Rasa Aman
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Begitu mendengar sirene dan kentungan tanda adanya ancaman bahaya, orang-orang akan segera lari untuk menghindari bencana. Menghadapi letusan Gunung Merapi penduduk di sekitarnya tidak bisa lain harus mengungsi ke tempat yang aman. Yang cepat-cepat lari akan selamat. Lari sambil berdoa, itu yang paling baik.
Mungkin saja ada orang yang tidak cepat-cepat pergi. Ia bergeming, tenggelam dalam doa. Tentu saja ia percaya bahwa doa akan menyelamatkannya. Dengan itu ia merasa aman, walau akhirnya tidak sempat menyelamatkan diri. Iman membuat seseorang merasa aman. Tetapi rasa aman tidak dengan sendirinya sama dengan menjadi aman.
Agama dan Bencana
Sedikit atau banyak pandangan dan sikap keagamaan memengaruhi rasa aman seseorang. Apa benar bencana berasal dari Tuhan yang sedang marah dan menghukum orang-orang yang berdosa? Kalau begitu, para korban menjadi pantas menderita menanggung azab yang tidak mungkin bisa dihindarinya. Ke mana pun ia pergi, tidak ada tempat yang aman baginya. Rasa aman mungkin bisa diperoleh dengan berdoa dan tentu saja harus bertobat.
Karma (perbuatan) memang terkait dengan tanggung jawab, ada yang bersifat individual, ada yang bersifat kolektif. “Tidak di langit, atau di tengah samudra, tidak pula di dalam gua di gunung-gunung, dapat ditemukan tempat di jagat ini bagi seseorang untuk menyembunyikan diri terhadap akibat dari perbuatan jahatnya.” (Dhp. 127). Tetapi karma sesungguhnya bukan pembalasan, melainkan sebuah proses sebab-akibat. Manusia punya kesempatan untuk mengubahnya. Di sinilah agama berperan, membebaskan manusia dari penderitaan. Agama bukan menakuti, melainkan memberi rasa aman.
Di antara korban bencana, dapat ditemukan orang-orang yang mungkin tidak berdosa, bayi misalnya. Berdasar hukum karma, dapat dijelaskan bahwa hidup tidak hanya sekali, dan si korban menanggung akibat karma dari kehidupan sebelumnya. Pandangan ini tidak menempatkan Tuhan sebagai sosok yang tanpa alasan, sesuka hati menentukan nasib manusia. Tidak diperlukan dalih bahwa orang baik menjadi korban karena Tuhan menjadikannya sebagai alat untuk mengingatkan atau mendidik orang lain. Atau dugaan bahwa Tuhan justru sedang menunjukkan kasih-Nya dengan memberi cobaan dan ujian agar manusia menjadi lebih kuat dan mendapatkan sesuatu yang lebih baik.
Kita percaya Tuhan itu Maha Esa. Di sisi lain, karena ada banyak agama, banyak orang yang merasa perlu membedakan Tuhan agama yang satu dengan yang lain. Sering terjadi pertikaian karenanya. Tuhanku bukan Tuhanmu. Sepertinya Tuhanku tidak suka pada orang-orang yang tidak seagama denganku. Dengan itu sikap memusuhi bahkan menzalimi orang lain yang berbeda agama mendapatkan pembenaran.
Lalu Tuhan siapa yang marah atau menunjukkan cintanya pada saat terjadi musibah? Bencana datang melintasi batas-batas agama, suku, gender, status sosial dan ekonomi. Bahkan sepertinya tidak membedakan orang baik atau jahat. Tuhan pun menolong setiap korban melalui para relawan. Mereka memberi pertolongan tanpa membedakan korban, apakah ‘dibenci atau disukai Tuhan’. Tidak ada pertanyaan, apa agamamu? Yang ada hanya cinta dan belas kasih. Solidaritas yang tidak diskriminatif ini memberi rasa aman bagi siapa saja.
Jelas, kemanusiaan mengatasi segalanya. Mudah dimengerti kalau cukup banyak orang yang sepertinya mengabaikan rasa aman bagi dirinya sendiri, menempuh bahaya untuk menolong para korban. Begitu pula para petugas pengamatan Gunung Merapi tidak turun gunung hingga detik terakhir walau menghadapi ancaman awan panas.
Menjaga Diri
Banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai, dan letusan Merapi, seperti juga bencana alam lain, merupakan fenomena alam. Buddha mengingatkan, “Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya.” (Dhp. 277).Dunia dan isinya senantiasa dalam keadaan bergerak atau berubah (anicca). Siklus pembentukan, berkembang, dan kehancuran selalu berulang. Ada yang terjadi dalam skala kecil, ada yang besar.
“Segala sesuatu yang berkondisi tidak memuaskan adanya.” (Dhp. 278). Kita merupakan sasaran dari penderitaan (dukkha), karena tergantung pada kondisi. Perubahan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan kita akan menimbulkan ketidakpuasan. Ada kondisi eksternal, ada pula kondisi internal yang saling bergantungan. Masalahnya, kita harus mawas diri, bencana bahkan kiamat bisa terjadi akibat ulah manusia sendiri.
Para korban yang terkena semburan material vulkanis atau tertimpa reruntuhan gempa merasakan penderitaan alami. Sedangkan mereka yang celaka karena panik, atau mengalami masalah akibat kacaunya manajemen bantuan bagi pengungsi, menghadapi penderitaan yang diciptakan oleh manusia sendiri.
Orang yang tak berdaya akan merasa aman dengan menaruh kepercayaan pada orang lain yang membantu dan melindunginya. Orang yang percaya diri merasa aman karena punya kemampuan untuk menjaga diri sendiri. Buddha memberi petunjuk bahwa dengan menjaga diri sendiri, seseorang juga sekaligus menjaga orang lain (S. V, 168).
Jakarta, November 2010