Rasa Memiliki Tanpa Mempunyai
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Orang tidak akan sembarang membuang sampah di rumahnya. Tetapi ada banyak orang yang melempar barang bekas di mana saja di tempat-tempat umum, sekalipun tersedia tempat-tempat sampah. Di rumah kepunyaan sendiri, orang boleh berbuat sekehendak hati, namun rasa memiliki menimbulkan tanggung jawab sehingga ia memilih untuk berbuat yang terbaik. Sedangkan di tempat umum, tiadanya rasa memiliki ini membuat kebanyakan prasarana umum telantar dan cepat rusak.
Di pihak lain ada orang yang merasa berkuasa di pangkalan kendaraan umum atau di pasar, lalu memeras setoran. Orang yang menguasai jalan kampung memungut uang parkir untuk kantong sendiri. Orang yang menyerobot tanah orang lain atau tanah negara tentu karena merasa memiliki. Seperti juga direktur bank yang minggat membawa uang nasabah. Ini bukan contoh rasa memiliki yang bersifat positif, tetapi merupakan perbuatan mengangkangi, menguasai sendiri, mengambil kepunyaan bersama atau orang lain untuk diri sendiri.
Khujjuttara adalah seorang pesuruh. Ia mendapat tugas untuk membeli bunga seharga delapan kahapana. Bunga itu diperolehnya dengan harga empat kahapana Bisa jadi rasa memiliki mendorongnya untuk mendapatkan bunga yang terbaik dengan harga yang termurah. Namun ia mengambil empat kahapana sisanya untuk kantongnya sendiri. Majikannya tidak pernah berpikir buruk, dan Khujjuttara menjadi terbiasa melakukannya setiap hari. Ia merasa berhak untuk memiliki kelebihan uang itu. Sekali waktu tukang bunga mengajaknya untuk mendengarkan khotbah Buddha. Setelah itu ia berubah pikiran. Ia menyadari bahwa seharusnya ia tidak berhak atas sisa uang empat kahapana itu.
Di hari berikutnya semua uang majikannya dibelikan bunga, Nyonya majikannya menjadi heran, apakah suaminya memberi uang dua kali lebih banyak dari biasanya? Tidak, jawab pembantu tersebut. Ia berterus terang bahwa di hari-hari sebelumnya telah menggelapkan empat kahapana. Setelah mendengar khotbah Buddha ia berjanji akan mengubah kelakuannya. Barangkali banyak majikan menjadi marah dan minta agar uang yang telah dicuri sebelumnya itu dikembalikan. Tetapi majikan ini tidak demikian. Ia memerintahkan pesuruhnya untuk mengajarkan apa yang telah didengarnya dari Buddha. Di kemudian hari Khujjuttara terkenal sebagai salah seorang murid Buddha yang terkemuka.[1]
Orang yang mempunyai anak tidak selalu merasa memiliki anak. Merasa memiliki anak itu harus berarti mencintainya, menaruh perhatian, dan memelihara si anak dengan penuh tanggung jawab. Sebaliknya anak yang tidak mungkin tidak mempunyai orangtua, tidak juga dengan sendirinya merasa memiliki orangtua. Kembalinya anak yang hilang, demikian diilustrasikan oleh Buddha, dengan mengembalikan rasa memiliki tanpa harus mempunyai. Orangtua tidak membeli cinta anak dengan memanjakannya, tetapi mendidiknya secara bertahap agar menjadi orang yang berguna. Anak itu dilatih untuk mengelola kekayaan orangtuanya tanpa keinginan untuk mempunyainya.[2]
“Aku memiliki anak-anak, aku memiliki kekayaan, demikianlah pikiran yang bodoh. Apabila dirinya sendiri bukan menjadi miliknya, bagaimana mungkin anak-anak dan kekayaan itu merupakan miliknya?”[3]Berpikir memiliki dalam belenggu keakuan dan cengkeraman keserakahan memang adalah kebodohan. Semua orang tidak menyangkal, Tuhan-lah yang empunya dunia beserta segala isinya. Sebagaimana dilukiskan oleh Christmas Humpreys dalam The Buddhist Way of Life. Setiap titik air di samudra bersifat basah, tapi apakah titik air itu kekal dan memiliki sendiri kebasahannya? Setiap lampu listrik yang menyala di ruangan, adakah memiliki sendiri listrik yang membuatnya bersinar? Engkau dan aku menghayati hidup yang sama, tetapi kita tidak memilikinya. Yang ada dalam diriku, yang berasal dari Yang Esa, bukan milikku. Yang menjadi milikku adalah yang bisa berubah, musnah, dan menderita.
Rasa memiliki tidaklah berarti harus mempunyai. Suatu perusahaan dimiliki oleh seseorang atau banyak orang pemegang saham, sedangkan para manajer dan pekerja digaji untuk mengurusnya dengan baik tanpa harus memiliki. Tetapi mereka harus mempunyai rasa memiliki dalam arti bertanggung jawab dan melakukan yang terbaik seolah-olah perusahaan itu miliknya sendiri. Bila seorang pegawai mulai serakah, merasa menjadi pemilik dan berbuat sebagai pemilik, ia sudah mengangkangi dan mengambil apa yang tidak menjadi haknya. Itulah yang dinamakan mencuri atau korupsi.
Seorang pemimpin partai dengan rasa memiliki yang sangat, berjuang mati-matian untuk menyukseskan kepemimpinannya. Tentunya keinginannya tidak lain dari menjadikan partai yang bersangkutan besar dan kuat. Partai itu bukan miliknya sendiri. Maka jabatan pemimpin tidaklah untuk dikangkangi. Ia akan menyerahkan kepemimpinannya kepada orang lain yang memberi harapan lebih baik.
Rasa memiliki itu diperlukan sebagai kesadaran yang lebih mengingatkan pada kewajiban ketimbang sebagai belenggu keakuan yang cenderung serakah. Memiliki itu seharusnya berarti mampu memberi, bukan menguasai. Seperti juga halnya cinta, terutama untuk memberi, bukan menerima atau mengambil.
6 September 1989
[1] Dhammapada Atthakatha II
[2] Saddharma Pundarika IV
[3] Dhammapada 62