Reinterpretasi Sinkretisme
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Sinkretisme telah mengaburkan bentuk asal dan ekspresi agama Buddha. Buddha yang diarcakan dan dipersamakan dengan dewa-dewa memberi kesan agamanya pun tak berbeda dari pemujaan berhala atau kepercayaan kepada dewa-dewa. Padahal apa yang diajarkan oleh Buddha, salah satunya yang membuat agama ini berbeda dari agama sebelumnya, justru penolakan terhadap praktik semacam itu.
Hingga beberapa abad setelah Buddha mangkat, Buddha yang bersifat transenden tidak digambarkan sebagai manusia. Arca Buddha tertua berasal dari Peshwar, buatan tahun 78 M. Agaknya patung Buddha mula-mula dibuat oleh seniman Yunani yang berpengaruh di Gandhara, India Barat Laut. Coraknya asing tidak sesuai dengan citra pribumi India. Bersamaan dengan itu muncul karya seni dari Mathura, di India Tengah, yang memperlihatkan semangat India sendiri.
Konon seorang guru, bernama Upagupta, meyakinkan bahwa sekalipun iblis (mara) dapat menyamar sebagai bayangan Buddha, tetapi bagi orang yang dipenuhi dengan keyakinan, angan-angannya akan semakin kuat tertuju kepada Buddha, bukan kepada iblis itu. Menurut kitab Saddharmapundarika Sutra orang dapat mengembangkan angan-angan tentang Buddha, lalu menggambarkannya untuk memuliakan Buddha. Praktik semacam ini memudahkan orang yang terbatas kemampuan inteligensinya untuk memasuki jalan yang diajarkan oleh Buddha. Dalam kitab yang lebih tua, Mahaparinibbana Sutta, dinyatakan bahwa dengan menghormati peninggalan Buddha akan timbul perasaan tenteram dan mendorong seorang umat untuk melaksanakan ajaran Buddha. Sebenarnya cara yang paling tepat untuk memuliakan Buddha adalah berpegang teguh dan hidup sesuai dengan Dharma yang diajarkan oleh Buddha.
Di mana pun di muka bumi ini dapat ditemukan hubungan yang erat antara agama dan kebudayaan. Kebudayaan termasuk munculnya arca dan segala bentuk ritual seharusnya dipandang sebagai kulit luar atau aspek duniawi dari agama Buddha. Maka tidak mengherankan, di satu pihak Kern menyatakan ada percampuran antara agama Buddha dan Siwa, di pihak lain ia pun mengakui bahwa apa yang dinamakan percampuran itu bukanlah peleburan. Kedua agama itu tetap dibedakan satu sama lain. Menurut Edi Sedyawati, apa yang dimaksudkan percampuran (vermenging) oleh Kern, dalam pembahasan Krom, Rassers, dan Zoetmulder dinamakan sinkretisme atau blending (perpaduan, peleburan). Istilah ini oleh beberapa sarjana lain dianggap menyesatkan, karena dengan munculnya data lebih banyak mengenai kebudayaan kuna Jawa Timur, ternyata agama Siwa dan Buddha tidak berbaur dalam keseluruhan sistemnya. Pigeaud mengusulkan istilah pararellism dan Gonda menamakannya coalition.
Buddha tidak melihat dewa itu sebagai makhluk yang berkuasa atas nasib manusia atau yang memberi berkah kepada pemujanya. Pernah seorang pemuda brahmana, Sangarava namanya, bertanya apakah ada yang disebut dewa itu. Buddha menjelaskan bahwa menghadapi pertanyaan semacam ini, orang akan menjawab “Dewa-dewa itu ada” dan dapat pula menjawab “Tentu setahuku dewa-dewa itu ada”, lalu kesimpulannya yakni dewa-dewa itu ada. Brahmana itu tercengang, apakah ada dewa, bisa bukan demikian, apakah tidak ada dewa, juga bukan demikian. Ujar Buddha, “Orang-orang di dunia ini, berkeras sepakat bahwa dewa itu ada.”[1] Tidak disangkal beberapa dewa yang sama dikenal baik dalam agama Hindu maupun Buddha. Brahma dan Indra (Sakka) misalnya sering disebut dalam kitab suci agama Buddha. Tetapi jelas Buddha bukanlah dewa. Ia adalah Guru para dewa dan manusia.
Buddha historis adalah seorang manusia. Buddha sendiri menyatakan dirinya bukan dewa atau gandharva atau yakkha atau manusia. “Kecenderungan dengan adanya noda batin menghasilkan penjelmaan sebagai dewa, makhluk halus atau gandharva, atau mencapai keadaan yakkha, atau kelahiran sebagai manusia. Noda semacam itu pada diriku telah habis terbasmi, hancur dan tersapu bersih. Bagaikan teratai yang indah, yang tidak terkena noda air. Aku tidak tercemar oleh dunia: karenanya brahmana, Aku adalah Buddha.”[2]Keberadaan Buddha transendental berbeda dari wujud keberadaan yang dikenal oleh manusia, dan tidak dapat dijelaskan dalam pengertian orang-orang yang dicengkeram noda batin.
Anthony de Mello SJ yang mendalami berbagai tradisi mistis di luar agamanya, mengemukakan bahwa dengan menjadi dewasa, orang meniadakan kepercayaan yang didapat saat dia masih merupakan seorang bayi yang ketakutan. Pada suatu ketika sang Guru ditanya oleh muridnya, “Buddha itu apa?” Ia menjawab, “Budi, itulah Buddha.” Di hari lain ia ditanya soal yang sama dan jawabnya, “Tidak ada budi. Tidak ada Buddha.” Tentu saja muridnya menyanggah, “Tetapi, dulu engkau mengatakan: Budi, itulah Buddha.” Maka jawab sang Guru, “Itu dimaksudkan agar si bayi berhenti menangis. Jika tangisnya sudah berhenti, aku berkata: Tidak ada budi. Tidak ada Buddha.”
Pada bulan Pebruari ini, di saat bulan purnama, perayaaan Magha Puja mengingatkan kembali peristiwa seribu dua ratus lima puluh orang suci (arahat) yang kembali menemui Buddha tanpa didahului perjanjian. Semangat kembali kepada Sang Guru bagi kita sekarang ini berarti melakukan reinterpretasi, menelaah dan memperbaharui makna ajaran secara benar.
14 Februari 1920
[1] Majjhima Nikaya 100
[2] Anguttara Nikaya IV, 4;36