Sedikit tentang Ekonomi
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
E.F. Schumacher yang tenar dengan “Kecil Itu Indah” mengumandangkan Ilmu Ekonomi Agama Buddha. Ia menunjuk pada Burma, yang dipandang menganut paham kesejahteraan spiritual dan kesejahteraan material sebagai sekutu. Tetapi dengan mudahnya kita melihat perbedaan tingkat kemajuan Burma dibanding Jepang. Peter F. Drucker dan sejumlah ahli lain tidak menyangsikan kuatnya pengaruh Zen, suatu bentuk agama Buddha pada konsep Jepang.
Agaknya salah satu penjelasan dapat diambil dari pernyataan dalam ajaran Buddha itu sendiri. “Demikianlah seluruh pohon, yang tinggi, sedang, atau pendek, menerima air sesuai dengan kebutuhan. Semuanya tumbuh berkembang. Akar, batang, dahan, dan daun tumbuh subur, berbunga, dan berbuah, warnanya semarak. Inilah berkat manfaat air hujan. Segalanya menjadi segar lagi ceria. Ajaran Buddha yang terbabar merata diibaratkan bagai curah hujan. Namun para makhluk sesuai dengan kemampuan dan sifat alaminya, menerimanya secara berbeda-beda. Seperti halnya tumbuh-tumbuhan, pepohonan, masing-masing menerima hujan berbeda-beda.”[1] Agama Buddha di Burma dan Jepang adalah ibarat tanam-tanaman yang berlainan dalam menerima manfaat dari hujan yang sama. Terjadinya bermacam-macam aliran agama atau mazhab pun dapat diterangkan dengan perumpamaan di atas.
Buddha sendiri jelas tidak mengajarkan ilmu ekonomi. Tetapi betul prinsip moral dan agama yang diturunkan-Nya melatarbelakangi ilmu ekonomi penganut-Nya.
Terdapat tiga masalah yang mendasari teori ekonomi. Pertama, kelangkaan karena sumber daya tidak tersedia dalam jumlah yang tak terbatas. Kedua, pilihan dalam menghadapi kelangkaan tersebut. Ketiga, biaya atau pengobatan yang timbul karena mengorbankan yang satu dengan mengambil pilihan yang lain. Bagaimana seorang Buddha menempatkan diri di tengah masalah kelangkaan ini?
Efisiensi dan Penghematan
Manusia menurut paham Buddhis tak pernah dianggap untuk dirinya sendiri, tetapi merupakan bagian integral dari keseluruhan masyarakat dan alam semesta. “Apakah pantas menganggap suatu yang fana, yang tidak menyenangkan dan selalu berubah sebagai: ini punyaku, ini aku, ini diriku sendiri?” “Itu tidaklah pantas.”[2]
Menghadapi keterbatasan sumber daya, umat Buddha yang menghindari pertentangan dan kekerasan, berusaha menggunakan sumber daya sesedikit mungkin. Bukankah orang yang serakah akan lebih besar kemungkinannya bermusuhan dengan orang-orang yang lain? Adalah tidak tepat mengukur tingkat kehidupan dengan besarnya konsumsi dalam waktu tertentu. Orang yang konsumsinya lebih banyak, yang sering kali diartikan lebih kaya, belum tentu lebih sejahtera. Bila konsumsi atau masukan minimum, sedangkan kesejahteraan atau keluaran yang diperoleh maksimum, itulah yang dinamakan efisiensi.
Ananda, salah seorang siswa Buddha yang terkemuka, menerima hadiah sebanyak lima ratus jubah dari selir raja Udena. Sang raja semula merasa kecewa dan mengancam Ananda. Apakah petapa Ananda akan berdagang pakaian? Ia menemui Ananda dan menanyakan apa yang akan diperbuat oleh biksu tersebut dengan jubah sebanyak itu. Ananda menjawab bahwa jubah itu akan dibagikan kepada para biksu yang sudah usang jubahnya. Raja bertanya pula, apa yang akan dilakukan dengan jubah yang telah usang. Ananda menjelaskan bahwa jubah tua dapat dipergunakan sebagai jubah luar. Lalu bagaimana dengan bekas jubah luar? Jubah luar yang lama dibuat menjadi penutup kasur. Penutup kasur yang lama dibuat menjadi penutup lantai. Penutup lantai yang lama dibuat menjadi penyeka kaki. Penyeka kaki yang lama dibuat jadi kain pel. Kain pel bekas disobek-sobek dan diaduk dengan tanah menjadi plesteran lantai. Raja Udena pun merasa puas dengan cara berhemat Ananda dan menghadiahkannya lima ratus jubah lagi.[3]
Jalan Tengah
“Dengan memiliki tiga sifat seorang pengusaha dalam waktu yang singkat mencapai kejayaan dan meningkat pendapatannya. Apakah tiga sifat itu? Dalam hal ini, siswa seorang pengusaha bersifat pintar (cakkhuma), cakap (vidhuro), dan membangkitkan rasa percaya (nissayasampanno).” Pengusaha itu mengenal baik barang-barangnya. Secara kuantitas ia menguasai harga dan mencapai keuntungan. Secara kualitas ia menguasai mutu yang sebaik-baiknya. Pintar dan cakap ternyata tidaklah cukup, tetapi perlu dilengkapi dengan rasa percaya diri orang-orang, termasuk mereka yang dengan senang hati akan meminjamkan uangnya.[4]
Jalan Tengah (Majjhimapatipada) mencakup mata-pencaharian yang benar, tidak memberi peluang bagi hal-hal yang merusak kepercayaan. Berlawanan tentu dengan mata-pencaharian yang salah yaitu hidup dengan jalan menipu (kuhana), menyuap (lapana), menghasut (nemittakatai), menggelapkan (nippesikata), merampok untuk mendapatkan hasil yang banyak (labha).[5]
Ada orang yang buta, yang tidak memiliki mata untuk memperoleh kekayaan yang belum tercapai, atau meningkatkan pendapatannya. Ia pun tidak memiliki mata yang mampu mengenali situasi yang baik dan buruk, yang terpuji dan tercela, yang mulia dan hina, yang terang dan gelap. Orang yang bermata satu memiliki mata untuk memperoleh kekayaan yang belum tercapai atau meningkatkan pendapatannya, tetapi ia tidak memiliki mata yang dapat mengenali situasi baik dan buruk. Sedangkan orang yang melek kedua matanya, memiliki mata untuk memperoleh kekayaan yang belum tercapai dan meningkatkan pendapatannya serta sekaligus mata yang mengenali situasi.[6]
Jalan Tengah selalu memihak pada Kebenaran, Kesucian, dan Pembebasan dari derita. Jalan Tengah bisa muncul pada sistem perekonomian tradisional atau pun modern menurut apa yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.
27 Agustus 1986
[1] Saddharma Pundarika V
[2] Samyutta Nikaya XXVIII, 1 : 10
[3] Culla Vagga XI, 14
[4] Anguttara NIkaya III, 2 ; 20
[5] Majjhima Nikaya 117
[6] Anguttara Nikaya III, 3 : 29