperhitungkan berbagai hal, menyangkut besarnya masalah, seberapa pentingnya dan kerentanan terhadap penanganan. Ada yang menghitung dampak, risiko, dan manfaat yang didapat, ketersediaan dana, sarana, dan sumber daya lain termasuk waktu. Menyangkut ranah publik, demi kepentingan umum, kriteria menentukan prioritas perlu dikomunikasikan secara terbuka. Semua ketentuan hukum dan opini masyarakat tidak diabaikan.
Yang Paling Penting
Leo Tolstoy mengungkapkan apa saja yang dinilai paling penting lewat ceritanya tentang Tiga Pertanyaan Kaisar. Pertanyaan pertama, kapan waktu yang paling penting? Kedua, siapa orang yang paling penting untuk dilayani? Ketiga, apa hal yang paling penting untuk dilakukan pada setiap saat? Thich Nhat Hanh dan Ajahn Brahm penulis buku-buku best seller mengutip karya Leo Tolstoy ini untuk menjelaskan bagaimana hidup berkesadaran menjadi solusi untuk mengatasi masalah.
Jawaban dari pertanyaan tersebut sebagai berikut. Waktu yang paling penting adalah saat ini. Orang yang paling penting adalah orang yang ada bersama kita, yang ada di hadapan kita, atau dekat dengan kita. Apa yang paling penting untuk dilakukan setiap waktu adalah membuat orang yang ada di hadapan kita bahagia.
Dengan kata lain kenyataan yang kita hadapi, yang harus kita sadari adalah saat ini di sini, yang sedang kita alami. Kita tidak sendiri, dan tentu harus memiliki kepedulian. Orang tidak benar-benar sadar ketika hadir di tengah sidang, tidak menyimak pada isi pembahasan, melainkan asyik dengan SMS menyangkut hal lain, misalnya. Kurang perhatian, kelengahan, atau tidak waspada, merupakan ciri dari orang yang tidak hidup berkesadaran.
Yang paling penting dan paling tepat bisa bersifat pragmatis. Apabila ada orang yang terluka kena anak panah beracun, ia harus segera mendapatkan pertolongan dokter. Namun bila si sakit mendahulukan persoalan siapa orang yang melukainya, dari mana ia berasal, dan sebagainya, serta ia menolak untuk diobati sebelum pertanyaannya terjawab, maka ia akan mati tanpa pernah tahu apa yang ingin diketahuinya. Ada hal-hal yang belum atau tidak terjawab, tetapi mengatasi penderitaan tidak boleh ditunda atau terabaikan. (M. I, 429)
Jakarta, April 2011