Raja Sekaligus Rakyat
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Raja mewariskan takhta kepada keturunannya. Sejarah mencatat bahwa takhta sering jadi rebutan. Di negara demokrasi jabatan kepala negara atau pemerintahan diperebutkan lewat pemilu. Tetapi pemilu tidak mengakhiri tradisi suksesi yang menghargai garis keturunan. Di India misalnya, Rajiv Gandhi dari pilot ganti kemudi, memasuki bidang politik menggantikan kakek dan ibunya. Korea Utara dan Singapura dapat dikatakan mempersiapkan putra mahkota.
Masyarakat tradisional memandang raja sebagai penjelmaan dewa atau dewa-raja. Golongan penguasa biasanya diperlakukan secara istimewa. Buddha Gotama juga keturunan penguasa atau kesatria. Namun dalam pandangan-Nya para raja dan penguasa tidaklah berbeda dari rakyat jelata, mengingat asalnya juga adalah manusia biasa. Kesatria disebut raja karena ia dicintai rakyat sehubungan dengan kewajibannya dan kepatuhan menjalankan kebajikan, hukum, dan keadilan (D. III, 93).
Pemimpin Visioner
Seorang kepala pemerintahan atau siapa saja yang menjadi pemimpin disebut visioner jika memiliki pandangan atau wawasan ke masa depan. Bukan masa depan dirinya sendiri, melainkan masa depan mereka yang dipimpinnya. Berbasis kesadaran, pemimpin visioner tidak menggunakan kekuasaan untuk melayani ambisi-ambisi pribadi.
Indonesia beruntung pernah memiliki seorang pemimpin visioner yang berkedudukan sebagai raja, tetapi lebih besar dari takhtanya. Almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX dilahirkan untuk menduduki takhta Yogya, tetapi ternyata ia lebih besar dari seorang raja Jawa. Ia adalah salah seorang pemimpin nasional, yang mengatasi segala suku bangsa dan golongan. Hampir tanpa cela, orang banyak mengenang kebesarannya. Penerusnya, Hamengku Bowono X mewarisi takhta, juga pemikiran dan sikap seorang raja yang sekaligus rakyat.
Brahma Sanam Kumara mengatakan, “Kesatria adalah yang terbaik di antara manusia yang mempertahankan garis keturunannya. Tetapi ia yang sempurna pengetahuan serta tindak-tanduknya adalah yang terbaik di antara para dewa dan manusia.” Buddha mengutip pernyataan itu ketika meluruskan pandangan Ambattha yang menyombongkan diri sebagai keturunan kasta brahmana. Ia menegaskan, “Dalam kesempurnaan pengetahuan dan tingkah laku tidak terdapat paham mengenai kelahiran, keturunan, serta suatu kebanggaan bahwa engkau sederajat dengan aku atau engkau tidak sederajat dengan aku.” (D. I, 99)
Penguasa dan jajarannya memimpin pemerintahan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Seorang pemimpin pada level mana pun diterima oleh mereka yang dipimpinnya tidak hanya karena bisa memberi perintah saja. Dia harus mampu membuat orang lain menjunjung, menghormati, dan mematuhinya. Dia bisa melayani, bukan hanya minta dilayani. Pemimpin yang bijaksana mampu memberi pelayanan yang baik dan memperoleh simpati dari masyarakat. Kata peribahasa, siapa tak bisa tersenyum, jangan buka toko. Kita juga dapat mengatakan, siapa tak bisa melayani, jangan jadi pemimpin.
Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Menyembah langit juga menyembah bumi. Dalam hubungan antar-manusia terdapat tatanan sosial yang mengatur bagaimana seseorang bersikap terhadap yang lain. Yang di bawah menghormati yang di atas. Sebaliknya, yang di atas menghormati yang di bawah. Yang memimpin dan yang dipimpin saling menghormati. Cara saling menghormati adalah memenuhi tanggung jawab, hak, dan kewajiban masing-masing serta memperlakukan satu sama lain dengan baik.
Sikap Menyembah
Agama-agama mengajarkan sikap menyembah yang dipraktikkan dalam hubungan vertikal. Manusia menyembah Tuhan. Agama Buddha juga menganjurkan sikap menyembah dalam hubungan horisontal. Sikap menyembah adalah tanda kerendahan hati dan kesediaan bertanggung jawab memenuhi kewajiban. Secara simbolis setiap penjuru alam disembah, dalam arti semua unsur semesta dihargai dan dipelihara, sehingga memberi perlindungan bagi manusia yang hidup di tengah jagat raya.
Sigala menyembah ke enam arah. Buddha menjelaskan maknanya. Menghormat ke timur berarti memenuhi kewajiban terhadap ayah-ibu, dan sebaliknya orangtua memenuhi kewajiban terhadap anak-anaknya. Menghormat ke selatan maksudnya memenuhi kewajiban terhadap guru, dan sebaliknya guru memenuhi kewajiban terhadap murid. Menghormat ke barat diartikan memenuhi kewajiban terhadap istri dan sebaliknya istri memenuhi kewajiban terhadap suami. Arah utara menyangkut kewajiban timbal balik antara sahabat, kerabat, atau relasi. Arah bawah mengenai kewajiban timbal-balik antara atasan atau pemberi kerja kepada bawahan atau karyawan. Sedangkan arah atas dihubungkan dengan kewajiban timbal balik antara umat dan petapa atau brahmana (D. III, 188-192).
Nasib baik mungkin memberi kesempatan kepada seseorang sehingga sekalipun kurang cakap dia berhasil menduduki suatu jabatan. Tetapi dia tidak akan berwibawa jika tidak bisa memenuhi tanggung jawab dan kewajibannya. Orang-orang akan menertawakan kebodohannya, atau bahkan menjungkalkannya. Rakyat dengan senang hati menjunjung dan rela tunduk pada perintah sang penguasa jika dengan itu kepentingannya sendiri terjaga. Atasan memiliki wibawa karena dapat menghormati dan mengayomi bawahannya, memberi keuntungan, kesejahteraan, kepuasan, dan rasa tenteram.
Jakarta, Desember 2010