Rasa Kebangsaan
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Tidak seorang pun manusia memilih untuk dilahirkan sebagai keturunan jenis ras tertentu yang kemudian menjadi ikatan primordial baginya. Seorang anak semula belum tahu dan tidak membeda-bedakan keturunan bangsa, sampai kemudian ia diajar untuk membuat perbedaan. Masalah perbedaan suku dan ras, seperti juga agama dan antargolongan selalu merupakan potensi konflik ketika yang satu merendahkan atau memojokkan yang lain.
Membedakan keturunan asli dan tidak asli terkait dengan prasangka sosial sudah sejak dulu ditemukan di mana-mana. Jika keaslian darah yang mengalir dalam tubuh seseorang menentukan kehormatan dan kedudukannya, manusia akan berusaha untuk menjaga kemurniannya. Seperti anak-anak Raja Okkaka di lereng gunung Himalaya mempertahankan keaslian atau kemurnian keturunannya dengan saling menikahi saudara sendiri. Mereka adalah nenelk moyang suku Sakya dan Buddha Gotama berasal dari keturunan suku itu.
Seorang pemuda dari keluarga brahmana yang terkemuka, Ambattha namanya, memandang rendah suku Sakya. Dia tidak berbeda dari orang-orang rasialis di masa kini. Sampai kemudian Buddha Gotama membuatnya sadar. Ambattha keturunan Kanhayana yang ternyata adalah anak dari salah satu pelayan suku Sakya. Raja Okkaka mempunyai pelayan wanita yang bernama Disa. Ia melahirkan seorang anak berkulit hitam, bernama Kanha, yang pernah meminta kepada ibunya agar dimandikan hingga bersih dari apa yang dinamakan kotoran hitam itu. Orang-orang menyebutnya “setan” atau “makhluk hitam (kanha)”. Setelah dewasa Kanha terkenal sebagai resi yang sakti dan berhasil memaksa Raja Okkaka untuk menyerahkan seorang putri yang kemudian dikawininya. Ia adalah nenek moyang suku Kanhayana.[1]
Rabindranath Tagore berkisah tentang Gora yang sejak bayi dipungut oleh seorang wanita brahmana. Gora dibesarkan untuk menjadi seorang penganut Hindu yang sangat yakin bahwa apa yang dinamakan India itu tidak lain dari Hinduisme. Dia mempelajari cinta dari agamanya, tetapi tidak untuk golongan agama dan kepercayaan lain. Ketika Gora tahu kemudian bahwa ia dulunya adalah seorang bayi berdarah Irlandia, hilang sudah kesombongannya. Ia berubah. Lenyap prasangkanya pada golongan lain. Tiada lagi ia mempersoalkan perbedaan kasta, tidak lagi mempertentangkan Hindu dengan agama lain. Setelah itu ia benar-benar menjadi seorang India.
Dalam buku Perjalanan Anak Bangsa, dapat kita ikuti tulisan Tongki, mengenai pribumi yang bukan warga negara. Ia dilahirkan di Indonesia, dari ayah ibu yang seratus persen berdarah pribumi. Ayahnya keturunan Jawa asli, tetapi karena menjadi anak angkat seorang Cina totok dan menolak menjadi WNI ketika pemilihan warga negara, maka keluarganya pun menjadi WNA. Sedangkan ibunya Sunda asli yang semula bekerja sebagai tukang jemur aci. Tongki mengeluh karena perlakuan diskriminasi. Ia tidak dianggap pribumi, tetapi di kalangan Cina pun tidak diakui. “Apakah aku harus membuat suku bangsa sendiri?” demikian tanyanya.
Orang-orang seperti Soe Hok Gie tidak merasa perlu untuk mengganti namanya. Tetapi ia begitu yakin bahwa namanya tidak mengurangi sedikit pun rasa keindonesiannya.
Ia tidak akan menyangkal darah kecinaannya, namun sedikit pun tidak diragukan bahwa ia sepenuhnya adalah pemuda Indonesia. Secara fisik, dalam tubuh setiap orang mengalir darah leluhurnya, namun dia memiliki diri dan hidupnya sendiri. “Bukan seorang ibu, ayah, atau pun sanak keluarga lain yang menentukan, pikiran yang diarahkan dengan baik yang akan mengangkat kemuliaan seseorang,” demikian sabda Buddha.[2] Dalam ajaran Buddha, segala sesuatu itu didahului oleh pikiran, dipimpin dan dibentuk oleh pikiran.
Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa, dan itulah yang menjadi latar belakang Sumpah Pemuda. Menjadi Indonesia bukan menjadi suku yang satu dan mengabaikan suku yang lain. Rasa kesukuan itu cenderung untuk kembali jika tidak disertai kebersamaan. “Jangan hanya menyukai dahan yang indah, tetap cintailah seluruh pohon,” pesan Krishnamurti dalam syair Nyanyian Hidupnya. Apabila mencintai seluruh pohon, dengan sendirinya akan mencintai dahannya.
Untuk memelihara persatuan dan mempertahankan kebersamaan, Buddha memberi petunjuk berupa Enam Faktor yang membawa Keharmonisan (Saraniya-dhamma). Keenam faktor itu adalah: 1) cinta kasih diwujudkan dalam perbuatan, misal membantu orang-orang yang membutuhkan; 2) cinta kasih diwujudkan dalam tutur kata, termasuk memberi petunjuk dan nasihat; 3) cinta kasih diwujudkan dalam pikiran dan pemikiran, dengan memiliki iktikad baik terhadap semua orang; 4) memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menikmati keuntungan atau apa yang diperoleh secara benar; 5) bersikap demikian rupa sehingga tidak melukai perasaan atau menimbulkan kejengkelan pihak lain; 6) memelihara pandangan yang bersih, tidak mempertengkarkan perbedaan pendapat secara pribadi atau pun terbuka.[3]
31 Oktober 1990
[1] Digha Nikaya 3
[2] Dhammapada 43
[3] Anguttara Nikaya VI, 2:11