Sang Pemimpin yang Bersahaja
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Masyarakat tradisional mengakui raja sebagai penjelmaan dewa atau perwujudan kehendak Tuhan. Bawahan raja, rakyat, dan seisi negerinya adalah taklukan sekaligus menjadi milik raja. Seorang anak raja dilahirkan untuk menjadi raja pula. Darah kebangsawanan menunjukkan hak yang diperoleh sejak lahir untuk menerima kehormatan feodalistis itu.
Namun Siddhattha Gotama, putra mahkota dari dinasti Sakya menanggalkan tradisi feodal. Ia tidak mengambil haknya, dan memilih untuk menjadi rakyat jelata. Di mata Siddhattha, kehormatan dan kemuliaan seorang manusia tidaklah diturunkan lewat kelahiran, tetapi ditentukan oleh perbuatan manusia itu sendiri. Ayahnya pernah berkata, “Seluruh bumi bisa kau kuasai dan seribu orang anak dapat pula menjadi milikmu, kalau saja engkau tidak menjadi petapa dan melepaskan takhta.”[1] Namun ternyata Siddhattha terlalu besar untuk takhta kerajaan semacam itu.
Memiliki takhta saja tidak menyelamatkan umat manusia yang menderita. Bagi orang banyak hidup sebagai anak raja yang dimanja agaknya telah memenuhi segala hal yang bisa diimpikan oleh seorang manusia, tetapi tidak untuk Siddhattha. Ia tidak terlelap di tengah kemewahan. Ia merasa resah dan terpanggil untuk mencari Jalan mengakhiri penderitaan umat manusia. Hidup itu adalah milik dari orang yang mencoba menyelamatkannya. Maka pergilah ia berkelana, mencari Penerangan Sempurna.
Ayahnya sukar mengerti, bagaimana sang pangeran yang dibesarkan di istana bagaikan tinggal di kediaman para dewa lebih menyukai pertapaan di hutan rimba. Ia tidak lagi dilayani para pelayan wanita yang jelita, yang akan menunggu perintah dengan patuh dan sabar. Ia tidak lagi dihibur alunan musik dan nyanyian yang merdu, tetapi akan diganggu suara burung hantu dan raungan anjing-anjing hutan. Ia yang biasanya aman terlindung dikawal para ponggawa bersenjata, akan terancam oleh berbagai binatang buas yang mencari mangsa.
Siddhattha memilih tidur beralas rumput dan daun-daunan, di atas tanah yang kasar, dan tidak memerlukan lagi ranjang tinggi yang empuk dilapisi sutra halus. Ia tidak lagi menggunakan kereta, menunggang kuda atau gajah. Ia lebih senang berjalan kaki dari satu negeri ke negeri lain. Ia tidak memerlukan pakaian buatan Benares yang berbau harum, tetapi memakai kain kasar dari serat kayu sebagaimana pakaian rakyat kecil umumnya. Bahkan ia tidak memilih makanannya, enak atau tidak enak, asin atau tawar, kasar atau lembut, dengan bumbu atau tanpa bumbu. Sungguh aneh anakku berbuat seperti itu, ujar Raja Suddhodana.
Aneh untuk seorang raja. Namun tidaklah sedikit manusia yang hidup seperti itu. Mereka tidak bisa memilih untuk menjadi lain dari hidup dengan segala kekurangan dan penderitaannya. Tetapi apakah orang kecil yang sangat bersahaja itu patut direndahkan? “Lepaskanlah belenggu badan ini,” ujar Buddha. “Badan berkaki dua ini mengandung kotoran, membawa bau busuk, mengeluarkan kotoran dari berbagai lubang. Apabila dengan memiliki badan semacam ini, orang menganggap dirinya sendiri tinggi dan memandang rendah orang lain, tidakkah itu kebodohan saja namanya?”[2]
Katanya pula: “Di segala bagian alam semesta, di mana pun juga aku telah mencarinya, tidak ada suatu pun yang kujumpai, yang lebih kucintai selain dari diriku sendiri. Demikian pula, sama halnya dengan semua makhluk lain, mencintai dirinya masing-masing.[3] Karena itu sungguh beralasan apabila orang yang mencintai dirinya sendiri didorong oleh Buddha untuk menaruh perhatian pula pada penderitaan dan kepentingan orang lain.
Kita beruntung mengenal seorang pemimpin yang juga lebih besar dari takhtanya. Dia Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Betul pemimpin ini dilahirkan untuk menduduki takhta Yogya, tetapi ternyata ia lebih besar dari seorang raja Jawa. Ia pemimpin Indonesia, mengatasi segala suku bangsa dan golongan. Hampir tanpa cela, orang banyak membicarakan kebesarannya. Kebesaran itu pun tak lepas dari kesederhanaannya. Ia raja yang sekaligus pula rakyat. Takhta untuk Rakyat, demikian judul buku tentang Sultan yang bersahaja. Ia mewarisi tradisi paling feodal di negeri ini namun sikap dan pemikirannya sungguh merakyat.
Kini ia telah pergi. Namun semangatnya tetap hidup bersama kita. “Harumnya kebajikan mengatasi harumnya berbagai wangi-wangian, kayu cendana, bunga tagara, teratai, atau pun melati.[4] Harumnya mereka yang memiliki kebajikan dan kesucian menyebar sampai ke surga dan kematian tidak dapat melenyapkan jejak orang tersebut.
12 Oktober 1988
[1] Mahavastu III
[2] Sutta Nipata 11
[3] Samyutta Nikaya III, 1:8
[4] Dhammapada 55