Sedetik yang Berharga
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Satu hari memiliki 86.400 detik. Waktu yang satu detik itu mudah diabaikan. Namun seorang atlet tahu betul nilai dari waktu satu detik yang dipergunakan untuk mengukur prestasinya. Satu detik bagi seorang pasien di saat-saat krisis tidak lain dari persoalan nyawa, terlambat mendapatkan pertolongan berarti mati. Kegagalan sedetik dalam peluncuran pesawat ruang angkasa bisa mengakibatkan kehilangan apa saja yang telah dipertaruhkan bertahun-tahun sebelumnya.
Sedetik itu seharusnya sangat berharga. Hanya ada satu detik Waisak dalam setiap tahun. Sekejap saja bulan tampak bundar sempurna, saat yang dinamakan purnama sidhi. Pada waktu yang sekejap itu, di hari Waisak yang lalu pukul 02.31 dini hari, umat Buddha melakukan meditasi. Singkat namun sangat bermakna. Sedetik itu merekam masa delapan puluh tahun dari kehidupan Buddha Gotama, yang sampai sekarang telah memengaruhi dunia lebih dari dua puluh lima abad lamanya.
Dalam sedetik pikiran seseorang bisa mengembara jauh ke mana saja. Pikiran bekerja sangat cepat, mengatasi kecepatan cahaya. Menurut Kitab Abhidhamma selama sekejap terdapat lebih dari semilyar momen pikiran. Setiap proses pikiran mengandung jumlah momen, yang terdiri dari tiga tahapan, yakni timbul, berkembang, dan tenggelam. Setiap pikiran yang timbul akan lenyap kembali, dengan memberi kondisi kepada munculnya pikiran yang berikutnya. Setiap saat sebuah pikiran lenyap dan sekaligus seketika itu pula muncul pikiran yang baru. Hanya ada satu kesadaran dalam satu bagian waktu yang sekejap. Hanya ada satu bentuk pikiran yang timbul pada satu saat. Tidak ada dua hal yang menduduki tempat yang sama pada waktu yang sama dalam pikiran kita.
Orang yang sadar pikirannya dipenuhi dengan hal-hal yang baik dan berguna, ia memadamkan pikiran buruk yang pernah muncul, membangkitkan pikiran baik yang belum muncul dan mengembangkan pikiran baik yang telah muncul. Tidak akan ia memberi kesempatan sekejap pun pada pikiran yang buruk. “Ada tiga hal yang buruk yaitu keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin yang menimbulkan kesukaran, kesedihan, atau penderitaan,” demikian ujar Buddha kepada Raja Pasenadi.[1] Dulu atau sekarang, demikian pula di saat mendatang segala kesulitan yang dihadapi manusia berpangkal pada ketiga hal itu.
Pikiran yang dipenuhi kemurahan hati menyingkirkan keserakahan. Pikiran yang diisi cinta kasih memadamkan kebencian. Pikiran yang diliputi kebijaksanaan melenyapkan kegelapan batin. Ujar Hokoji dalam sebuah syairnya, “Tanpa membuang keserakahan dan kebencian, sia-sia saja engkau bersusah-payah mempelajari ajaran Buddha. Engkau mendapatkan resep, tetapi tidak memakai obatnya, bagaimana engkau dapat menyingkirkan penyakitmu?” Setiap orang yang sakit memerlukan obat, tidak cukup resep. Kadar obat dalam tubuhnya dari detik ke detik harus dipertahankan sedemikian rupa sehingga sanggup mengalahkan penyakitnya.
“Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan. Kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak akan mati, dan orang yang lengah seperti orang yang sudah mati.”[2] Secara bertahap, dari saat ke saat, orang yang bijaksana memelihara kesadaran tak kunjung henti, memberi perhatian penuh pada setiap bagian dari detik waktu. Mudah dimengerti mengapa memakan dan meminum barang yang memabukkan merupakan pantangan yang termasuk dalam Panca Sila, di golongan sekelompok dengan pantangan membunuh, mencuri, berzina, dan berdusta
Manusia sering terikat pada gagasan waktu yang bergerak dari detik ke detik. Sedangkan pikirannya terpaku seolah-olah dirinya atau jiwanya adalah tetap tidak berubah. Ia dibentuk oleh ingatannya pada masa yang telah lalu, sehingga terbelenggu dalam penderitaannya. Padahal setiap detik ia berubah, dan seharusnya bisa melepaskan semua pikirannya yang buruk. Hubungan antara waktu dan perubahan dijelaskan oleh Dogen sebagai berikut: Kalau kita memperhatikan pantai ketika berlayar, kita merasa agaknya pantai itu bergerak. Sebaliknya kalau kita melihat lebih dekat pada perahu itu, kita sadar bahwa perahu yang bergerak. Kalau kita memandang alam ini tanpa membedakan tubuh dan jiwa, kita menjadi salah pikir bahwa jiwa itu tak berubah. Dengan melatih diri dan melihat pada diri sendiri, kita tahu hal itu keliru.
Raja Milinda pernah betanya kepada biksu Nagasena, “Bhante apakah yang menimbulkan waktu?” Jawab Biksu Nagasena, “Baginda, ketidaktahuanlah yang menimbulkan waktu.” Detik-detik waktu yang bergerak sesungguhnya adalah konsep. Pikiran kita yang bergerak cepat dalam sekejap itulah kenyataan.
16 Mei 1990
[1] Samyutta Nikaya III, 3;3
[2] Dhammapada 21