Sekolah Umum Buddhis
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Ada ilmu ekonomi agama Buddha, kata Schumacher. Label agama Buddha itu tentu membedakannya dari ilmu ekonomi yang dikenal umum. Tetapi ilmu ekonomi agama Buddha tidak diajarkan di SMA Buddhis, misalnya. Belum tahu bagaimana dengan SMEA Buddhis yang segera akan dibuka di ibu kota.
Di luar pelajaran agama, tidak ada mata pelajaran yang berbeda antara sekolah umum Buddhis dan sekolah umum lain. Di sekolah-sekolah negeri dan swasta non-agama tertentu, kebanyakan murid yang beragama Buddha mendapat pula pelajaran agama Buddha dan mengikuti EBTA agama Buddha. Dengan demikian, tidaklah menjadi soal bagi murid yang beragama Buddha, masuk di sekolah semacam itu atau di sekolah Buddhis.
Namun tidak sedikit sekolah dengan latar belakang agama lain menyerap anak-anak dari keluarga yang beragama Buddha. Mudah diduga anak-anak itu kemudian mengingkari agama yang dianut orangtuanya. Mungkin anak tersebut kurang mendapatkan perhatian dalam pendidikan agamanya sendiri di luar sekolah. Juga tidaklah keliru, diakui atau tidak, sekolah itu merupakan jalur yang sangat efektif untuk mengembangkan agama. Maka dapat dimengerti bilamana timbul kekuatiran di kalangan penganut Buddha yang melihat gejala alih agama tak lain dari ancaman terhadap kelangsungan eksistensinya. Lalu sekolah-sekolah umum Buddhis, walau belum banyak, muncul sebagai jawaban atau reaksi terhadap tantangan tersebut. Barangkali lebih dari sekadar bertahan, sekolah Buddhis menjadi salah satu sekolah yang membawa misi mencari murid sekaligus menambah jumlah penganut.
Malalasekera mengemukakan bahwa: Bagaimana pun juga, bukanlah cara umat Buddha untuk menarik-narik, dalam pengertian memaksa pandangan dan kepercayaan kepada orang-orang yang enggan, apalagi melalui berbagai cara yang bersifat menekan, atau dengan menjilat, menipu, atau membujuk, untuk menambah jumlah pengikut memenuhi keinginannya sendiri. Misionaris agama Buddha tidak bersaing di pasar untuk merebut umat agama lain.
Dorongan untuk membabarkan Dharma yang merupakan pula maksud penyelenggaraan kegiatan pendidikan seharusnya mengacu pada perintah Buddha dan panggilan hati nurani untuk menolong orang banyak. “Subhuti, setiap orang yang saleh, baik laki-laki atau perempuan, yang bertekad ingin mencapai Penerangan Sempurna, ia harus memelihara dalam pikirannya: Aku berkewajiban menyelamatkan semua makhluk dari penderitaan”[1]Ketika mengutus para muridnya, Buddha memerintahkan agar mereka membawa berkah bagi orang banyak, membawa kebahagiaan demi kasih sayang, untuk kesejahteraan serta keselamatan para dewa dan manusia.
Maka dorongan untuk mengabdi kepada masyarakat yang seharusnya dikembangkan dalam penyelenggaraan sekolah umum Buddhis. Seperti Schumacher, ia menunjukkan manfaat yang bisa diraih dari nilai-nilai yang dianut dalam agama Buddha, ia ingin membagi pengetahuannya kepada orang lain. Tetapi tidak berarti ia mengajak orang-orang untuk memeluk agama Buddha. Misalnya pula Alan Watts yang mengajarkan psikoterapi di jalan Buddha atau Niels Bohr yang membawa masalah epistemologi Buddha parallel terhadap teori atom, sama sekali di luar urusan penyebaran agama.
Sikap seorang Buddhis tercermin dalam maklumat Raja Asoka. Sebagian dari Maklumat Karang XII, berbunyi sebagai berikut: Untuk satu atau lain hal, kepercayaan orang lain patut dihormati. Dengan menghormatinya dan sekaligus pula berjasa untuk golongan kepercayaan lain. Dengan melakukan hal sebaliknya, seseorang mencederai kepercayaannya sendiri dan berarti pula tidak bajik terhadap yang lain. Bila seseorang mengagulkan kepercayaan sendiri dengan meremehkan yang lainnya karena alasan berbakti dan ingin memuliakan kepercayaan yang dianut, sesungguhnya ia melukai kepercayaannya sendiri. Oleh karena itu kerukunan sajalah yang patut dihargai. Hanya melalui kerukunan ini manusia dapat memahami dan menghormati konsep Dharma yang diterima oleh orang lain. Raja Priyadarsi ingin agar penganut semua kepercayaan saling mengetahui ajaran satu sama lain lalu menganut ajaran yang baik baginya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi bersifat duniawi atau sekuler. Perkembangan ilmu bermula di Barat, pun diwarnai pertentangan paham antar kalangan ilmuwan dan agama yang dianut di sana. Pertentangan seperti itu tidak terjadi di kalangan Buddhis. Tetapi tetap saja tidak ada ilmu kimia Buddhis atau biologi Buddhis. Harus disadari bahwa ilmu dan teknologi semata-mata adalah cara, bukan tujuan. Pendidikan agama termasuk Buddha yang harus menjawab apa tujuannya.
Masyarakat kebanyakan menilai bahwa sekolah yang baik menghasilkan lulusan yang menguasai teknologi, yang bisa mengisi atau membuka lapangan kerja dan produktif. Usaha pendidikan memang membawa misi kemanusiaan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memerangi kemiskinan dan keterbelakangan. Ukuran ini masih harus dilengkapi dengan bagaimana lulusan itu sebagai manusia Indonesia yang seutuhnya mengembangkan cinta kasih, mengikis keserakahan, memadamkan kebencian, dan menerangi kegelapan batin.
GBHN menginginkan perguruan swasta makin dikembangkan pertumbuhannya berdasarkan pola pendidikan nasional yang mantap, dengan tetap mengindahkan ciri-ciri khas perguruan yang bersangkutan. Apa ciri khas Buddhis? Berbagai atribut, penampilan fisik seperti salam dan basa-basi, bahkan cara berdoa hanya menjadi berarti dalam memberi identitas bilamana memuliakan dan melestarikan nilai-nilai luhur ajaran Buddha.
6 Juli 1988
[1] Vajracchedika Prajna Paramita Sutra