Rekaman Ingatan
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Serangan 11 September 2001 yang menghancurkan gedung kembar World Trade Center di Amerika Serikat entah sampai kapan tidak akan terlupakan. Keterangan resmi pemerintah AS hanyalah sebuah versi, yang memberi alasan pembenaran untuk melakukan kekerasan melawan terorisme di seluruh dunia. Versi-versi kontroversi muncul, memperdebatkan skenario dan konspirasi. Semuanya dilatarbelakangi perbedaan kepentingan.
Indonesia pun sampai sekarang menghadapi rentetan kejadian terorisme. Yang paling menghebohkan tragedi bom Bali 12 Oktober 2002 dengan korban meninggal kebanyakan warga negara Australia. Selain terorisme kita tidak mudah melupakan berbagai tragedi kemanusiaan berupa pembunuhan massal.
Rekayasa Sejarah
Setiap tanggal 30 September kita diingatkan pada pembunuhan enam jendral yang disebut sebagai percobaan kudeta oleh PKI. Hanya dalam waktu sehari usaha ini berhasil digagalkan. Kemudian PKI ditumpas habis. Di akhir 1965, diduga lebih dari lima ratus ribu orang pendukungnya terbunuh dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan hampir tanpa perlawanan.
Konon PKI akan mengubah dasar negara Pancasila. Usahanya gagal berkat kekuatan kesadaran untuk mempertahankan Pancasila. Karena itu tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Apa yang sebenarnya terjadi masih menjadi perdebatan. Seringkali sejarah ditulis oleh sang pemenang.
Penulisan sejarah Indonesia tak terhindarkan dari manipulasi politik. Upaya ini dilakukan pemerintah Orde Baru sejak awal berdirinya sampai jatuhnya rezim Soeharto. Penulisan sejarah berdasarkan perspektif kekuasaan cenderung mengaburkan fakta, memojokkan pihak yang berseberangan, dan mempersempit sudut pandang. Padahal sejarah bukan kisah fiktif atau rekayasa.
Begitu kepemimpinan Soeharto berakhir, keterbukaan menyadarkan banyak orang atas kemungkinan rekayasa penguasa. Peringatan seremonial Hari Kesaktian Pancasila tidak lagi dilaksanakan pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya sempat sekali memperingatinya, tidak berlanjut di tahun-tahun kemudian.
Didasari oleh kebebasan berpikir dan sikap kritis, penyelidikan atau penelitian akan membuka selubung misteri yang menyelimuti realitas. Tanpa terjebak dalam skeptisisme, Buddha mengajarkan untuk tidak lekas percaya, bahkan pada apa yang dianggap sesuai dengan logika atau penalaran (A. I, 189). Cara ini juga digunakan untuk memahami agama, ajaran dan kesejarahannya. Kitab Suci tidak ditulis sendiri oleh setiap pendiri agama. Penulisan kitab secara utuh baru terjadi setelah sang nabi wafat.
Ajaran Buddha misalnya diwariskan turun-temurun secara lisan, baru ditulis lengkap beberapa abad kemudian. Memang ada sejumlah orang yang memiliki kemampuan menghafal. Guiness’ Book of World Record 1986 mencatat Sayadaw Mingun sebagai manusia dengan ingatan terdahsyat di dunia. Biksu Myanmar ini (meninggal tahun 1993) mampu menghafal Tripitaka Pali setebal 11 kali Injil. Dua dari sekian penghafal kitab suci (Tipitakadhara) pernah hadir di Indonesia (2006).
Ingatan Kolektif
Orde Baru melegitimasi kesaktian Pancasila, namun sejak 1 Juni 1970 meniadakan peringatan hari lahir Pancasila, sepertinya mengeliminasi peran Soekarno. Bung Karno mengambil istilah Pancasila dari agama Buddha, yang sudah dikenal di Nusantara sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit. Sila adalah moralitas menyangkut pantangan membunuh, mencuri, berzina, berdusta dan bermabuk-mabukan.
Sedangkan rumusan Pancasila sebagai dasar negara merupakan ingatan kolektif akan nilai-nilai yang digali dari khazanah kebudayaan bangsa. Bangsa Indonesia mayoritas Muslim, sehingga tidak diragukan kalau Pancasila memuat nilai-nilai universal agama Islam. Hanya saja stigma buruk di masa Orde Baru yang mengeramatkan Pancasila menjadi momok bagi penentangnya. Pancasila belakangan ini terabaikan.
Kemampuan untuk mengambil sudut pandang orang lain dan untuk menempatkan diri ke dalam posisi orang lain menghadirkan kesadaran yang memelihara objektivitas. Objektivitas diperlukan tidak hanya menyangkut fakta yang dianggap sebagai kebenaran, namun juga dalam sikap dari orang yang mencarinya. Buddha mematahkan otoritas dan monopoli seseorang atau segolongan orang atas kebenaran (M. II, 171).
Setiap orang memiliki ingatan mengenai apa yang telah diketahui dan dialami. Daya ingat ini dapat menurun dan lenyap akibat fisiologis berupa terjadinya defisit fungsi otak. Ingatan menyangkut kesadaran. Kesadaran pikiran kita membuat kita selalu berada pada saat ini dan melepaskan keterikatan pada masa lalu ataupun masa mendatang. Tetapi di luar kesadaran pikiran, bawah sadar kita, kesadaran terpendam (alaya atau bhavanga), diam-diam bekerja memengaruhi, merencana hingga memutuskan. Misal mengenai penilaian tentang keindahan, perasaan suka dan tidak suka. Kesadaran individu ini juga dibentuk oleh kesadaran kolektif.
Daya ingat sendiri dapat berubah karena rekaman pengalaman baru menghapus ingatan lama. Bawah sadar kita menyimpan segala informasi sebagai benih. Benih dapat tumbuh, berproses atau mengalami transformasi. Benih kedengkian dapat dilemahkan dan energinya dapat diubah menjadi energi cinta kasih. Benih cinta dipupuk dan disirami agar tumbuh sehat dan kuat. Kotoran atau sampah diubah menjadi pupuk yang menyuburkan tanaman dan menghasilkan bunga dan buah. Proses ini menandai keinsyafan kolektif.
Jakarta, September 2010