Sahabat Orang Melarat
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Anathapindika, kerabat Raja Bimbisara, adalah seorang bankir menurut ukuran masa kini. Ia mengincar sebidang tanah milik Jeta di Savatthi. Sedangkan Jeta tidak ingin menjual tanahnya. Mungkin banyak orang sekarang yang malang karena rumah dan tanahnya dibebaskan dengan setengah paksa. Pemilik tanah harus mau menerima harga yang ditetapkan sepihak. Pengusaha kaya bisa membayar murah dengan bantuan oknum tertentu.
Namun tidak demikian halnya nasib Jeta. Tanahnya dihargai tinggi sekali: sepuluh juta uang emas. Hanya saja ia belum mau melepaskannya. Transaksi akhirnya disetujui senilai uang emas yang menutupi seluruh bidang tanah itu. Dengan senang hati Anathapindika menyuruh pegawainya untuk mengeluarkan uang emas dari gudang hartanya dan menutupi lahan itu dengan uang emas. Menjelang semua permukaan tanah akan tertutup dengan mata uang emas, tiba-tiba Jeta minta agar pekerjaan itu dihentikan. Ia menginginkan agar sisa tanah yang belum tertutup uang emas itu dihitung sebagai bagian sahamnya.
Untuk apa tanah itu dibeli oleh Anathapindika? Tanah itu disumbangkan kepada Buddha. Ketika ia mengundang Buddha untuk melewatkan vassa (musim hujan) di Savatthi, Buddha menyetujui dengan mengatakan bahwa seorang Buddha menyukai tempat yang sunyi. Kawasan tanah emas itu menjadi mahal karena harus tetap sunyi, bukan sebagai lahan ekonomi yang menjadi pusat bisnis atau komersial. Di atas tanah itu didirikan sebuah wihara besar dan megah. Di sana selama sembilan belas vassa, khususnya pada waktu berusia lanjut, Buddha menetap dan memberi khotbah yang terbanyak. Reruntuhan dari tempat yang dikenal sebagai Jetavanaram itu kini masih dapat dilihat di Sahet-mahet, Nepal Selatan.
Anathapindika mulanya bersama Sudatta. Ia memang dilahirkan untuk menjadi orang kaya, yang memiliki kelebihan dan mampu memberi. Sejak kecil ia senang membagikan apa saja yang dipunyainya kepada orang lain, memberikan apa saja yang diminta oleh orang lain. Orangtuanya merasa khawatir jangan-jangan ia akan membuat ludes semua harta miliknya. Maka kegiatannya di luar rumah dibatasi. Namun sifat Sudatta di kemudian hari tidak berubah. Banyak orang memuja Buddha dengan harapan akan menjadi lebih kaya. Sedangkan orang ini menghabiskan kekayaannya dalam pengabdian kepada Buddha tanpa khawatir menjadi kurang kaya. Ia memberi dan memberi, menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan, sehingga dinamakan Anathapindika, pemberi makan orang yang melarat.
Di antara wanita pengikut Buddha, terdapat pula orang yang sebanding dengan Anathapindika. Ia adalah Visakha. Wanita ini memiliki perhiasan Mahalatapasadhana yang sangat berharga. Sekali peristiwa ia membuka perhiasan yang dipakainya sebelum memasuki wihara. Barang berharga itu lupa dipakainya kembali pada waktu pulang. Ketika ia akan mengambilnya kemudian, perhiasan itu telah disimpan oleh Ananda di ruang dalam wihara. Visakha pun berniat untuk menjual perhiasan itu dan menyumbangkan hasilnya untuk kepentingan kegiatan agama. Namun tidak seorang pun yang mampu membelinya dengan harga yang pantas. Ketika itu Visakha memutuskan bahwa ia sendiri yang akan membeli perhiasan tersebut. Mungkin tidak ada duanya orang seperti dia, yang membeli barang miliknya sendiri untuk didermakan.
Sepanjang hidupnya Visakha mengabdi kepada Buddha, menyumbangkan pakaian, makanan, obat-obatan kepada para rahib dan orang-orang yang membutuhkan. Buddha adalah sahabat bahkan pelindung orang papa. Seorang sahabat itu harus suka menolong, sependeritaan sepenanggungan di waktu susah atau pun senang, memberi nasihat yang baik, dan selalu memperhatikan keadaan temannya. Sebagai sahabat yang suka menolong, kalau dapat ia akan memberi bantuan dua kali lipat dari apa yang menjadi kebutuhan.[1]
Banyak orang kaya yang takut berteman dengan orang miskin. Ananthapindika dan Visakha hanya beberapa di antara orang-orang kaya yang menjadi sahabat orang melarat. Di Karachi ada Abdul Sattar Edhi, penerima hadiah Magsaysay di tahun 1986, yang menjadi sahabat orang melarat. Ia memerlukan belanja tahunan hingga tiga juta dolar AS untuk mengelola sekitar 50 panti papa yang tersebar di seluruh Pakistan dan mengoperasikan 112 mobil ambulans. Yayasannya sudah memberi perumahan untuk 40.000 orang tunawisma, mengadopsi 1.000 orang anak, mengubur 18.000 jenazah, dan menolong ribuan korban narkotika. Dapurnya setiap hari menyediakan makanan cuma-cuma bagi 5.000 orang papa. Ia mendapat bantuan tenaga relawan dan memperoleh sumbangan dari orang-orang miskin, banyak di antaranya orang yang pernah mendapatkan bantuannya.
Di Vancouver, Stephen Sander yang asalnya Sukhwant Singh yang melarat dari Delhi, mengibahkan 23 gedung apartemen mewah yang dimilikinya kepada yayasan Consciousness International Foundation yang akan mendapatkan uang sewa. Dana yang terkumpul dipakai untuk membiayai proyek-proyek sosial. Stephen Sander tidak akan lupa dengan kemelaratannya di masa muda, dan ia tentu tidak ingin kembali menjadi miskin. Tetapi ia tetap hidup cukup sederhana.
Pengikut Buddha yang menjadi rahib melepaskan semua ikatan pemilikan, sehingga dalam hal materi mereka tidak berbeda dari orang-orang yang miskin, sekalipun seorang rahib tidak merasakan dirinya melarat. Para rahib seharusnya dengan mudah menempatkan diri sebagai sahabat orang-orang miskin. Sahabat orang papa yang sangat dikagumi dunia kini adalah Ibu Theresa, penganut Katolik, yang hidup sebagai rahib juga.
20 Juni 1990
[1] Digha Nikaya 31